Puspa
Cerpen, oleh: Fajrin Yusuf M.
***
“Bunga apa ini?” tanyaku kepada suamiku.
“Puspa,” jawabnya singkat setelah dia menoleh sekilas pada bunga-bunga putih yang berserakan di tanah; tanah yang sedang kuinjak; tanah yang sedang dirajut akar-akar raksasa sejak lama dengan penuh kesabaran; andai boleh aku pinta sedikit saja si kesabaran itu.
Sebenarnya aku agak bingung dengan jawaban suamiku. Bukankah puspa itu artinya bunga? Puspa bangsa, melati putih; puspa pesona, anggrek bulan; puspa langka, rafflesia. Lalu ini adalah bunga puspa, katanya. Tapi aku tidak bertanya lagi. Lagipula aku bertanya bukan karena betul-betul ingin tahu bunga apa yang sedang ku injak, tapi karena aku benar-benar lelah. Suamiku sepertinya menyadarinya karena dia kemudian berhenti berjalan dan melepas tas besarnya; Jack Wolfskin 75 liter; terisi penuh dengan kesabaran.
“Kalau kamu sakit perut waktu haid, bunga itu bisa kamu rebus jadi obatnya,” lanjut suamiku tanpa menatapku. Dia membuka tasnya, lalu mengeluarkan Trangia dan botol spirtus. “Kita, istirahat dulu ya.”
Jawaban dari suamiku membuatku merasa aneh. Aku memunguti bunga-bunga puspa itu dengan sedikit kesabaran yang kuperoleh dari suamiku. Aku akan merebusnya malam ini. Aku sudah cukup bersabar.
“Masih jauh ngga?” kataku dengan sesantai mungkin. Aku tidak ingin suamiku melihat kesabaranku habis.
“Lihat menara itu?” jawab suamiku sambil menunjuk ke sebuah menara di kejauhan, yang hampir tidak terlihat karena rimbunnya daun-daun puspa. Leherku harus tengadah untuk melihat menara itu, yang berarti jalan menuju ke sana juga harus ditempuh dengan penuh kesabaran.
“Itu puncak dua. Kita camp di sana.”
Sial, Merbabu ini puncaknya ada tujuh.
***
Jika kamu pikir mendaki gunung bareng suami itu romantis, kamu salah besar. Pendakian pertama, kedua, ketiga, mungkin iya. Tapi pendakian seterusnya, ketika bahan obrolan sudah habis dan kita sudah sama-sama terbiasa dengan keberadaan masing-masing, pendakian pun kembali pada fungsinya yang biasa; pelepas penat pekerjaan, pemandangan yang luar biasa indah, dan udara segar.
“Mas, korek di mana?” tanyaku pada suamiku yang sudah terperosok jauh ke dalam kantung tidurnya. Udara malam pegunungan dingin menusuk tulang dan betisku meraung-raung minta direbahkan, tapi aku sudah terbiasa. Cahaya di dalam tenda hanya remang yang berasal dari headlampku, tapi aku juga sudah terbiasa. Yang tidak biasa adalah bunga-bunga puspa yang akan kurebus ini.
“Kamu mau masak apa?” dia malah balik bertanya.
“Mau rebus air,” jawabku lihai dengan niat melancarkan white lie.
“Air di termosku masih panas,” katanya singkat; menggagalkan aku punya niat.
Aku tidak menghiraukannya. Kalau dia tidak mau memberi tahu di mana pemantiknya, aku akan cari sendiri. Begitulah aku terbiasa bersikap, bahkan sebelum dia terbiasa jadi suamiku. Aku meraih saku tenda dan menemukan pemantik api itu, tapi seolah benda itu ada alarm pencurinya, suamiku tiba-tiba bangkit dan menyeruak dari kantung tidurnya, hingga kaget sekali aku dibuatnya.
“Kamu mau masak apa?” dia mengulang pertanyaannya, sambil menyalakan lampu tenda. Aku tertangkap basah. Dia melihat tanganku menggenggam bunga-bunga putih itu. Dia mengernyit. “Puspa yang tadi? Bukannya kamu baru beres haid?”
Aku hanya cemberut. Tapi aku tahu sifat dia; dia tidak akan selesai menuntut, sebelum aku menjawab atau menurut. Aku sudah terbiasa, harus terbiasa, dengan sifatnya itu.
“Siapa tahu bisa pake bunga ini,” kataku pelan. Entah mengapa, aku merasa seperti orang yang sedang melakukan hal konyol. Agak lama suamiku mencerna jawabanku itu, tapi bodoh bukan sifatnya. Dia biasa mendelikkan kepalanya, yang kini ditutup kupluk itu, sebagai ekspresi aneh.
“Segitunya kamu pingin punya anak?”
Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja keinginanku untuk punya anak lebih dari hanya “segitunya”. Lebih dari sekedar sakitnya perasaanku menghadapi pertanyaan-pertanyaan temanku yang kini sibuk mengantar anak mereka ke PAUD. Lebih dari sekedar sakitnya perasaanku menghadapi Ibu dan Ayahku yang kini bahagia menggendong cucu, anak dari adikku. Lebih dari sakitnya menghadapi dokter kandungan yang dengan congkaknya menuduhku infertil.
“Apa kamu ngga ‘segitunya’ pingin punya anak?” jawabku tersinggung.
“Ya pingin. Tapi ngga ampe nyoba ngerebus bunga puspa segala. Besok lusa ntar kamu rebus juga bunga edelweiss,” katanya sambil nyengir; mengabaikan perasaanku.
“Mungkin kita belum dikasih anak, karena kamu emang ga bener-bener ingin punya anak,” kataku pedas. Sedetik kemudian, aku berharap hidup punya tombol undo. Aku seharusnya segera menarik kata-kata itu. Tapi apa boleh buat, kata-katanya sudah keluar, dan aku tidak suka menelan kata-kataku sendiri.
“Kamu mau aku jelasin pake sains, apa pake emosi?” katanya. Nyengirnya sudah hilang. Begitulah suamiku itu. Senjata utamanya adalah kepalanya yang berisi macam-macam algoritma if and then yang dia pikir bakal bisa memecahkan semua masalah. Aku mengabaikannya, dan melanjutkan ritual merebus bunga puspa yang tertunda. Aku menyiapkan trangia dan spirtus sementara suamiku masih melakukan processing data dan optimisasi keputusan tindakan apa yang harus dia lakukan. Sial, jempolku kebas karena dingin. Aku kesulitan menyalakan korek.
“Alina.”
Itu adalah senjatanya yang kedua. Memanggilku dengan namaku. Itu tandanya dia benar-benar marah. Selama enam tahun pernikahanku, frekuensi kemarahannya bisa dihitung jari. Kemarahannya seperti gunung api yang menyimpan bertahun-tahun energi endogen, untuk dimuntahkan seketika meluluh-lantakkan apa yang dibangun manusia bertahun-tahun lamanya. Karena itulah, siapa saja yang melihat suamiku ini marah, pasti menciut nyalinya; termasuk diriku.
Tapi aku bukannya tanpa pertahanan. Kelenjar air mataku otomatis bekerja. Aku juga melemparkan pemantik yang gagal aku nyalakan dan segenggam bunga puspa yang sepertinya terjatuh dari pohonnya dengan sia-sia. Tidak lupa juga aku memutar-balikkan realita dengan premis yang tidak mungkin dimengerti oleh suamiku. “Kalau emang ga mau, ya udah!”
Giliranku terperosok jauh ke dalam kantung tidurku.
“Puspa ini cuma buat obat nyeri waktu haid,” ucap suamiku sambil mencoba menahan kemarahannya. Dia tidak akan tega memarahiku yang sedang menangis seperti ini.
“Apa salahnya kan dicoba?” kataku sambil terisak. “Cuma ngerebus aja, ga susah.”
“Kamu ngambil bunga yang di tanah kan? Kotor tau. Udah keinjek orang pula,” katanya menjelaskan.
Ga ada gunanya debat sama komputer, pikirku. Kalau sudah begini, aku hanya akan terus menangis saja sampai tidur. Tapi suamiku sepertinya tidak kembali ke kantung tidurnya. Malah sepertinya dia meneruskan ritualku merebus bunga puspa, tapi aku terlalu gengsi untuk menengoknya.
Tidak lama, suamiku kembali menggangguku; menggoyang tubuhku dengan dengkulnya. “Nih, udah aku rebusin.”, katanya ketus. Sudah kuduga. Kini aku terjebak antara harus menerimanya atau teguh pada kegengsianku.
“Aku udah rebusin ini; jangan bikin aku lebih marah lagi.”, ancamnya dengan nada datar. Aku pun cepat-cepat menurut.
“Awas masih panas.”, katanya. Aku meniup air rebusan itu. Di udara sedingin ini, suhu air rebusan itu cepat turun dan aku bisa meminumnya dengan cepat untuk menghindari kecanggungan. Aku pun segera kembali ke dalam lindungan kantung tidurku, memunggungi suamiku yang mungkin memang tidak ‘sekomputer’ itu. Sisa-sisa isak tangisku tinggal sedikit; tapi suamiku sepertinya ingin aku melanjutkannya.
“Aku ngga ingin kamu punya banyak pikiran, stress karena hal ini. Aku ngga mau ini jadi beban.”
Mudah baginya mengatakan hal itu. Bukan dia yang dituduh infertil, PCOS, dan istilah-istilah yang aku sudah tidak ingin mendengarnya. Bukan dia yang harus menghadapi tekanan sosial setiap hari, setiap menit, setiap detik. Bukan dia yang diberi hasrat keibuan. Bukan dia yang cacat. Aku.
