Adalah fitrah jika seorang manusia bersedih ketika ditinggalkan orang yang dicintainya. Nabi Ya’kub as. begitu bersedih ditinggal Yusuf as. hingga matanya memutih.
Disebutkan bahwa Nabi Ya’kub as. menanggung duka itu bertahun-tahun lamanya setelah ditinggal anaknya, Yusuf as. Ketika kali kedua anaknya menghilang (Bunyamin), duka kehilangan Yusuf itu kembali menyeruak (12:84) sampai-sampai anaknya yang lain membentaknya (12:85). “Masih saja kamu ingat Yusuf, sampai kamu sakit-sakitan,” kira-kira begitulah kata mereka.
Tapi kemudian Nabi Ya’kub as. menjawab bahwa beliau hanya mengadukan kesedihannya kepada Allah SWT dan bukan kepada anak-anaknya itu (12:86); dan malah menambahkan bahwa “aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya,” seolah Nabi Ya’kub as. sudah tahu perbuatan anak-anaknya yang meninggalkan Yusuf as. di dalam sumur dan meninggalkan Bunyamin di Mesir.
Ada banyak hikmah yang bisa dipetik dari cerita Nabi Ya’kub as. dan anaknya tersebut, tapi salah satu yang saat ini saya renungkan adalah bahwa menanggung duka berkepanjangan pun merupakan sebuah hal yang manusiawi. Nabi Ya’kub as. menanggung duka itu. Tapi hal tersebut tidak membuat beliau menjauh dari Allah SWT, sebaliknya hal tersebut membuatnya semakin dekat dengan Allah SWT.
Nabi Ya’kub as. malah mengajarkan anak-anaknya untuk tidak berputus asa terhadap rahmat; cinta dan kasih sayang; Allah SWT (12:87). Itu juga salah satu poin pelajaran yang ingin saya angkat dalam tulisan ini.
***
Adalah fitrah jika seorang manusia punya rasa cinta dalam dirinya. Seperti cinta Nabi Sulaiman as. terhadap kuda-kudanya, atau kecintaan Nabi Ibrahim as. terhadap keluarganya. Dari hasil renungan saya, ternyata sering juga Allah SWT menguji hamba-Nya dari sesuatu yang dicintainya; ya seperti ujian Nabi Sulaiman as. dan Nabi Ibrahim as. Jadi yah, jika kalian mencintai sesuatu; harta, anak, perempuan, atau apapun; bersiaplah untuk diuji.
Ujian ini biasanya tidak untuk mengukur kekuatan cinta kita, tapi untuk mengukur lebih besar mana cinta kita terhadap hal tersebut atau cinta dan penghambaan kita terhadap Allah.
Kita harus bersyukur juga karena ujian kita terhadap orang yang kita cintai tidak mungkin akan sebesar ujian Nabi Ibrahim as. yang harus meninggalkan anak dan istrinya di tengah padang pasir tandus. Lalu ketika bertemu kembali, beliau malah diperintahkan untuk menyembelih anaknya atas nama kepatuhan terhadap Allah SWT. Ujian seperti itu tidak akan pernah bisa berhasil dilalui untuk manusia biasa seperti kita.
Jika dilihat lebih dekat, ketika ujian itu tiba dan memuncak, seringkali manusia dapat hancur hatinya. Termasuk ketika Nabi Ibrahim as. yang bahkan tidak tega melihat anak dan istrinya memanggil-manggil mempertanyakan alasan mengapa mereka ditinggalkan di tengah gurun pasir. Juga ketika Nabi Ibrahim as. sampai harus berkali-kali memastikan bahwa mimpinya menyembelih Nabi Ismail as. adalah memang perintah Allah SWT. Kita seringkali menceritakannya sambil lalu, seolah beliau bukan manusia biasa yang memiliki perasaan cinta yang mendalam pada keluarganya.
Atau seperti ketika ibunda Nabi Musa as. membawa bayi yang dicintainya untuk dihanyutkan di sungai. Dikisahkan bahwa hatinya menjadi kosong (28:10) akibat guncangan emosi luar biasa yang beliau rasakan. Disebutkan, jika saja Allah tidak meneguhkan hatinya; jika saja Allah tidak melakukan intervensi terhadap dirinya, maka sudahlah dia meledak membuka rahasianya sendiri (28:10). Bagi saya lebih mudah membayangkan seorang ibu yang menjerit-jerit histeris melihat anaknya hanyut di sungai daripada seorang ibu yang bisa teguh hatinya untuk tidak bicara apapun setelah menghanyutkan anaknya sendiri di sungai.
Dari kisah-kisah ini saya memetik beberapa pelajaran. Yang pertama adalah bahwa mencintai hal-hal di dunia itu wajar karena para Nabi pun memilikinya. Yang kedua adalah bahwa Allah SWT akan menguji cinta tersebut; dengan perintah atau larangan, dengan kehilangan, dengan dipisahkan, dengan banyak hal. Yang ketiga adalah bahwa yang lolos dari ujian ini adalah dia yang bertambah keimanan dan penghambaannya kepada Allah SWT tak peduli seberapa kuat ujian itu mengguncang dirinya.
Tiga poin pelajaran itu memang mudah dipetik, tapi tentu sangat sulit untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, ada poin keempat dari pelajaran ini yang tidak kalah penting; yaitu bahwa Allah SWT bisa melakukan intervensi bahkan ketika ujian itu tiba dan memuncak. Ketika kita menghadapinya, dan kita ingin untuk memegang teguh keimanan kita, maka Allah SWT juga yang akan menolong kita melalui ujian itu, seperti Allah meneguhkan hati ibunda Nabi Musa as.
