Mungkin ini tulisan ketiga saya yang sumber tenaganya berasal dari novelnya Paulo Coelho (dan mungkin yang terakhir karena saya jadi males baca buku beliau lagi), setelah the Alchemist vs the Al-Qur’an dan Veronika yang Memutuskan Mati (yang tulisannya tidak dipublish di blog ini). Kali ini buku yang menjadi alasan saya menulis ini adalah novel beliau yang berjudul the Zahir. Walaupun demikian, tulisan ini bukan tentang buku tersebut. Hanya saja memang karena buku itulah saya menulis ini. Kalian tidak perlu membaca buku itu dulu untuk mengerti tulisan saya ini, dan saya juga tidak sedang merekomendasikan kalian untuk baca buku ini.
Malahan, jika pada dua buku sebelumnya saya ingin mengomentari dan memberi alternatif sisi filosofis yang ditonjolkan buku melalui pendapat filosofis pribadi, pada buku ini, saya hanya tidak tahan ingin memberi kritik pedas karena filosofi tentang cinta di buku ini, setidaknya menurut saya, sangat dangkal dan, walaupun ceritanya (dikesankan) fiksi, sangat sulit diterima. Tapi yah, kalian bisa jadi punya pendapat berbeda kalau baca buku ini dan itu sah-sah saja.
Kisah-kisah Tentang Kekuatan Cinta
Sudah bertahun-tahun lamanya sejak Lily Potter berada di antara anaknya, Harry, dan Lord Voldemort; melindungi Harry Potter dari kutukan Avada Kedavra dengan kekuatan cinta seorang ibu. Juga sudah cukup lama sejak Queen Elsa mencairkan es di Arendelle dengan kekuatan cintanya pada tanah air dan rakyatnya. Di sisi yang agak tragis, kita punya kisah Romeo dan Juliet yang akhirnya mati demi cintanya pada masing-masing, atau kisah cinta Zainuddin dan Hayati yang tenggelam bersama Kapal Van Der Wijk.
Diakui atau tidak, cerita-cerita dan dongeng-dongeng seringkali mempersepsikan kekuatan cinta sebagai kekuatan yang suci; yang paling agung. Sepertinya itu juga yang ingin ditonjolkan di buku Zahir ini. Sayangnya, tidak seperti kisah-kisah yang ditulis sebelumnya, di buku Zahir ini saya dibuat kebingungan dengan kata-kata cinta yang diumbar tanpa diberi batas. Membuat saya berpikir bahwa kata-kata yang terdengar (terbaca) bijak dari si penulis ini hanya kata-kata saja yang kosong maknanya. Banyak sekali kalimat-kalimat yang quotable, terutama tentang cinta, tapi karena si kisah yang tidak merepresentasikan kalimat itu malah terdengar (terbaca) seperti bualan saja.
Walau demikian, yah sekali lagi, itu mah pendapat saya saja sih. Kalian bisa punya pendapat yang berbeda. Lagipula bukan itu yang ingin saya sampaikan di tulisan ini. Satu hal yang bisa saya ambil dari buku ini adalah bahwa “persepsi tentang kekuatan cinta pun tergantung dari norma dan nilai yang dianut”. Walau rasa cinta yang naluriah, seperti cinta seorang ibu pada anak, hampir bisa dipastikan zahirnya, tetap saja bentuk ungkapan cintanya bisa macam-macam. Seperti si tokoh utama novel the Zahir yang terobsesi ingin mencari istrinya; cinta sejatinya; zahirnya; yang hilang, tapi tetap saja dia main cinta-cintaan sama wanita lain sembari mencari istrinya itu. Mungkin memang nilai yang dianutnya seperti itu (walau tetap saja agak tak masuk akal buat saya).
Kekuatan cinta dalam kisah-kisah itu seringkali menjadi poin penting; jika bukan yang terpenting; dalam kisah itu. Harry Potter tetap hidup karena cinta ibunya; juga Snape yang memendam cintanya hingga buku ketujuh. Arendelle kembali ke musim panas karena cinta ratunya. Romeo dan Juliet punya kekuatan untuk mengakhiri hidupnya masing-masing karena cinta mereka. Naruto sebagai simbol cinta mengalahkan Sasuke yang menyandang simbol kekuatan dan kecerdasan. Dan banyak lagi kisah lainnya yang mengangkat cinta ke level yang paling tinggi.
Nah, bagi kita yang muslim, dan juga menganut nilai-nilai islam, apakah kita juga harus mensucikan kekuatan cinta seperti pada cerita-cerita tersebut? Kalian boleh punya pendapat masing-masing. Tapi tahukah kalian, bahwa sifat Allah yang mula-mula diperkenalkan pada kita (dan kemudian kita sebut berulang-ulang sampai hampir kehilangan maknanya) adalah dua sifat tentang cinta-Nya?
