Renungan di Pagi dan Petang

Renungan di Pagi dan Petang

Renungan di Pagi dan Petang.
Jadi pagi ini, seseorang muncul di timeline media sosial saya dengan sebuah doa yang memberi saya beberapa renungan. Doa itu adalah:

“Ya hayyu ya qoyyum bi rahmatika astaghiits, wa ash-lihlii sya’nii kullahu wa laa takilnii ilaa nafsii thorfata ‘ainin abadan”

Arti dari doa tersebut kira-kira begini:

“Wahai Yang Maha Hidup, wahai Yang Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku meminta pertolongan, dan perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekalipun hanya sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dari-Mu) selamanya”

Beberapa minggu kebelakang ini saya sedang banyak target, jadi seringkali saya tidak punya waktu untuk berpikir dan merenung. Renungan saya di pagi hari ini pun terhambat oleh kerjaan, dan baru bisa merenung lagi sore hari. Lalu menulis hasil renungan itu di sini, dengan judul yang tidak kreatif, yaitu renungan di pagi dan petang. Ga penting ya, ya maaf.

Renungan yang muncul di benak saya adalah tentang beberapa kata yang diucapkan dalam doa tersebut, yaitu salah satu nama Allah: Qayyum, meminta pertolongan: Astaghiits, dan minta diperbaiki: Ashlih. Beberapa renungan ini membawa saya melamun jauh, dan pada akhirnya saya pikir harus dituliskan di sini, daripada dipendam. Terlebih saya juga sudah lama tidak menulis di sini. Walaupun demikian, saya sebenarnya tidak terlalu paham hadits dari doa ini, dan tidak akan terlalu membahasnya. Jadi kalau ingin baca makna dan sanad hadits ini, cari di web lain ya. Hehe… Ini mah hanya renungan sebatas pengetahuan diri saya saja tentang Bahasa Arab. Kalau ada salah, mohon koreksinya ya.

Jadi berikut beberapa renungan di pagi dan petang saya hari ini.

Renungan di pagi dan petang 1: Qayyum

Qayyum itu asal katanya Qum (qaf dan mim), artinya berdiri. Hanya saja kata Qayyum itu agak sulit diartikan menjadi satu kata, karena selain “berdiri sendiri” kata ini juga seharusnya mencakup arti kata “memberdirikan”. Jadi selain berdiri sendiri, Allah juga memberdirikan; dalam artian menjaga semuanya tetap berdiri; menjaga hukum-hukum alam tetap terjaga, menjaga tubuh kita tetap berfungsi, dan menjaga semuanya.

Tapi renungan saya beralih pada satu padanan kata yang lain dari kata Qayyuum, yaitu Qawwaam, yang juga agak sulit diartikan. Karena pada satu ayat yang terkenal “Arrijaalu qawwaamuna ‘ala An-Nisaa” (An-Nisa:34), qawwam diartikan sebagai pemimpin (laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan); yang menurut saya itu bisa sangat disalah-artikan.

Allah bisa saja menggunakan kata yang lain untuk pemimpin (seperti imam, ra-is, za’im, dll.), tapi dalam ayat itu Allah menggunakan kata qawwaam, yang secara harfiah mungkin bisa diartikan “yang terus menerus memberdirikan”. Kata qawwaam ini satu bentuk dengan kata ghaffaar (Maha Memberi Pengampunan; terus menerus memberi ampun), atau wahhaab (Maha Memberi; terus menerus memberi).

Seperti Allah yang memberdirikan semesta; menjaga semua hal untuk tetap tegak, mungkin itulah juga peran seorang laki-laki terhadap wanita; yaitu memberdirikan, menjaganya tetap tegak. Renungan ini terus memberi saya uneg-uneg, karena menurut saya, kata qawwam, tidak mengandung arti “kepemilikan” ataupun “wewenang”, yang seringkali disematkan pada kata “pemimpin”. Apa yang sebenarnya ingin disampaikan Allah dari kalimat bahwa “Ar-Rijaalu qawwaamuna ‘ala An-Nisaa”? Mungkin saya harus lebih banyak baca hasil renungan dan kajian orang-orang terdahulu.

Menarik sekali melihat doa ini diawali dengan deklarasi kepercayaan kita bahwa Allah itu Hayyu, yang juga bisa diartikan “hidup” dan “menghidupkan”, serta Qayyum, “berdiri sendiri” dan “memberdirikan”, lalu baru diteruskan dengan permintaan kita akan pertolongan.

Renungan di pagi dan petang 2: Astaghiits

Ketika membaca astaghiits, saya teringat kata lainnya yaitu istighotsah, yang sebenarnya merupakan kata yang sama. Dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan saya, istighotsah sudah disematkan pada satu kegiatan tertentu, biasanya berbentuk doa bersama untuk berbagai hal.

Yang menarik adalah, saya teringat dengan kata lain juga untuk “meminta pertolongan” yang mestinya lebih populer dari istighotsah, yaitu isti’aana. Kenapa mestinya lebih populer? Karena kita menyebutnya di setiap shalat: iyyaka na’budu, wa iyyaka nasta’iin (hanya kepada-Mu kita menyembah, dan hanya kepada-Mu kita meminta pertolongan).

Yang lebih menarik lagi, Al-Qur’an itu tidak pernah typo atau salah menggunakan kata. Jadi logis kalau saya bertanya, kenapa tidak ditulis “iyyaka na’budu wa iyyaka nastaghiits”? Konsekuensi apa yang terjadi dari beda penggunaan istighatsa dan isti’aana? Dua-duanya punya bentuk sama (istaf’ala), yang artinya meminta (seperti istaghfara, yang artinya meminta ampunan).

