Subject: Fitri
From: Agus
To: Mei
Dear Mei,
Maafkan aku karena aku tidak sempat bercerita padamu tentang kakaku Fitri. Aku memang tidak punya alasan untuk menceritakannya padamu. Aku telah melupakan kakakku itu, dan aku juga membencinya. Tapi tidak peduli seberapa besar kebencianku terhadap Fitri, aku masih tetap menyayanginya. Bagaimana pun, dia adalah kakak kandungku. Aku tidak menyalahkan dia atas prilaku bejatnya. Nasib kita memang tidak terlalu baik. Kita tumbuh di lingkungan yang buruk, dan dia tidak seberuntung aku.
Jika ada seseorang yang harus disalahkan atas nasib aku dan Fitri, dia adalah ayahku. Aku memang tak begitu ingat masa kecilku, tapi aku ingat betul keluarga kita dulu tidak tinggal di tempat kumuh itu. Dulu kita tinggal di kampung yang dikelilingi hutan, di atas rumah bilik panggung dengan kandang-kandang ayam di bawah lantainya. Aku ingat beberapa memori masa kecil, ketika kotoranku yang jatuh langsung menjadi rezeki ikan-ikan sepat kecil yang lapar, atau lampu minyak yang menyala menerangi jalanku menuju surau selepas maghrib; Fitri memegangi lampu itu untukku. Ketika mulai beranjak besar, aku bertanya-tanya, sejak kapan kehidupan desa itu beralih jadi kumuh, kotor, dan bising. Aku bertanya pada Ibu, dan Ibu menyalahkan Ayah. Sejak saat itu, aku tahu Ayah lah yang menyeret kita semua pada kenistaan ini.
Tapi sekali lagi, seberapa besar pun kesalahan ayah, aku masih tetap menghormatinya, walaupun sebenarnya aku juga tidak terlalu mengenalnya karena dia pergi ketika aku masih kecil. Bagaimanapun, dia tetaplah ayahku. Ayah mungkin terbuai dengan bayangan kegemilangan kota dengan semua kesempatannya. Aku dapat mengerti hal itu. Yang aku tidak mengerti adalah bagaimana hebatnya hantaman realita memukul ayah hingga dia terlempar ke jalanan dan menyeret kita pada prosesnya.
Dia tidak bertahan lama di jalanan; terlalu keras untuknya. Seingatku, dia mati dipukuli massa, entah karena mau mencuri apa. Aku masih kecil waktu itu, dan tidak punya banyak memori tentangnya. Jadi aku tidak terlalu sedih. Yang membuatku sedih adalah orang-orang yang dia tinggalkan: Ibu, Fitri, dan aku sendiri. Setahuku, kita tidak punya keluarga lain; atau mungkin Ibu terlalu malu untuk memperkenalkan kita pada kerabatnya.
Setelah kepergian Ayah, aku dan Fitri pergi menggelandang, sementara Ibu, dalam usahanya mencari suami baru, malah kelewat sering didekati lelaki hidung belang. Aku dan Fitri biasa mengamen di perempatan, pagi dan siang, lalu pulang ke kontrakan Ibu yang baru; yang cuma sepetak saja. Kalau Ibu sedang bersama seorang lelaki, pintu kontrakan dikunci dan kita tidak bisa masuk. Biasanya Fitri lalu pergi bersama teman-temannya, kembali ke jalanan, sementara aku masih dianggap anak bawang sehingga harus menunggu Ibu hingga urusannya selesai.
Di saat-saat itulah aku bertemu Bu Sofi. Beliau dulu punya toko elektronik di Jalan Ahmad Yani. Aku biasanya duduk di trotoar di depan tokonya, menontoni televisi-televisi di etalase. Mungkin kelewat sering sampai Bu Sofi menyadari keberadaanku. Alih-alih mengusirku, Bu Sofi menyuruhku masuk dan menonton di dalam. Pada awalnya aku menolak, tapi beliau kemudian menawariku makanan; sesuatu yang tidak bisa kutolak waktu itu.
Sejak saat itu, aku sering main di rumah Bu Sofi. Baru belakangan ini aku tahu kalau beliau pernah mengalami keguguran dan tidak pernah bisa hamil lagi. Aku mungkin memang ditakdirkan untuk menjadi pengganti anaknya yang tidak pernah bisa datang. Yah, mungkin karena itulah beliau mau repot-repot mengurusku.
