Pohon Amanah
oleh: Fajrin Y. M.
Kita ini sekuat pohon.
Akar kita merajut tanah, menyerapnya hingga batu pun terpecah, hingga batang pun tak goyah. Wajah kita tengadah, lingkar kambium menegah runtuh teguh dan tabah. Rimbun ranting dedaunan melayah. Halau badai keluh kesah gundah gelisah.
Hanya kita yang punya falsafah, berdiri gagah menggapai langit cerah, sembari menjejak ranah-ranah rendah.
***
Kita ini setidak-berdaya pohon.
Muntah akar dimamah limbah, ditindih aspal rupiah, dijarah trotoar jalan megah penuh sampah. Bernanah getah batang dipaku timah dirah gambar wajah-wajah semringah lintah pengisap darah merah. Lelah ranting-ranting patah. Disambar halilintar hingga terbelah.
Hingga sadar bahwa musnah tak dapat dicegah. Bahwa kita hanya piadah lemah. Bahwa gemah ripah hanya di alam arwah.
***
Sejenak lihatlah ke bawah. Di sana kita mengejawantah, dari tingkah polah sampai jadi sejarah. Sia-sia negeri alah; jika bengah kita merangah. Seberapa jebah pun buah bercekah tumpah ruah, akhirnya juga kita punah.
Tinggi kita adalah pohon amanah, rendah kita bukanlah pohon musibah. Boleh kita merambah angkasa tak terjamah, tapi sejenak lihatlah ke bawah, cukup teduhkah kita untuk doa bertadah? Cukupkah buah faedah atau baru sekadar remah-remah?
***
Yah, tumbuh itu tak pernah mudah, penuh peluh, susah payah. Tapi tak usah resah. Setiap pelepah punya rajah. Jangan sampai kita terjajah wewarah yang salah. Berserahlah, panjatkan madah, telaah kaidah-kaidah ilmiah, petik hikmah, tundukkan pongah.
Damailah.
Mari tumbuhkan idah bunga yang indah, kita titipkan pada lebah-lebah, supaya berpindah kita ke semua penjuru arah. Biarkan anak-anak kita merekah, menjelajah kisah-kisah, melahirkan riuh canggah-canggah, pewaris tahta ilahiah, lembah-lembah yang kita sebut rumah, bumi tempat ibadah, tempat kesenangan singgah hingga jiwa-jiwa diunggah.
***
Ah sudah cukuplah, dua sumpah syahadah, lalu syukur Alhamdulillah.
Pohon Amanah
Fajrin Yusuf M.
Garut, 4 Februari 2018
***
Catatan.
Membuat tulisan dengan rima seperti ini itu sulit sekali. Butuh waktu dan ketekunan untuk meneliti kata-kata yang pas makna dan rimanya, tanpa mengurangi (dan malah harus menambah) keindahan karya sastranya. Sepertinya tidak mungkin seseorang yang buta huruf mereka-reka sesuatu seperti ini dalam waktu singkat. Rima-rima ayat dalam Al-Qur’an jauh lebih kompleks dan konsisten dengan pesannya. Memang mustahil Muhammad SAW, yang buta huruf, mereka-reka tulisan seperti itu. Beliau bahkan tidak bisa menulis.
Terlebih wahyu itu diturunkan kepada beliau dalam bentuk ucapan, bukan tulisan, dan beliau menyampaikannya langsung, juga dalam bentuk ucapan, kepada para sahabatnya, yang baru kemudian menuliskannya. Sejenius apapun manusia, sepertinya tidak mungkin mereka-reka sesuatu tulisan dengan konsistensi rima seperti itu secara verbal, tanpa dituliskan. Saya pun tidak mungkin membuat karya saya di atas secara verbal, tanpa dituliskan.
Semoga dapat memperteguh keyakinan.
***
Eniwey, Fajrinah, kapan walimah? Geuwat atuh lah 🙂
***
****
SUKA DENGAN TULISAN SAYA?
Kalau suka, tolong di share dong tulisannya, biar makin banyak yang main ke sini.
Kalian juga bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂
No Comments