Cinta yang Zahir bagi Seorang Muslim
Zahir itu bahasa arab, dan si penulis novel the Zahir mengakui itu dalam tulisannya. Bahkan dia mengakui bahwa istilah itu diambil dari istilah Islam. Entah yang dimaksud penulis itu Zahir dengan huruf Za, seperti kata Zahra, yang artinya “mekar” seperti bunga, atau Zahir dengan huruf Dza seperti kata Dzuhur yang artinya “jelas” sejelas siang waktu kita shalat Dzuhur; yaitu Dzahir sebagai kebalikan kata “Bathin” yang tidak terlihat.
Tapi yang saya tangkap dari si penulis, yang dia maksud dengan Zahir di novel ini adalah sesuatu yang dijelaskan oleh urban dictionary di link ini, yaitu sesuatu yang menyebabkan obsesi yang berlebihan di hati seseorang (something which causes an irresistable obsession in a person). Dan bagi si tokoh utama, Zahirnya punya nama, dan namanya adalah Esther (hal 75), istrinya. Apakah itu cinta? Entahlah, yang pasti si tokoh utama juga menyebut bahwa Esther itu memang cinta sejatinya.
Bagi seorang muslim, Cinta yang Zahir, entah kalian mau ambil definisi yang mana, itu termanifestasi ke dalam dua nama yang agung: Rahmaan dan Rahiim.
Jika anda buka Al-Qur’an dan membacanya dari awal, maka kata pertama yang muncul adalah dengan nama Allah yang Rahman dan Rahim. Itulah dua deskripsi awal dari nama Allah. Disebut-sebut oleh orang muslim setiap saat, dalam ucapan bismillah, dalam Al-Fatihah waktu shalat; berulang-ulang seringkali tanpa diresapi apa itu maknanya, mengapa mesti dua kata itu, atau apa bedanya dua kata itu.
Kita mengartikannya dengan “Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”. Apa bedanya pengasih dan penyayang? Sama saja kan? Rahmaan dan Rahiim itu juga memang punya asal kata yang sama. Saya mungkin belajar dasar-dasar bahasa Arab cuma tiga tahun di Tsanawiyyah, tapi saya cukup paham untuk tahu bahwa dua kata itu berasal dari satu asal kata yang sama. Termasuk juga satu asal kata dengan kata Rahim (tanpa huruf Ya) yang berarti rahim ibu. Ini juga ada hadits qudsi-nya, yang berbunyi “Allah berfirman: ‘Aku adalah Ar-Rahmaan: Aku menciptakan rahim (ibu) dan menurunkan nama itu dari Namaku, barangsiapa yang memelihara ikatannya (ikatan rahim), Aku akan memelihara Ikatanku dengannya, dan barangsiapa yang memutus ikatannya, Aku juga akan memutus Ikatanku dengannya.” (kira-kira begitu redaksinya, cmiiw)
Lalu apa bedanya? Nah, seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Arab juga punya sistem seperti imbuhan yang dapat mengubah makna kata dari kata asalnya. Arti kata “kepanasan“ dan “dipanaskan” itu berbeda walaupun asal katanya sama, yaitu panas. Juga kata “menggaulkan” dan “menggauli” artinya jauh berbeda, walau mungkin satu asal kata, gaul. wkwkwk.
Dalam kasus Rahmaan, kita bisa lihat bentuk kata lain seperti kata ‘Gadhab’ yang artinya marah, ada bentuk lainnya yaitu ‘Gadhbaan’ yang artinya sangat sangat marah. Atau ‘Jau’aan’ yang artinya kelaparan (sangat sangat lapar, dari asal kata lapar). Atau ‘‘Athshaan’ yang artinya kehausan atau sangat sangat haus. Jadi bentuk ini (fa’laan) adalah bentuk kondisi ekstrim dari suatu kata (marah jadi sangat marah, lapar jadi sangat lapar).
Kata rahm bisa dilihat sebagai kata sifat dari cinta seorang ibu; yang mengandung anaknya, merawatnya, walau anaknya bikin dia sakit, mual-mual, susah tidur, makan ga enak, bahkan si ibu bisa saja meninggal saat melahirkan. Si anak yang dikandung tidak tahu seberapa besar cinta ibunya. Si anak juga tidak tahu betapa hidupnya sangat tergantung kepada si ibu. Menurut saya, cinta seorang ibu terhadap anak yang dikandungnya merupakan bentuk unconditional love paling dalam dari hati manusia.
Tapi bahkan ada bentuk ekstrim dari kata cinta tersebut, yaitu Rahmaan. Seperti ghadab atau ‘atsh yang diberi bentuk ghadhbaan dan ‘atshaan untuk menunjukkan bentuk ekstrimnya, Rahmaan pun demikian, menyiratkan bentuk cinta yang amat sangat.