“Aku sayang kamu apa adanya.”
Dasar lelaki, bertanam tebu di pinggir bibir, rebung berduri di hati.*) Ga bisa dipercaya. Kenapa dia tidak menanam pohon puspa saja di depan rumah!? Setidaknya pohon itu akan berguna untukku.
“Kamu udah sempurna buat aku.”
Tidak, tidak, aku ini rusak, sayang…
***
Sunrise pagi itu sangat indah.
Air sisa rebusan bunga puspa semalam masih ada di panci trangia; sudah sedingin es. Aku membuangnya. Aku mencoba melupakan insiden semalam. Yah, aku sedikit merasa bersalah pada suamiku. Jadi hari ini aku bertekad akan berbaik hati padanya.
Puncak-puncak Merbabu ternyata sangat sulit didaki. Beberapa tanjakan sangat curam membuat kakiku menjerit. Tidak jarang di kiri kanan jalan setapak ada jurang yang dalam, membuat kakiku bergetar karena takut.
Tapi hari itu aku sukses tidak berkeluh kesah. Lagipula pemandangannya luar biasa indah.
***
Walaupun suamiku itu kayak komputer, tapi dia nangis juga waktu nonton Grave of the Fireflies. Hari ini kita nonton Coco. Aku kecewa karena dia bisa melewati film ini tanpa nangis, padahal aku sudah menghabiskan satu hutan di Borneo demi berlembar-lembar tisu untuk menyeka air mataku. Bahkan setelah selesai film, aku harus menenangkan diriku di kamar mandi.
Sudah sebulan lebih sejak kita turun dari Merbabu. Sebentar lagi dia akan punya ide pendakian selanjutnya. Tapi sebelum itu…
“Yang, resign yuk!?” teriak suamiku.
“Apa?” aku balas berteriak dari kamar mandi.
“Naik Leuser, yuk!”, teriaknya lagi.
Aku tidak menjawabnya karena kaget. Aku keluar dari kamar mandi; masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Melihat raut wajahku, suamiku hanya nyengir. “Iya sih, Leuser bakal berat banget, kalau Binaiya gimana? Eh, Tambora juga belum ya, apa…”
“Aku hamil!” segera aku memotong kata-katanya. “Puspa itu manjur!”
Suamiku melotot tidak percaya. Air mataku menggenang, tapi aku tersenyum. Aku memperlihatkan alat tes kehamilan itu kepadanya. Dia meloncat dari ranjang dan langsung sujud syukur.
“Alhamdulillaah…” katanya dengan suara bergetar. Dia lalu bangkit dan memelukku erat. Aku hampir tidak percaya; dia menangis.
“Puspa itu manjur, kan!?” kataku terkekeh sambil terisak.
Suamiku melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundakku, seolah siap memberikanku kata-kata terbaiknya. Dia menarik nafas dalam-dalam untuk menahan dirinya dari letusan kebahagiaan.
“Sayang…” katanya pelan. “yang kamu minum malam itu air dari termos, bukan rebusan bunga puspa.”
***
Fajrin Yusuf M
Garut, 20 Januari 2018
*) Cindai – Siti Nurhaliza
PS. Teringat pendakian Merbabu, pertengahan tahun 2012. Terasa sudah lama sekali. Anyway, selamat untuk kelahiran bayinya, bagi yang udah melahirkan. Semoga soleh-solehah, berguna bagi bangsa, agama, berbakti pada orang tua, dan hidup bahagia. Amiin. J
***
****
SUKA DENGAN TULISAN SAYA?
Kalau suka, tolong di share dong tulisannya, biar makin banyak yang main ke sini.
Kalian juga bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂
Puspa Diva Nur Aqmarina
February 4, 2018 at 4:28 pmBtw cerita Puspa nya menyentuh hati saya. Ditambah nama saya kebetulan pun memang Puspa dan satu kebetulan lagi, saya pun pecinta gunung. Kelak dalam doa saya, selalu sy memimpikan memiliki keluarga kecil yg seperti kang Fajrin dan teteh, yg menjadikan gunung sebagai tempat memuji segala keagungan dan ke Esa-an Allah SWT. Sehat selalu bayinya yaa 🙂
kangfajrin
February 5, 2018 at 3:51 amHatur nuhun teteh udah baca. Btw, saya belum punya keluarga kecil, belum punya teteh (istri), jangankan untuk punya bayi. wkwkwk… Seperti cerpen-cerpen saya yang lain, cerita ini adalah fiksi, walau terinspirasi dari kisah nyata. Tapi bagaimanapun, saya aminkan doanya teteh supaya segera punya keluarga kecil, dan supaya bayi-bayi yang ada di dunia ini sehat-sehat. 🙂