Cerita Nadya di Sungai Cianggang-Pati
Kuliah di Teknik Lingkungan sudah jadi mimpi Nadya sejak SMA; sejak kakak kelasnya menjelaskan betapa keren jurusan itu dalam sesi-sesi kunjungan alumni. Tapi tidak pernah terpikirkan di benaknya jika mimpi itu akan sebegitu sulit dijalani.
“Mungkin memang teknik itu tempatnya anak-anak cowok”, pikirnya sekilas, ketika dia berjalan menuruni tanah merah licin menuju aliran Sungai Cianggang-pati bersama tiga orang cowok dan satu orang cewek (Ani, si cewek tomboy). Dia pikir, urusan ngambil sampel ini mestinya jadi urusan cowok saja. Cewek tulen sepertinya cukup berada di laboratorium, menguji ini dan itu.
Sebenarnya pekerjaan mengambil sampel itu tidak terlalu sulit, yang sulit adalah berjalan berkilo-kilo mengitari sungai demi mencapai titik pengambilan sampel yang objektif. Fahru, pemimpin timnya, bersikeras bahwa semua anggota kelompok harus bisa melakukan pengambilan sampel dan melakukan pengujian secara objektif dan berkualitas. Si Fahru ini memang agak perfeksionis dalam mengerjakan tugas; tipe-tipe mahasiswa cum laude. Selain itu, keberadaan Nadya di sana juga diharapkan bisa menemani Ani. “Biar ada temen perempuannya”, kata Fahru. Omong kosong, pikir Nadya. Si tomboy Ani ini tidak akan keberatan dikelilingi ratusan cowok pun, toh teman mainnya cowok semua. Cowok-cowok inilah, Si Fahru, Agus, dan Ryan, yang bakal keberatan kalau cuma Ani yang menemani mereka “mengambil sampel”.
Akhirnya mereka tiba di titik terakhir pengambilan sampel, beberapa ratus meter dari perkampungan; yang ironisnya adalah kampung tempat Nadya tinggal. Mereka harus mengunjungi tujuh titik pengambilan sampel, dan titik terakhir sengaja mereka pilih yang terdekat dengan rumah Nadya agar setelah mengambil sampel, mereka bisa main ke rumah Nadya.
“Sampel harus diambil setelah aliran sungai melewati perkampungan, agar kita bisa melihat tingkat pencemaran air yang dilakukan oleh warga perkampungan itu.”, kata Fahru menggebu-gebu dalam sesi-sesi brainstorming kelompoknya. Semuanya nurut saja agar nilai kelompoknya bisa sebagus nilai-nilainya Fahru. “Nah, kebetulan, titik sampel terakhir ini deket kampungnya Nadya, jadi nanti kita main ke rumahnya beres ngambil sampel.”, lanjut Fahru dengan ceria, disambut sorak oleh semua anggota kelompoknya yang lain. Si Fahru ini modus saja sepertinya, pikir Nadya. Dia tidak pernah absen mengajak Nadya masuk kelompoknya jika ada pembagian tugas kelompok. Nadya juga tidak menolaknya, toh si Fahru ini juga sangat reliabel; setidaknya dalam tugas-tugas kampus.
Mereka mulai bersiap dengan peralatan mereka masing-masing. Nadya menyiapkan botol-botol polyethylene steril, sementara anak-anak cowok bersiap mengukur kecepatan dan debit air dengan beberapa pelampung dan stop-watch sederhana. Ani berkutat dengan pH-meter dan termometer-nya, memastikan alat-alat tersebut terkalibrasi dengan baik. Mereka tidak berkata-kata. Setelah di enam titik sampel sebelumnya juga melakukan hal yang sama, mereka tidak perlu lagi berkata-kata.
Aliran Sungai Cianggang-pati ini cukup deras. Airnya yang cokelat pekat dan berbau membuat mahasiswa-mahasiswa ini kehilangan moodnya. Mereka hanya ingin mengerjakan tugas secepat mungkin, lalu pergi dari sungai menjijikan itu. Mereka terlalu sibuk hingga tidak menyadari ada seorang bapak-bapak yang sedang duduk memancing, tidak jauh dari mereka. Ketika si bapak ini tiba-tiba berjingkat, semuanya melompat kaget.
