Senin sore, seperti biasa Sena menolak untuk lembur. Hari lainnya boleh lembur, tapi tidak hari senin. Hari senin adalah jadwalnya dia pergi melamun di tempat melamun favoritnya, Sky Dining Plaza Semanggi.
Mengapa hari senin? dan mengapa Sky Dining Plaza Semanggi?
Sky Dining Plaza Semanggi itu sepi di Senin sore. Orang sudah berfoya-foya di tempat ini Sabtu Minggu sebelumnya, jadi ngga bakal banyak orang yang mengunjungi tempat ini di Senin sore. Lagi pula kalau pun tidak ada lembur, hari Selasa sore itu jadwalnya treadmill di fasilitas gym kantor, Rabu surfing internet sambil nunggu manga keluar, kamis baca novel di Zoe, dan Jumat itu futsal kantor rutin lanjut makan-makan bareng bawahan.
Sedangkan untuk mengapa di Sky Dining Plaza Semanggi? tentu karena pertama, dekat dengan kantor jadi tinggal jalan saja, ga mesti berdesakan di busway, dan yang kedua, tempat ini mungkin salah satu tempat paling nyaman untuk ngelamun, terutama di Senin sore. Tempat yang katanya, Sky Dining paling tinggi di Jakarta ini juga harganya standar dengan kafe-kafe yang ada di bawah.
Sena biasa memilih bangku paling luar agar dia bisa melamun sembari memandangi gedung kembar kantornya yang tinggi, kemacetan Jakarta, lampu-lampu kota yang menyambut gelap malam, dan panorama matahari tenggelam di ujung barat horizon. Sena sudah cukup akrab dengan para pegawai kafe di sana, karena selalu muncul di Senin sore, memesan Pisang Keju dan Lemon Tea, dan mengajak bicara si pengantar.
Hari ini juga dia datang. Lesu seperti biasa, tapi langsung memberi senyum jika disapa. “Seperti biasa pak?”, ujar salah seorang pegawai yang terlihat masih sangat muda. “Ya, Pisang Keju sama Lemon Tea ya…”, jawabnya seriang mungkin. Kafe hanya diisi oleh sekelompok bapak-bapak dengan percakapan khas kaum elit. Bangku paling luar selalu kosong, karena anginnya disana cukup kencang.
Jam masih menunjuk ke angka lima. Gedung-gedung tinggi terasa elok diselimuti cahaya senja, tapi di dasar sana, manusia sedang berbagi keringat dan saling mencekik dengan knalpot mereka…
***
“Tempat ini nyaman, tapi nuansanya bener-bener getir…”, bilangnya pada teman sekantor yang membawanya ke tempat ini pertama kali, “cocok untuk ngelamun, tapi lamunan yang sedih-sedih…”.
Temannya tidak bicara banyak, hanya tertawa sambil bilang, “itu berarti lo suka banget tempat ini.”
Ya, begitulah cerita awalnya.
Memang, terpaan angin disini selalu bisa membuat Sena kembali mencium aroma memori pahit di masa lalu. Tapi kini, tidak ada lagi pikiran-pikiran tentang ketidak-adilan itu. Tidak ada lagi keluhan tentang Jakarta. Tagihan tidak lagi mengusik. Konflik kantor sudah biasa. Cinta-cinta yang gagal sudah jadi gurauan di meja makan. Tidak ada lagi lamunan tentang dunia, sejak dunia luar hanya bisa diakses via cuti…
Pikiran-pikiran getir itu sudah lama memudar dan hilang. Kini hanya ada damai yang sunyi dan sederhana. Bukan tanpa cela, ya, memang tak sempurna, tapi penuh dan lebih dari cukup. Syukur kembali ia panjatkan.
Sena cepat menghabiskan minumannya karena langit mulai mendung. Hanya satu pertanyaan dalam pikirannya yang belum terjawab, “kalaulah dulu aku memilih jalan hidup yang lain, akankah hidupku jadi lebih baik?”
Fajrin Yusuf M,
Jakarta, 28 Desember 2013
*******
Suka dengan tulisan saya?
Kalau suka, kalian bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