Awalnya dulu itu aku hanya diberi makan dan nonton TV. Tapi kemudian, beliau juga memberiku baju baru, bahkan menyuruhku pergi sekolah lagi. Aku pernah masuk SD hingga kelas tiga. Sebenarnya, aku sudah terlalu tua untuk meneruskannya, tapi akhirnya aku sekolah juga, dan sepertinya ini yang membuat hubunganku dengan Fitri terus menjauh. Aku tahu Fitri iri padaku, tapi aku juga tidak terlalu memikirkan dia. Aku punya teman-teman baru di sekolah dan aku mulai melupakan Fitri. Seiring aku yang bertambah besar, kontrakan Ibu jadi terlalu sempit. Aku mulai sering menginap di rumah Bu Sofi dan jarang pulang ke kontrakan Ibu.
Berkali-kali Fitri mengadu pada Ibu, tapi Ibu sepertinya hanya bisa pasrah melihatku diurus oleh orang lain. Di saat-saat itu, Ibu mulai kehilangan dirinya. Seolah ada sesuatu yang menggerogoti akal sehatnya, Ibu mulai terlihat kurang waras. Aku kehilangan alasan untuk pulang ke kontrakan sempit itu. Tapi aku tidak pernah berhenti didera rasa bersalah atas Fitri, sampai-sampai aku membulatkan tekad untuk meminta Bu Sofi juga menyekolahkan Fitri. Bu Sofi menyetujuinya.
Jadi suatu kali, Bu Sofi datang ke kontrakan Ibu untuk menawari Fitri sekolah lagi, meneruskan pendidikan SMA-nya yang terhenti setelah Ayah pergi. Menghadapi Bu Sofi, Ibu hanya bergumam mengutuki kain dasternya yang kucel. Walau pahit, aku mengerti kalau Ibu yang dulu sudah tidak ada lagi. Bu Sofi juga sepertinya mengerti hal itu. Tapi Fitri malah membuatku naik pitam, menyumpahi Bu Sofi didepanku, “Najis aing kudu diurus ku Cina siga maneh.”, katanya pedas. Sepertinya itu saat pertama aku bertengkar hebat dengan Fitri.
Tidak lama kemudian, kontrakan Ibu didatangi petugas Dinas Sosial. Mereka datang untuk menjemput Ibu. Aku sudah merelakan Ibu, tapi rupanya Fitri tidak. Dia menangis seperti anak kecil, dengan sumpah serapah yang aku pun tidak kuasa untuk menuliskannya di sini. Tapi saat itu, aku jadi tahu bahwa Fitri lah yang mengurusi Ibu. Dia yang memandikan, memberi makan, bahkan membayar kontrakan Ibu. Aku masih terlalu lugu; tidak menyadari bagaimana bisa Ibu yang setengah waras bisa menjalani hari demi harinya tanpa seseorang yang mengurusinya. Dari situ juga, tumbuhlah kembali rasa hormatku pada kakak perempuan berambut kusam yang wajahnya tirus dekil penuh tindikan itu.
Kontrakan Ibu kemudian diisi oleh sepasang suami istri muda yang baru menikah. Sementara Fitri; aku tidak tahu dimana dia tinggal. Aku hanya tahu dia berada di jalanan. Beberapa kali aku berpapasan dengannya. Kita sudah tidak saling bertanya lagi. Hingga aku lulus kuliah, aku selalu didera perasaan bersalah pada Fitri.
Suatu saat aku melihatnya di bawah jembatan layang bersama beberapa anak pengamen. Dia masih terlihat dekil seperti dulu, tapi tidak sekurus ketika terakhir aku melihatnya. Aku pikir dia sudah menemukan hidup baru. Aku betul-betul ingin tahu kabarnya. Aku merindukannya. Mungkin. Jadi aku membulatkan tekad untuk menemuinya, meminta maaf, dan menawarkan bantuan apapun yang bisa ku berikan untuk memperbaiki hidupnya. Dia hanya tertawa dan meninggalkanku mematung.
Aku bicara dengan anak-anak pengamen yang kulihat sebelumnya. Dari penuturan mereka, aku tahu kalau Fitri lah (dan suaminya; entah siapa), yang kini menjadi tuan bagi anak-anak itu. Anak-anak itu mengamen di pagi, siang, dan sore, lalu memberikan hasilnya pada Fitri agar mereka bisa tinggal di gedung pabrik karet tua tak terpakai di perkampungan kumuh itu. Aku juga mendengar bahwa dia beberapa kali keluar masuk penjara; dan karena itu dia ditakuti dan dihormati oleh anak-anak itu.
