Apel

Anakku kembali dari sarangnya,
meringis dia menyadari sarang lamanya luruh digerogoti hantu berlalu,
padahal dari dulu juga sudah begitu,
belum belajar dia,
sarangnya nanti begini juga akhirnya.

Besar kepalanya anakku itu,
mau kasih aku sarang baru disudut tempurungnya dia bilang,
mungkin aku bisa masuk ke dalam sana,
tapi mana aku mau,
masuk ke sana sama saja mengakui betapa kerdilnya diriku.

Memang kecil aku,
dibanding anakku itu,
tapi aku tahu, aku pernah sebesar itu juga dulu,
dan aku tahu, bakal sekecil diriku juga dia akhirnya.
Tak ada yang bisa luput dari hantu-hantu berlalu.

Kulihat sekeliling sarang, hampir tak ada barang,
kuputar kepala mencari-cari rima yang cukup buat mengisi tengkorak anakku itu,
dan yang kutemukan hanya sebuah apel… sisa-sisanya…
hampir busuk sisa kemarin.

Jadi itu saja yang kutunjukkan pada anakku, dan kubilang,
Nak, semua orang diberi satu apel. Aku sudah memakan punyaku. Yang bisa kau lihat sekarang mungkin cuma sisa-sisanya, tapi aku tidak bisa menjelaskan bagaimana aku menghabiskannya. Aku sudah lupa hari-hari itu. Yang perlu kau tahu adalah aku tidak punya penyesalan.

Anakku hanya mengernyit. Segitu juga sudah penuh ternyata. Jadi kucukupkan saja.

Sekarang, pulanglah… makanlah apelmu.

Share

Published byFajrin Yusuf

AsGar, Social Entrepreneur, Hiker, Writing to Kill Time

No Comments

Post a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Share