“Ya Allah pak, kirain biawak!”, kata Ryan yang hampir kecemplung ke sungai saking kagetnya. Si Bapak itu hanya tertawa saja.
“Tenang aja, ga ada biawak di sini dek!”, katanya masih terkekeh-kekeh. Kakinya kotor oleh lumpur hingga tidak terlihat sandal jepitnya. Pakaiannya juga kucel dan banyak bekas noda cokelat lumpur menempel. Ikat kepalanya terpasang asal-asalan. Jika tidak ada joran di tangannya, mereka pasti berpikir si Bapak ini orang sinting.
“Kalian lagi ngapain? Ngga ada ikannya di sini.”, tanya si Bapak.
“Kita ngga nyari ikan pak. Cuma tugas kuliah, mesti ngambil sampel air di sini.”, jawab Fahru mencoba riang. Si bapak hanya menjawab “Oh” singkat. Dia pasti tidak mengerti jawaban Fahru.
“Sering mancing di sini pak?”, tanya Fahru sopan. Fahru sebenarnya ingin bertanya kenapa si Bapak ini mancing di sini kalau dia tahu sungai ini udah ga ada ikannya.
“Dulu sering. Wah, dulu sungai ini ikannya banyak, airnya bersih, bisa diminum langsung.”, kata si Bapak mengenang.
“Kalo sekarang ikannya pada pindah kemana pak?”, ujar Agus nimbrung sambil terkekeh.
“Ya ke empang.”, jawab si Bapak murung.
Pengambilan sampel terakhir menjadi sedikit ceria berkat hadirnya si Bapak nyentrik ini. Semuanya gantian mengorek informasi atau sekedar bercanda. Anak-anak mahasiswa ini sedikitnya merasa tertantang idealismenya untuk membersihkan sungai ini hingga kembali menjadi sedia kala. Sayangnya, Nadya terlalu bad mood untuk nimbrung. Dia menyelesaikan tugasnya dengan cepat, lalu fokus kepada masalah yang dipikirkannya sejak awal.
Rumahnya tidak siap untuk menerima teman-temannya. Ayahnya sedang sakit, TBC pula, dan kakaknya akan memarahinya karena pergi tanpa kabar terlebih dahulu. Tapi Nadya tidak tega juga menolak teman-temannya yang ingin main ke rumahnya.
Selesai dari sungai, mereka pamit pada si bapak yang masih saja tekun memancing entah apa. Kini mereka harus mendaki tanah licin dan berjalan beberapa ratus meter ke jalan raya, tempat Fahru memarkir mobilnya. Nadya harus menjelaskan keadaan rumahnya sebelum mereka berharap lebih besar. Anak-anak cowok mendaki undakan-undakan licin itu dengan mudah. Mereka membawa botol-botol sampel sehingga tidak bisa membantu Nadya dan Ani naik (tapi Ani memang tidak butuh bantuan).
“Nadya, lu kenapa?”, tanya Ani dengan aksen Ibu Kota-nya sembari mengulurkan tangan kepada Nadya, satu tangannya yang lain memegang erat akar-akar pohon. Sepertinya Ani menyadari Nadya agak murung sejak pagi ini.
“Bapakku sakit ni, sepertinya kalian ngga bisa main ke rumahku hari ini.”, jawab Nadya pelan sambil menarik tubuhnya naik.
“Sakit apa Nad? Mungkin kita bisa ikut jenguk!?”, tanya Ani bersimpati.
“Sakit paru. Kayaknya ngga sekarang, Ni.”, kata Nadya. Mereka berjalan lambat melewati pohon-pohon kecubung, pakis, dan ilalang yang basah.
“Yaudah, biar gue yang jelasin ke mereka.”, ujar Ani dengan santai. “lu pulang lebih deket lewat sana kan?”
Nadya mengangguk. Merasa sangat lega Ani telah memahami rasa gundahnya.
“Gih, pulang duluan. Mestinya lu ga usah ikut aja kalo emang mesti jagain bokap lu, Nad.”
“Ada kakak sih yang nungguin.”, kata Nadya pelan memaksakan senyum. “Makasih banyak ya, Ni.”
