Papandayan 2018

Papandayan 2018

Papandayan 2018
oleh: Fajrin Yusuf M

Dini hari itu angin di Pondok Saladah meraung-raung,
2.28, ku tengok jam tanganku.
Beberapa tenda sudah roboh, beberapa pendaki pemula tumbang,
Aku tidak sempat memikirkan mereka,
Aku memikirkan teman-temanku,

Surili penyendiri yang ditinggalkan kelompoknya,
Si Omèn yang penuh tempramen,
Barudak Cangèhgar, si ayam-ayam jenggar, sobat si Omèn,
Si anak nyentrik, Careuh Bulan, yang kentutnya wangi pandan,

dan tentu saja, walau dia bukan temanku, aku memikirkan dia juga,
Si Nyonya Ratu, yang ditunggangi malaikat pencabut nyawa.

Apa yang mereka lakukan menghadapi angin yang meraung-raung ini?
Tidak ada atap, tidak ada dinding,
Hanya dingin cantigi, berbalut halimun lembut.

Hileud Bulu

Hammock-ku bergoyang tak karuan, sleeping bag-ku takluk,
Dahan-dahan cantigi berderak,
Beberapa ulat bulu jatuh dari ranjang mereka,
Pucuk cantigi yang empuk manis, 4 meter tingginya,
Pluk!
Tiba-tiba jatuh ke wajahku yang hitam, dingin, dan keras,

Hampura mang bisi mèrang,” kata si ulat memohon ampun.

Teu kunaon, jang,” ucapku pelan. Si ulat perlahan menyingkir dari wajahku.

Sebelum si ulat pergi, sebuah pertanyaan menyeruak dari otakku yang beku.

Jang, ari barudak nu lain kamarana?” tanyaku.

barudak nu mana?” si ulat balik bertanya.

Nya nu sok aya didieu, si Omèn, surili, cangèhgar, si careuh, kan baheula mah sok didieu.

Si ulat berpikir sejenak,
melihatku seakan menimbang-nimbang,
apakah aku manusia yang bisa dipercaya atau tidak,
dia bimbang,

Angin semakin meraung-raung seolah dia tak suka aku mengabaikannya.

Careuh Bulan nyumput di lalangit toilèt, tanyakeun wè jig ka manèhna,” bisik si ulat.

Careuh Bulan

Ada banyak toilet di Pondok Saladah, tapi aku tahu yang mana,
Karena tentu saja tidak ada tahi manusia yang wangi pandan,

Ku tutup toilet,
Angin menggebrak meminta masuk,
semakin marah dia,

Mang Careuh!” ku panggil si Careuh Bulan.
Perlahan kepalanya menyembul penasaran.

èh, si kamprèt jug aya didieu, naon silaing rèk modol?” katanya sambil terkekeh,
akhirnya turun dari langit-langit toilet dia.

manèh nu lieur, cicing didinya, resep no’ong jelema modol?” balasku bercanda.

aing mah ti baheula ge didieu, kamprèt, ku bangsa manèh tangkal aing dituar dijieun tempat modol,” katanya tersinggung. Yah, aku baru ingat kalau dulu rumahnya memang tepat di lokasi toilet ini.

hampura atuh mang, kalem, tong sok siga si Omèn kitu babasaan tèh gorèng,” ujarku meminta maaf. “urang sapeuting neang barudak, naha bet areuweuh? Kamarana?

Si Careuh Bulan menatapku tidak percaya, seolah pertanyaan itu sangat konyol,
tapi dia tidak berkata apa-apa. Dia hanya kembali ke atas langit-langit toilet.

cik mènta dahareun saeutik mang,” ucap si Careuh lirih.

Kebetulan ada sebungkus Silverqueen Bites Almond dalam saku,
ku lempar beberapa butir ke arahnya,
dia menangkap dengan gesitnya.
sambil fokus menggigiti cokelatnya, si Careuh bergumam,

simpen sangu na taneuh, terus poèkan. Si Omèn bakal nyampeurkeun geura.

