Bersih-bersih

Bersih-bersih

Jam 10 malam, Darma pulang ke kontrakannya dan melihat temannya, Aya, masih di depan laptopnya. Darma penasaran mengintip layar laptop Aya dan hanya dengan sekilas saja Darma tahu Aya sedang membuka laman Facebook. Sejak ditinggalnya sesudah Isya tadi, posisi Aya masih sama, bahkan sepertinya masih di laman yang sama.

“Ngapain sih, Ya?” tanya Darma.

“Facebook cleansing,” jawab Aya pendek. Darma tidak tahu persis apa maksudnya, dan tidak terlalu peduli juga.Continue Reading

Share

Puspa

Puspa
Cerpen, oleh: Fajrin Yusuf M.

***

Bunga apa ini?” tanyaku kepada suamiku.

Puspa,” jawabnya singkat setelah dia menoleh sekilas pada bunga-bunga putih yang berserakan di tanah; tanah yang sedang kuinjak; tanah yang sedang dirajut akar-akar raksasa sejak lama dengan penuh kesabaran; andai boleh aku pinta sedikit saja si kesabaran itu.Continue Reading

Share

Fitri

Subject: Fitri

From: Agus
To: Mei

Dear Mei,

Maafkan aku karena aku tidak sempat bercerita padamu tentang kakaku Fitri. Aku memang tidak punya alasan untuk menceritakannya padamu. Aku telah melupakan kakakku itu, dan aku juga membencinya. Tapi tidak peduli seberapa besar kebencianku terhadap Fitri, aku masih tetap menyayanginya. Bagaimana pun, dia adalah kakak kandungku. Aku tidak menyalahkan dia atas prilaku bejatnya. Nasib kita memang tidak terlalu baik. Kita tumbuh di lingkungan yang buruk, dan dia tidak seberuntung aku. Continue Reading

Share

Orion

Orion

The Voyager took a break as the sun sets on the horizon. He’s spent all three days bailing water out of his leaky boat. His arms ache, his stomach cried, and his head was a bit dizzy. His body was cold and wet, either by sea water or his own sweat; or both; both smelt salty and tasted almost the same.

He looked at the sea water that keeps rushing in through a hole in his small boat. It seemed that all his effort was useless. He threw the bucket, sighed deeply; and surrendered. He was then waiting as the water swallows his boat slowly but surely.Continue Reading

Share

Cerita Nadya di Sungai Cianggang-Pati

Cerita Nadya di Sungai Cianggang-Pati

Kuliah di Teknik Lingkungan sudah jadi mimpi Nadya sejak SMA; sejak kakak kelasnya menjelaskan betapa keren jurusan itu dalam sesi-sesi kunjungan alumni. Tapi tidak pernah terpikirkan di benaknya jika mimpi itu akan sebegitu sulit dijalani.

Mungkin memang teknik itu tempatnya anak-anak cowok”, pikirnya sekilas, ketika dia berjalan menuruni tanah merah licin menuju aliran Sungai Cianggang-pati bersama tiga orang cowok dan satu orang cewek (Ani, si cewek tomboy). Dia pikir, urusan ngambil sampel ini mestinya jadi urusan cowok saja. Cewek tulen sepertinya cukup berada di laboratorium, menguji ini dan itu.Continue Reading

Share

Cerita-cerita Kartika

Cerita-cerita Kartika
oleh: Fajrin Yusuf M.

Namanya Kartika dan dia sudah melihat dunia… Setidaknya, sudah cukup baginya…

Menjadi tua itu pasti terasa aneh; seperti semakin terasing di rumah yang sudah ditinggali puluhan tahun lamanya. Mungkin perasaan terasing itulah yang lambat laun mengikis ingatan. Yah, sekarang ini Kartika sering sekali melupakan banyak hal.

Sebulan yang lalu ada seorang teman yang datang berkunjung; bertanya kabar. Kartika sudah lupa namanya, walau sekilas wajahnya tidak asing. Sang tamu bertanya tentang “teman-teman kita yang masih ada”. Kartika bahkan sudah lupa kalau dia punya teman-teman.