Ada 3 sifat dari kata berbentuk fa’laan ini. Yang pertama adalah dia bentuk ekstrim dari kata asalnya, seperti yang telah diuraikan tadi. Lalu yang kedua, kata ini menunjukkan kondisi yang terjadi saat ini. Jika anda bilang Gadhbaan (sangat sangat marah) itu berarti kondisi sangat sangat marah itu terjadi saat itu juga. Juga ‘Athshaan (sangat sangat haus) itu berarti kalau tidak segera minum saat itu juga, anda bisa mati kehausan. Urgensinya adalah segera, saat ini juga. Rahmaan itu juga terjadi saat ini juga, ketika anda baca tulisan saya ini. Jika direnungkan, kalian bisa mengerti bahwa kasih sayang Allah (Rahmaan) itu sedang terjadi lewat mata anda yang masih bisa melihat, gadget anda untuk baca tulisan saya ini, adanya sinyal internet, sistem peredaran darah dan sistem saraf tubuh anda bekerja sempurna, ada atap yang menaungi anda, dan banyak lagi kasih sayang Allah yang terjadi saat ini juga. Itulah sifat kata Rahmaan. Allah sangat mencintai kita, saat ini juga.
Tapi sifat yang ketiga dari bentuk kata ekstrim ini adalah dia tidak permanen. Ketika anda bilang ‘Athshaan (sangat haus) anda harus minum dan setelah minum anda tidak lagi sangat haus. Ketika anda bilang Ghadhbaan (sangat marah) anda harus menenangkan diri atau ditenangkan oleh orang lain, dan setelah anda tenang, anda tidak lagi dalam keadaan Ghadhbaan. Sama halnya dengan kata Rahmaan. Ada sesuatu yang bisa menghentikan kasih sayang yang luar biasa itu, seperti minum menghentikan ‘Athshaan. Jau’aan (kondisi kelaparan) tidak akan hilang kecuali anda makan, sama halnya dengan Rahmaan yang tidak akan hilang kecuali kitalah yang menghilangkannya dengan tindakan kita. Ketika kita berharap pada Rahmaan, kita seharusnya juga takut akan hal-hal yang bisa menghilangkan kasih sayang-Nya itu dari kita. Itu yang harus selalu kita ingat.
Beda halnya dengan Rahiim, yang bentuk katanya murni merupakan kata sifat yang melekat pada seseorang/sesuatu. Sifatnya permanen, namun tidak selalu tentang saat ini. Misal, orang bilang ayah kalian itu tegas, tapi bisa jadi saat ini ayah kalian sedang melunak karena satu dan lain hal. Besok lusa dia bakal tegas lagi karena itu sifat aslinya. Misal, suami anda itu mencintai anda, tapi bisa jadi saat ini dia sedang jengkel sama anda. Besok lusa dia bakal kembali penuh kasih sayang jika memang itu sifatnya. Anda selalu bisa mengandalkan Allah dengan sifat Rahiim-Nya.
Jadi jika kalian berharap pada cinta dan kasih sayang Allah di masa yang akan datang, bahkan di masa setelah kehidupan dunia, sebutlah Rahiim karena memang itulah sifat-Nya, mintalah Dia untuk mengampuni kesalahan kalian. Dan jika kalian membutuhkan pertolongan dan kasih sayang-Nya segera saat ini juga, dalam hal apapun, maka percayalah dengan Rahmaan, karena itu juga merupakan sifat-Nya, itulah yang sedang terjadi saat ini juga, dan jangan lakukan hal-hal yang bisa menghentikan Rahmaan itu mengalir kepada kalian.
Rahmaan dan Rahiim saling mengisi setelah nama Allah. Itulah bentuk cinta yang zahir bagi seorang muslim.
***
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dua nama ini adalah deskripsi tentang Allah yang paling awal diperkenalkan dalam Al-Qur’an. Kita sebut berulang-ulang dalam shalat, juga dalam percakapan sehari-hari ketika mengucap basmalah, tapi makna dari dua nama Allah ini seolah hanya jadi nama saja. Semoga kita diberi keinginan untuk terus mengikuti petunjuk-Nya, terus dianugerahi cinta Rahmaan dan Rahiim-Nya. Amiin.
Maaf jika pemahaman saya kurang tepat. Kesalahan hanya ada pada diri saya, bukan pada nama-Nya. Silakan dikritisi di kolom komentar. 🙂
Wallahua’lam
Fajrin Yusuf M
Garut, 18 Maret 2018
Baca juga tulisan saya yang lain tentang Ar-Rahman: Membangun Hubungan Personal dengan Al-Qur'an
****
SUKA DENGAN TULISAN SAYA?
Kalau suka, tolong di share dong tulisannya, biar makin banyak yang main ke sini.
Kalian juga bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂
No Comments