Si Omèn

Tidak ada adzan Subuh di Pondok Saladah,
tapi ketika waktunya tiba, sang angin pun reda seolah ingin menghormatinya,

Sengaja nasi sisa ku tuang di atas tanah,
di bawah hammock yang kupasang tinggi,

Lalu aku merasakan kehadirannya,
Menjungur pelan dia, tapi tetap bersuara karena sudah tabiatnya.
Sebersit pikiran jahil muncul di benakku.
Kutepuk pantatnya kuat-kuat.

anying, grook, grook, sok mana siah!!!” teriaknya kaget.
Aku terbahak.
Melihatku di atas hammock, dia mencoba melukaiku dengan taringnya yang tajam.
tapi aku tahu, hammock-ku terlalu tinggi untuknya,
untuk babi hutan manapun juga, sebenarnya.

si kamprèt siah, kadieu turun goblog, disuruduk ku aing!

hahaha, mèèn omèn, ti baheula masih we ambek-ambekan,” kataku menggodanya.

Dia tidak menjawabku, dia hanya melihat was-was ke sekeliling.
Dia kembali menatapku marah, lalu menunjukkan punggungnya.
Hanya dengan cahaya headlamp, aku bisa melihatnya,
luka sayatan mengerikan.

kunaon èta manèh mèn?” ucapku terkejut.
Aku turun dari hammock-ku untuk melihat dan merawat lukanya,
tapi si Omèn melangkah menjauh.

ku anjing nu moro,” katanya menjelaskan.

mana anjingna?” aku mencoba membela.

geus depa,” jawabnya sambil memperlihatkan taringnya yang runcing berwarna merah darah.

Dia melangkah pergi, tanpa mengucap apapun untukku,
Aku tidak lagi mengenalnya.

Dulu, anak-anak cangèhgar mengikutinya kemanapun dia pergi,
ketika dia menjungur, cacing-cacing akan menyeruak dari dalam tanah,
dia membiarkan ayam-ayam hijau itu memakan cacingnya.
Walau pemarah, kita tetap menyayanginya,
karena kita juga tahu, dia menyayangi kita semua.

Pikiran bahwa dia bertarung dengan seekor anjing pemburu,
dan membunuhnya,
sangat sulit aku cerna.

Surili

Si Surili muncul pagi-pagi,
Mencari buah-buah cantigi,
beruntung sekali aku melihatnya,
Karena hanya ada satu surili saja di Pondok Saladah ini.

Dan dia terlalu pendiam, penyendiri,
dulu sempat ku kira memang begitu sifatnya.

Si Omèn dan anak-anak Cangèhgar yang bercerita kisahnya,
cedera, jatuh dari pohon puspa,
dianggap memalukan oleh kelompoknya,
ditinggalkan, dia mengungsi ke hutan tenda-tenda manusia,
kakinya bengkok dan tidak bisa meloncat jauh seperti surili biasa.

Melihatku, dia mendekat dan hinggap di ranting,

Mang, keur didieu geuning,” katanya menyapa.
Aku terpana karena kupikir dia tidak akan sanggup melakukan hal itu.
Menyapa.
Mengingat tabiatnya.

Hampir ku bertanya kabar dan kesehatannya,
untung aku lihat kaki bengkoknya yang tak kan bisa diperbaiki lagi itu,
jadi alih-alih kabarnya, ku tanya kabar anak-anak ayam hijau.

geus lila teu ulin kadieu, mang,” kataku. “ari barudak cangèhgar kamarana?

Dia meloncat ke ranting cantigi yang ada buahnya,
hampir jatuh lagi dia,
dengan malu dia menggigiti buah itu.

parindah ka Tegal Panjang, mang,” katanya pelan.
Aku terkejut.

maenya? Atuh saimah jeung si Ratu?

Si Surili hanya mengangkat bahunya, seakan-akan berkata,
ya mau bagaimana lagi.

Cangèhgar

Manusia biasa tidak boleh mengunjungi Tegal Panjang,
bukan karena dosa,
tapi karena sekelompok manusia juga yang buat aturannya,
UU no.5 tahun 1990, katanya, entah siapa,
Cagar Alam mereka bilang,

Aku tidak mengunjunginya,
bukan karena taat aturannya,
tapi karena aku takut bertatap muka dengan si Ratu,
Aku menghormatinya,
dan aku juga ingin leherku agar tetap menempel di tempatnya.

Hari ini aku pikir akan pergi ke sana,
aku harus membujuk anak-anak Cangèhgar agar pergi dari tempat itu,
walau takut, sudah bulat tekadku menapaki jalur itu,
Si Surili diam-diam mengikutiku dari belakang,
dari dahan ke dahan.
lalu berhenti.