Satu hal penting yang akan selalu ku ingat adalah keluargaku.”, begitu pikir Kartika riang pagi ini, ketika dia ikut membantu memandikan seorang bayi perempuan yang lucu; anak dari cucunya…

Ya, Kartika sudah setua itu…

Continue Reading

Share

Sky Dining di Parallel Universe

Senin sore, seperti biasa Sena menolak untuk lembur. Hari lainnya boleh lembur, tapi tidak hari senin. Hari senin adalah jadwalnya dia pergi melamun di tempat melamun favoritnya, Sky Dining Plaza Semanggi.

Mengapa hari senin? dan mengapa Sky Dining Plaza Semanggi?

Sky Dining Plaza Semanggi itu sepi di Senin sore. Orang sudah berfoya-foya di tempat ini Sabtu Minggu sebelumnya, jadi ngga bakal banyak orang yang mengunjungi tempat ini di Senin sore. Lagi pula kalau pun tidak ada lembur, hari Selasa sore itu jadwalnya treadmill di fasilitas gym kantor, Rabu surfing internet sambil nunggu manga keluar, kamis baca novel di Zoe, dan Jumat itu futsal kantor rutin lanjut makan-makan bareng bawahan.

Sedangkan untuk mengapa di Sky Dining Plaza Semanggi? tentu karena pertama, dekat dengan kantor jadi tinggal jalan saja, ga mesti berdesakan di busway, dan yang kedua, tempat ini mungkin salah satu tempat paling nyaman untuk ngelamun, terutama di Senin sore. Tempat yang katanya, Sky Dining paling tinggi di Jakarta ini juga harganya standar dengan kafe-kafe yang ada di bawah.

Sena biasa memilih bangku paling luar agar dia bisa melamun sembari memandangi gedung kembar kantornya yang tinggi, kemacetan Jakarta, lampu-lampu kota yang menyambut gelap malam, dan panorama matahari tenggelam di ujung barat horizon. Sena sudah cukup akrab dengan para pegawai kafe di sana, karena selalu muncul di Senin sore, memesan Pisang Keju dan Lemon Tea, dan mengajak bicara si pengantar.

Hari ini juga dia datang. Lesu seperti biasa, tapi langsung memberi senyum jika disapa. “Seperti biasa pak?”, ujar salah seorang pegawai yang terlihat masih sangat muda. “Ya, Pisang Keju sama Lemon Tea ya…”, jawabnya seriang mungkin. Kafe hanya diisi oleh sekelompok bapak-bapak dengan percakapan khas kaum elit. Bangku paling luar selalu kosong, karena anginnya disana cukup kencang.

Jam masih menunjuk ke angka lima. Gedung-gedung tinggi terasa elok diselimuti cahaya senja, tapi di dasar sana, manusia sedang berbagi keringat dan saling mencekik dengan knalpot mereka…

***

“Tempat ini nyaman, tapi nuansanya bener-bener getir…”, bilangnya pada teman sekantor yang membawanya ke tempat ini pertama kali, “cocok untuk ngelamun, tapi lamunan yang sedih-sedih…”.

Temannya tidak bicara banyak, hanya tertawa sambil bilang, “itu berarti lo suka banget tempat ini.”

Ya, begitulah cerita awalnya.

Memang, terpaan angin disini selalu bisa membuat Sena kembali mencium aroma memori pahit di masa lalu. Tapi kini, tidak ada lagi pikiran-pikiran tentang ketidak-adilan itu. Tidak ada lagi keluhan tentang Jakarta. Tagihan tidak lagi mengusik. Konflik kantor sudah biasa. Cinta-cinta yang gagal sudah jadi gurauan di meja makan. Tidak ada lagi lamunan tentang dunia, sejak dunia luar hanya bisa diakses via cuti…

Pikiran-pikiran getir itu sudah lama memudar dan hilang. Kini hanya ada damai yang sunyi dan sederhana. Bukan tanpa cela, ya, memang tak sempurna, tapi penuh dan lebih dari cukup. Syukur kembali ia panjatkan.

Sena cepat menghabiskan minumannya karena langit mulai mendung. Hanya satu pertanyaan dalam pikirannya yang belum terjawab, “kalaulah dulu aku memilih jalan hidup yang lain, akankah hidupku jadi lebih baik?”

Fajrin Yusuf M,
Jakarta, 28 Desember 2013

*******


Suka dengan tulisan saya?

Kalau suka, kalian bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂

Share
Share