Di akhir kisah, semuanya mendapat kemenangan. Nabi Ya’kub kembali bertemu anaknya, Nabi Yusuf, setelah bertahun-tahun terpisah. Berbeda dengan cerita Ibunda Nabi Musa as. yang kembali dipertemukan dengan anaknya hanya beberapa jam saja setelah insiden di sungai. Ketika Nabi Musa kecil menangis ingin disusui, ditakdirkan oleh Allah tidak ada yang bisa menyusuinya selain ibu kandungnya sendiri. Nabi Ibrahim as. juga pada akhirnya kembali berkumpul dengan keluarganya. Juga anaknya, Nabi Ismail as., pun dapat tumbuh besar.
Insya Allah, selama kita percaya pada Allah, selama cinta kita hanya memperbesar keimanan kita kepada Allah, selama semua ujian hanya memperbesar keimanan kita kepada Allah, Allah akan membuka cinta-Nya yang tak berbatas dan menjadikan kita, juga orang-orang yang kita cintai yang senantiasa kita doakan, menjadi orang-orang terpilih di sisi-Nya.
Aamiin.
***
Memang, sebagai seorang yang beriman kepada Allah, kita harus selalu siap dengan ujian. Kita akan selalu diuji (29:2-3) (2:214), dan ujian tersebut biasanya datang dari hal-hal fitrah yang kita inginkan, seperti memenuhi rasa lapar dan haus, ingin punya harta, ingin merasa aman, ingin jiwa/nafs merasa penuh (2:155) atau rasa suka terhadap perempuan, anak-anak, kendaraan, perhiasan, dll (3:14).
Saya selalu teringat kepada seorang dosen; beliau menjadi atheis, menolak untuk percaya pada Tuhan, setelah ditinggal istrinya yang mengidap kanker. Beliau berdoa siang dan malam untuk kesembuhan istrinya, tapi istrinya yang sangat dia cintai itu akhirnya meninggal.
Saya tidak sedang mengajari anda agar tidak menjadi seperti beliau. Sebaliknya, saya sangat bersimpati kepada beliau. Pasti sangat sangat sulit menerima kenyataan pahit seperti itu. Daripada mengajak anda untuk menghakimi beliau, saya ingin saya dan anda mendoakan beliau agar dilimpahi rahmat oleh Allah SWT dan menemukan jalan kembali pada-Nya.
Karena itulah yang diajarkan Nabi Ya’kub as. kepada anak-anaknya, yaitu untuk tidak berputus asa terhadap rahmat Allah.
Ketika putra terakhir Nabi Muhammad SAW meninggal. Disebutkan bahwa Nabi pun remuk hatinya dan menangis. Bahkan kematiannya itu diolok-olok dan disambut gembira oleh sebagian orang Quraish, karena mereka berpendapat kematian putra Nabi tersebut akan membuat Nabi kehilangan penerus, terputus keturunannya (abtar).
Allah SWT kemudian menurunkan Surat Al-Kautsar; sebuah surat yang aneh untuk diberikan kepada seorang yang sedang berduka karena dimulai dengan pernyataan bahwa Allah telah memberikan nikmat yang banyak. Mungkin kita berpikir akan lebih tepat jika Allah memberi sebuah ayat tentang sabar atau tentang takdir. Tapi malah ayat yang turun adalah tentang nikmat. Mungkin karena itulah yang harus selalu kita ingat; ketika kita kehilangan satu hal, kita masih punya banyak nikmat lain yang tak terhitung.
Di ayat kedua, Allah menyuruh untuk melaksanakan shalat dan berkorban, seolah kematian putranya itu memang pengorbanan Nabi SAW. Dan di ayat ketiga Allah menyebut bahwa mereka yang membenci Nabi, merekalah yang terputus (abtar).
Melihat kesedihan Nabi Muhammad, umat muslim pun jatuh dalam duka yang mendalam. Nabi SAW, sebagai teladan, pun bersabda, “Aku tidak melarang orang berduka cita, tapi yang kularang menangis dengan suara keras. Apa yang kamu lihat dalam diriku sekarang adalah pengaruh cinta kasih di dalam hati. Orang yang tiada menunjukkan kasih sayang, maka orang lain pun tidak akan menunjukkan kasih sayang kepadanya.” [sumber]
***
Saya suka sekali membaca kisah-kisah Nabi dan mengambil poin-poin pelajarannya. Memang, saya suka baca cerita-cerita karena lumayan sering baca buku fiksi, tapi kisah-kisah Nabi ini, terutama yang tertuang dalam Al-Qur’an, jika direnungkan ternyata mampu membawa saya menyelam ke dalam lautan yang penuh hikmah; yang tidak saya dapatkan dalam buku fiksi manapun.
Ketika menulis postingan ini, saya memang ingin berbagi poin-poin pembelajarannya dengan siapapun yang membaca blog saya. Tapi itu bukan berarti saya telah meresapi hikmah itu secara sempurna. Sebaliknya, orang pertama yang harus mendalami hikmah kisah-kisah ini adalah saya sendiri yang merenungkannya.
Beberapa waktu kemarin, saya begitu impulsif hingga menyakiti hati orang-orang di sekitar saya. Saya ingin meminta maaf yang tulus. Saya masih agak kesulitan untuk mengendalikan diri saya ketika didera ujian-ujian, terutama jika ujian tersebut datang dari orang-orang yang saya cintai, yang membuat saya bisa sangat berduka. Semoga saya diberi kekuatan yang lebih besar untuk menghadapinya lagi kedepannya. Juga untuk anda, semoga selalu diberi kekuatan untuk menghadapi semua ujian dan berpegang teguh pada Allah SWT. Aamiin.
Wallahu’alam.
Fajrin Yusuf M
Garut, 30 Juli 2018
Mohon doanya, semoga saya selalu bisa menjadi lebih baik. J
No Comments