Pedih sekali rasanya, Mei; melihatnya seperti itu, mendengar cerita-ceritanya dari anak-anak lugu yang bisa saja bernasib sebaik diriku atau seburuk kakakku. Pedih sekali mengingat kebodohan dan keegoisanku ketika meninggalkan Ibu dan Fitri di kontrakan yang cuma sepetak itu. Dan yang paling pedih adalah ketidak-berdayaanku untuk membantu mereka. Kau tahu, selama ini, yang kulakukan hanyalah mencoba melupakan kakakku itu dan menyerahkan nasibnya pada Tuhan. Aku bahkan tidak ingin melewati jalan-jalan sekitar itu lagi. Aku tidak mau berpapasan dengannya, atau hanya melihatnya dari jauh. Aku ingin menguburnya, sama seperti ketika aku mengubur ayah dan ibu.
Kupikir aku tidak akan pernah lagi menemuinya; hingga sore kemarin itu.
Ya, wanita yang meludahimu sore kemarin, dia adalah Fitri. Aku ingin memohon maaf yang sebesar-besarnya karena aku tidak membelamu dengan sigap. Seharusnya aku tampar wajahnya dan ku usir dia dari hadapan kita. Tapi setiap aku melihatnya, aku selalu teringat dengan Fitri yang memegangi lampu minyak menerangi jalanku menuju surau selepas maghrib. Aku teringat Fitri dekil yang merengek di lantai meminta Ibu agar tidak diangkut ke dalam mobil truk Dinas Sosial. Aku selalu merasa bersalah kepadanya, Mei. Aku tidak pernah berhenti bertanya pada Tuhan, apa yang membuat takdir kita begitu berbeda, padahal kita datang dari rahim yang sama. Apa yang membuat Fitri tidak pantas dipertemukan dengan Ibu-ibu Sofi yang lain?
Aku tidak pernah tega untuk melukai Fitri barang sedikit pun.
Aku harap kamu mengerti.
Ttd.
Agus.
PS. Sampaikan salamku untuk Bu Sofi. I hope we can meet again soon, so I can make you a proper apology.
***
Fitri
cerpen oleh Fajrin Yusuf M
***
****
SUKA DENGAN TULISAN SAYA?
Kalau suka, tolong di share dong tulisannya, biar makin banyak yang main ke sini.
Kalian juga bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂
Sofi
March 24, 2018 at 10:55 pmAgus, sehat-sehat ya. Jangan lupa untuk selalu makan sekolah mengaji dan sholat.
Saya suka cerpennya kang. Dari sisi bentuknya, sudut pandang, alur cerita dan hal-hal lain yang susah di deskripsikan.
Btw cerpen-cerpen, tulisan fiksi prosa akang di blog ini, kalau di buku-kan aku mau kok beli bukunya. Keep writing!
Salam kenal ya kang, dari Sofi.
kangfajrin
March 29, 2018 at 12:02 pmAlhamdulillah Agus sehat. Btw, karakter Agus dan Fitri ini terinspirasi dari seorang anak betulan yang sekarang sedang berjuang di jalanan kota Bandung. Bedanya, yang satu ingin sekolah lagi, yang satu ingin terus mengamen. Jadi yah, cerita ini pun terinspirasi dari kisah nyata kedua anak ini; walau dua-duanya kini masih anak-anak.
Terima kasih banyak sudah baca, Sofi, yang juga mengingatkan saya pada karakter Bu Sofi di cerita ini. Doakan semoga saya bisa merilis buku dalam waktu dekat ini.
Salam kenal.
Sofi
April 2, 2018 at 8:50 ambu sofi juga karakter dunia nyata?
baik, salam juga kepada bu sofi dari sofi. semoga bu sofi semakin berdaya dan bermanfaat untuk seantero ahmad yani dan sekitarnya, dan untuk dunia dan akhirat.
Mei
August 12, 2018 at 3:06 amHai Kang, karena tidak diceritakan Mei itu siapa, jadi merasa surat itu ditujukan Agus untuk Saya :). Nanti salamnya Saya sampaikan untuk bu Sofi. Hehe
kangfajrin
August 12, 2018 at 10:34 amHai juga Mei, hehehe, iya semoga ada kesempatan nanti disampaikan salamnya. Salam kenal Mei, hatur nuhun sudah baca. 🙂