Telisik punya telisik, ternyata yang membedakan adalah jenis pertolongan yang dibutuhkan. Dalam bahasa Arab, jika misal kalian sedang mendorong mobil dan kesulitan, lalu meminta pertolongan orang lain, maka kalian menggunakan isti’aana. Tapi misal, jika kalian kesulitan karena jalan di desa kalian jelek, dan kalian tidak berdaya sama sekali untuk memperbaikinya, maka kata permintaan pertolongan yang digunakan adalah istighatsa. Jadi kalau kita masih bisa mengusahakan dan butuh pertolongan, maka pakai isti’aana, tapi kalau hal yang diminta itu diluar kemampuan kita untuk mengusahakannya, maka pakai istighatsa. Begitu sepertinya.

Yang unik, di surat Al-Ahqaf ayat 17, ada kejadian dimana orang tua menghadapi anak yang tidak percaya hari akhir, lalu kedua orang tua itu meminta pertolongan. Kata yang digunakan adalah “yastaghitsaan”. Keduanya (orang tua si anak) meminta pertolongan dengan kata istighatsa karena sadar, hidayah itu datang sebagai hak prerogatif Allah. Makanya, buat kita yang telah memiliki keimanan terpatri dalam hati, percayalah, itu adalah nikmat yang luar biasa besarnya, karena tidak ada seorang pun yang bisa menanamkan itu selain Allah.

Di ayat yang lain, Allah menyuruh kita meminta pertolongan dengan sabar dan shalat, menggunakan isti’aana dalam ayat “wasta’iinu bisshabri wa ash-shalat” (Al-Baqarah:45). Implikasi logis dari ayat ini adalah, jika kita sedang mengusahakan sesuatu; seperti mencari rezeki, mencari jodoh, mencari ilmu, dan hal-hal lain yang kita usahakan, maka bentuk permintaan tolong (isti’aana) yang kita gunakan adalah sabar dan shalat. Di ayat ini juga disebutkan, sabar dan shalat itu sulit, kecuali untuk mereka yang khusyuk. Jadi ayo kita perbaiki shalat kita yah, dipahami bacaannya, diresapi gerakannya, disegerakan di waktunya. 🙂

Doa ini juga unik, karena kita minta pertolongan tentang hal yang kita usahakan menggunakan kata istighatsa (bukannya isti’aana), mungkin karena itulah doa dilanjutkan dengan permintaan agar semua urusan yang kita usahakan pun tidak diserahkan kepada kita tanpa mendapat pertolongan dari Allah. Mungkin doa ini adalah bentuk berserah-diri yang total kepada-Nya.

Renungan di pagi dan petang 3: Ashlih

Doa ini menggunakan kata Ashlih yang diartikan menjadi “perbaikilah”. Unik juga karena, Ashlih ini juga satu asal kata dengan Shalih. Kalau direnungkan, kita bisa tahu doa ini tidak meminta urusan kita diperbaiki seperti rizki diperbanyak, jodoh dipercepat, jabatan ditingkatkan, tapi minta urusan kita disolehkan. Disolehkan dalam mencari rezeki, disolehkan dalam membina rumah tangga (atau mencari), disolehkan dalam mencari ilmu dan sebagainya.

Seringkali kita terjebak hanya meminta suatu hal, tanpa mengisi esensi dari permintaan tersebut. Berdoa meminta banyak rezeki, tapi tidak soleh dalam pencarian rezekinya. Meminta jodoh yang soleh, tapi tidak mensolehkan diri. Meminta jabatan, tapi sikat sikut kanan kiri. Dengan doa ini, mestinya kita bisa memperbaiki niat kita, bahwa yang kita minta adalah perbaikan diri dalam menghadapi semua urusan kita.

Karena justru yang dihitung oleh Allah bukan rezekinya, bukan jabatannya, bukan ilmunya, bukan jodohnya, tapi kesolehannya. Kitu cenah sigana mah.

***

Sudah lama saya tidak posting di blog ini. Beberapa minggu ke belakang ini merasa diri tumpul sekali ketika menulis. Terlalu habis tenaganya buat ngerjain yang lain. Membaca doa ini memberi saya renungan-renungan tentang apa yang sedang saya usahakan, apa yang ingin saya raih di masa depan, dan juga penyesalan-penyesalan masa lalu yang coba saya ambil pelajarannya.

Banyak sekali poin-poin renungan yang tidak saya bagikan di sini; bukan karena tidak ingin berbagi, tapi karena renungan itu lebih tepat ditanamkan pada diri saya sendiri saja, sebagai bahan pengingat, bahwa diri ini penuh kelemahan, dan pada hakikatnya, sama sekali tak berdaya atas apapun.

Terima kasih sudah baca sampai sini. Jika saya berbuat salah, mohon jangan sungkan untuk mengingatkan saya secara langsung. Termasuk kesalahan saya dalam tulas-tulis ini-itu.

Wallahu a’lam

Renungan di Pagi dan Petang
Fajrin Yusuf M
Garut, 30 April 2018

PS. Maaf karena jarang posting, UKM saya lagi menuntut komitmen tinggi untuk mencurahkan waktu. Doakan semoga sukses.

 

Baca juga tulisan saya yang lain tentang
Ar-Rahman: Membangun Hubungan Personal dengan Al-Qur'an




****

SUKA DENGAN TULISAN SAYA?

Kalau suka, tolong di share dong tulisannya, biar makin banyak yang main ke sini.
Kalian juga bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂

Share

Published byFajrin Yusuf

AsGar, Social Entrepreneur, Hiker, Writing to Kill Time

No Comments

Post a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Share