Bersih-bersih
Jam 10 malam, Darma pulang ke kontrakannya dan melihat temannya, Aya, masih di depan laptopnya. Darma penasaran mengintip layar laptop Aya dan hanya dengan sekilas saja Darma tahu Aya sedang membuka laman Facebook. Sejak ditinggalnya sesudah Isya tadi, posisi Aya masih sama, bahkan sepertinya masih di laman yang sama.
“Ngapain sih, Ya?” tanya Darma.
“Facebook cleansing,” jawab Aya pendek. Darma tidak tahu persis apa maksudnya, dan tidak terlalu peduli juga.
“Gue tidur duluan,” ujar Darma sembari membuka jaket dan jins nya. “Makan dulu, Ya, lo juga kan ga makan siang tadi.”
“Ya s’bentar lagi,” jawab Aya singkat. Pikirannya masih fokus pada laman facebook nya. Darma masuk ke kamar tidur dan mematikan lampu.
2013, masih ada beberapa tahun lagi ke postingan pertama di 2009, pikir Aya. Pergelangan tangannya sudah sakit. Terakhir kali terasa sesakit ini adalah waktu dia berusaha memecahkan rekor minesweeper milik tokoh fiksi Christopher Boone dalam novel Insiden Anjing di Tengah Malam yang Bikin Penasaran; mode expert selesai dalam 99 detik. Postingan pemecahan rekor itu masih ada di facebook-nya dan baru dia temukan lagi; mode expert dalam 94 detik. Aya tertawa dalam hati.
Lalu menekan tombol delete.
2012, dia bikin status, mengutip quote dari Hannibal Lecter. Aya tertawa lagi. Okelah yang ini ga usah dihapus, pikirnya. Statusnya yang lain bikin dia merasa geli. Delete, delete, delete.
2011, dia mengomentari postingan temannya. Temannya meledek namanya yang mirip nama perempuan. Fathya. Aya. Memang mungkin nama yang feminim, tapi dia lelaki tulen. Temannya meledeknya sambil mengucapkan selamat ulang tahun; “Selamat Ulang Tahun, Mbak Aya, cepet-cepet dapet suami idaman yaa…”.
Facebook sialan, pikir Aya. Delete.
Jam 11 malam, Aya selesai bersih-bersih; menghapus semua postingan, semua komentar, keluar grup, menyembunyikan semua tag dari timeline-nya, dan yang terpenting, yang dia lakukan langsung selepas Isya, adalah menghapus semua history message-nya. Terutama setelah, entah karena setan dari mana, dia membuka story chat message dengan mantannya di tahun 2011. Aya tidak membaca semuanya; hanya beberapa percakapan, tentang Aya sedang kabur dari kantor tempat dia magang.
Pantas saja dia mutusin gue, pikir Aya, mana ada cewe yang mau cowo yang suka mabal dari kantor. Untungnya, sekarang dia punya usaha kecil sendiri, yang mana dia ga akan pernah bisa mabal darinya. Yah, syukurlah, pikir Aya.
Aya meregangkan jari-jarinya dan mengistirahatkan punggungnya di sandaran kursi. Facebook sialan, kutuknya entah untuk yang keberapa kalinya. Niat Aya untuk menghapus akun facebook-nya terkendala masalah kerjaan karena dia mesti mengelola fan page usaha kecilnya lewat akun pribadi. Beberapa software dia coba untuk menghapus semua histori aktivitas facebooknya tapi semuanya tidak berhasil. Akhirnya dia melakukan cara primitif. Menghapus semuanya satu-satu. Dimulai dari history chat message.
Melihat sejarah aktivitas facebooknya sendiri membuat Aya merasa seolah sedang berjalan melihat masa lalunya. Semuanya seolah kembali terlihat jelas, terasa jelas. Postingan-postingan mencari perhatian, postingan lucu-lucuan dari 9gag, komentar-komentar dengan bahasa kasar di wall teman dekat, album foto Semeru 2011, Merbabu 2012, Pangrango 2013, Slamet 2014, Argopuro 2015, Rinjani 2016, bahkan Gede 2017, foto-foto sahabat yang sudah meninggal dunia, foto ayahnya yang sedang tersenyum, semuanya memberi Aya emosi yang campur aduk.
Jam 12 malam, perutnya mulai berteriak mengalahkan emosinya. Aya mengambil jaketnya lalu pergi keluar sambil masih melamunkan kilasan-kilasan masa lalu. Di pertigaan Cimanuk-Ahmad Yani, tukang nasi goreng langganannya memanggil-manggil.
“A… A…” teriaknya. Aya sedang tidak mood mengobrol (dan jika makan di tukang nasi goreng itu, Aya harus mengobrol), jadi dia pura-pura tidak mendengarkan dan terus berjalan.