Sebelum aku bertanya mengapa, dia menunjuk ke utara,
aku mengangguk,

Luar biasa indah tempat yang tidak ada manusianya itu,
Padang savana dibelah lembah,
Padang penjara kata anak-anak mapala,
Sekali masuk, sulit mencari jalan keluarnya,
Lebih mirip padang surga kalau menurut mata.

Aku mengikuti arah utara,
Si Surili berhenti mengikuti,
kulihat sedang menangis dia,
mungkin karena tidak ada lagi dahan yang bisa diloncati,
atau teringat kawan-kawan lama yang membuangnya,
atau kaki bengkoknya,
atau apalah,
dia punya sejuta alasan untuk menangis.
dan aku memaklumi.

Sayup kudengar suara anak Cangèhgar,
senang ku bukan kepalang,
Surili itu pasti sudah bisa melihatnya dari ketinggian,
dia memberiku petunjuk.

Kusibak ilalang, lalu aku runtuh,
melihat ayam hijau itu tidak lagi utuh,
terkulai lunglai di tempat terburuk untuk semua makhluk bertubuh,
mulut Sang Nyonya Ratu Pakuan Galuh.

Si Nyonya Ratu

Sang Nyonya Ratu menurunkan ayam malang itu dari mulutnya,
lalu memasang kuda-kudanya mengancam,
hitam bulunya mencekam.

Aku membungkuk berlutut pasrah,
mengakui kekuasaannya,

neda dihapunten samudaya kalepatan simkuring,” ucapku tunduk.

Si Ratu melepas kuda-kudanya,
dan melihatku dengan tatapan merendahkan,

Kawula lain leungit rasa,
Kawula nyepeng ka nu Maha Kawasa,
Baheula, kawula lumpat ti Raden Prabu Maharaja,
Si Belang nu ayeuna tas teu aya,
Isuk pagèto, kawula ogè bakal sirna,
ninggalkeun ngaran jeung tatapakan di ieu dunya,
mulih ka jati mulang ka asalna,

Anjeun ogè bakal aya mangsana,
mun qodo qodar geus tumiba,
moal bisa lumpat kamamana,
siga ieu hayam boga waruga,
dicabut teu kira-kira,
lain kusabab Kawula leungit rasa,

Ulah gedè hulu jadi jelema,
Nu dijieun tina taneuh, balik deui kana taneuh.

Si Nyonya Ratu mengangguk anggun,
lalu pergi,
dari semak-semak, muncul dengan takut,
seekor macan kumbang cilik, anaknya kukira,
dia menatapku janggal,
lalu pergi mengikuti ibunya.

meninggalkanku menangis sejadi-jadinya.

***

Aku

Aku turun dari Papandayan dengan menumpangi mobil pick up pengangkut sampah,
milik PT Asri Indah Lestari, tentu saja.

Lalu tidur di atas ranjang kapuk empuk,
hanya untuk dibangunkan kembali,
oleh raungan angin Pondok Saladah.

2.28, ku tengok jam dindingku,
angin itu tidak membiarkanku tidur,
terus saja bergemuruh,
seperti suara mesin pesawat terbang,
dinyalakan hanya beberapa depa dari telinga.

Tidak ada yang lebih buruk dari angin yang meraung-raung dalam hati.
menghembuskan mimpi buruk lampu kota dan kokang senapan para pecinta tawa,
membunuh tiap-tiap gemuruh,
mencacah tiap-tiap kecambah,
memecah kisah-kisah indah,

bersisa dingin cantigi,
berbalut halimun lembut,
dan cerita kawan yang hilang di tengah bayang-bayang,

***

Aku bersyukur pada-Mu,
atas semua angin yang Kau tiupkan di Papandayan,
atas semua topan yang Kau tanam dalam tempayan,
udara yang ku hirup, aku alirkan dalam darah,
dalam hati badainya tumbuh bertambah,
menguatkanku dalam ketidak-berdayaanku.

Tuhan, aku, milik-Mu.

***

Papandayan 2018
Fajrin Yusuf Muttaqin,
Pondok Saladah, 6 Mei 2018

***




****

SUKA DENGAN TULISAN SAYA?

Kalau suka, tolong di share dong tulisannya, biar makin banyak yang main ke sini.
Kalian juga bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂

Share

Published byFajrin Yusuf

AsGar, Social Entrepreneur, Hiker, Writing to Kill Time

No Comments

Post a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Share