Sampai sebelum jembatan Sungai Cimanuk, Aya baru sadar dia belum memutuskan akan makan di mana. Jadi dia melihat sekeliling dan matanya jatuh ke tukang sate kaki lima. Ah, ya, sate, pikir Aya, sembari si sate dibikin, bisa jalan ke minimarket dan beli minum.
“Makan di sini apa dibungkus?” kata si tukang sate; jelas dia bukan orang sunda.
“Dibungkus, sate ayam 3, sate kambing 4, pake nasi, acarnya banyakin, bumbunya dipisah” kata Aya, sengaja ingin bikin si tukang sate bingung.
Ajaib, si tukang sate tidak protes dan melanjutkan bekerja. Sial, pikir Aya. Dia pun lanjut meminta izin pergi ke minimarket.
Di minimarket Aya tergoda untuk membeli Bir Bintang 0%, dia belum pernah mencicipinya. Juga tertarik beli Rootbeer, yang juga tidak pernah dia cicipi hanya karena ada kata ‘beer’-nya. Cie, takut dosa, pikir Aya menggoda dirinya sendiri. Akhirnya dia hanya beli Yogurt Heavenly Blush.
Ketika mau bayar, si kasir malah menggodanya untuk beli rokok; “ada lagi, a?” kata si Kasir dengan senyum manisnya yang dihiasi background macam-macam brand rokok, seolah menggoda Aya untuk membeli salah satunya. Duh, pikir Aya. “Ngga, itu aja,” jawab aya pendek.
Setelah sate diambil, Aya pikir untuk mengambil rute yang berbeda. Dia belok ke arah Ramayana dan melihat segerombol anak punk. Muncul rasa takut; takut dipalak atau lebih buruk, dirampok. Aya teringat masa kecilnya; masa SD di sekitar Pasar Baru, Lio; dia sering dipalak anak yang badannya gede, sampai-sampai jadi malas sekolah. Memori itu memberinya perasaan masa bodo yang ternyata lebih besar dari rasa takutnya. Aya pun melintasi anak-anak punk itu dengan kalem saja. Ternyata, anak-anak punk itu juga tidak menghiraukannya. Sial, pikir Aya.
Dia melewati Ramayana, belok ke Jalan Pramuka, lalu berjalan terus menuju Jalan Ahmad Yani. Di sekitar gedung Kejaksaan, para pekerja seks komersial sedang berbaris rapi menunggu pelanggan; beberapa duduk di bawah pohon, sibuk dengan handphone-nya Aya agak senewen harus berjalan melintasi barisan kupu-kupu malam itu. Jadi Aya menyeberang dan berjalan di bagian trotoar yang lain. Tapi beberapa dari wanita itu tetap memanggilnya.
“A… A…,” ujar salah satu wanita memanggil menggoda. Aya teringat si tukang nasi goreng yang dia acuhkan beberapa saat yang lalu. Mungkin ini karma, pikirnya. Aya memberanikan diri melihat ke seberang jalan, mencari si wanita yang memanggilnya. Ada 5 wanita yang balas melihatnya. Aya tidak tahu yang mana yang memanggilnya, dan perasaan senewennya memuncak, jadi dia lanjut berjalan; setengah berlari. Berbelok ke kanan dan terus hingga kembali ke kontrakannya.
Hampir jam 2 malam, Aya menghabiskan sate dan yoghurtnya sambil mendengarkan lagu Payung Teduh yang baru rilis. Lagu yang aneh, pikir Aya sembari menghabiskan segelas air putih. Dia lalu kembali mengistirahatkan punggungnya; perutnya telah terisi dan kepalanya terasa semakin berat. Dia rebahkan lehernya di ujung sandaran kursi. Kembali Aya melihat layar laptopnya. Facebook, bersih, pikirnya. Dia lalu mematikan laptopnya.
Di meja, Aya melihat sebungkus rokok milik Darma, Marlboro. Tanpa berpikir, Aya mengambil sebatang, menyalakannya, menghisapnya, hingga habis.
Sial, pikir Aya, entah untuk yang keberapa kalinya.
Dia pergi ke toilet, menyikat gigi, mencuci muka, mengambil wudhu, lalu sholat witir, dan memohon ampun pada Tuhan atas semua dosa-dosa masa lalunya; termasuk dosa menghabiskan sebatang rokok Darma tanpa izin. Lalu pergi tidur.
cerpen, Bersih-bersih
Fajrin Yusuf M,
Garut, 7 Agustus 2018
***
****
SUKA DENGAN TULISAN SAYA?
Kalau suka, tolong di share dong tulisannya, biar makin banyak yang main ke sini.
Kalian juga bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂
No Comments