“Iye.”, kata Ani singkat. Dia pun berjingkat lari mengejar anak-anak cowok yang udah ga tahan dikerubungi nyamuk-nyamuk hutan.
Nadya mempercepat langkahnya. Dia sedikit lega setelah masalah pertamanya usai. Kini dia harus menghadapi masalah kedua, kakaknya, Andra. Kakak laki-laki satu-satunya. Dulu, kakaknya hampir tidak pernah marah, tapi sejak Ibunya meninggal setahun yang lalu, kakak dan ayahnya berubah. Ayahnya jadi sakit-sakitan, sementara kakaknya seolah menderita beban tanggung jawab keluarga yang tiba-tiba berada di pundaknya. Keduanya seperti gugup menghadapi hidup tanpa seorang wanita yang biasa mengurusi mereka.
Ketika pulang, kakaknya sudah menunggunya di ruang tamu. Nadya sudah menduganya.
“Dari mana aja kamu?”, kakaknya langsung menuntut.
“Tugas kelompok, kak.”, jawab Nadya pelan.
“Bukannya kamu mau izin sama teman-temanmu? Kita kan udah sepakat buat gantian jaga bapak!?”, serangan kata-kata kakaknya mulai menyerbu.
“Aku udah berkali-kali ga ikut tugas kelompok, kak.”, ucap Nadya sedikit takut.
“Kalau gitu kamu mestinya bilang. Kaka kan juga mesti jaga bengkel, dan bapak kamu ga boleh telat minum obatnya. Kamu mesti ngerti prioritas kamu! Kalau Bapak sama Kakak udah ngga ada, siapa yang mau ngurusin kamu?”
Nadya memang tidak pamit dulu kepada kakaknya, itulah kesalahannya, pikir Nadya. Tapi sekarang bahkan kakak dan ayahnya tidak mengurusinya lagi. Nadya sudah mandiri. Dia mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliahnya, termasuk uang jajannya. Dia tidak lagi membutuhkan apapun dari ayah dan kakaknya. Dia bisa memutuskan sendiri jalan hidupnya. Malah, kini ayah dan kakaknya yang harus dia urusi, dari mulai sarapan, cuci baju, hingga bersih-bersih rumah. Jujur, dia tidak tahu lagi apa prioritasnya.
Tapi alih-alih berontak, Nadya hanya berkata pelan, “Iya, maaf kak.”, lalu Nadya hanya tertunduk.
“Minta maaf sana sama Bapakmu!”, kata kakaknya dingin, sambil melangkah pergi ke luar menuju bengkel yang ditinggalkannya.
Di saat-saat seperti ini, biasanya Nadya meratapi kepergian ibunya lalu menangis sejadi-jadinya. Tapi saat itu dia bertekad untuk sekuat tenaga menahan air matanya. Kata-kata kakaknya memang seolah telah mengiris-iris hatinya hingga terasa perih. Tapi baginya, akan lebih perih mendapati dirinya menjadi wanita yang lemah dan tidak berdaya.
Nadya mencoba membereskan otaknya yang kacau. “Pertama, temui bapak!”, pikirnya sembari menyingkirkan pikiran-pikiran lain. Dia melangkah ke kamar ayahnya dan mendapati ayahnya sedang tertidur pulas, tidak seperti biasanya (biasanya disertai batuk-batuk parah). “Oke, kedua, cuci piring dan nanak nasi.”, lanjutnya seolah sedang mengajari otaknya mengeja. Dia melangkah ke dapur dan mendapati piring-piring sudah bersih dan nasi sudah matang. Malah ada telur dadar dan tahu goreng yang sudah siap untuk di makan. Baju-baju cucian juga sudah hilang dari tempatnya.
Menyadari tidak ada lagi yang bisa dia lakukan, Nadya pergi ke kamar lalu menangis sejadi-jadinya.
***
Seminggu kemudian, Nadya harus mengambil sampel lagi di tempat yang sama. Entahlah mengapa, yang pasti Fahru yang mendesain penelitian ini mensyaratkannya demikian, dan dia juga yang akan membuat kelompoknya lulus dengan nilai yang memuaskan.
Tapi hari minggu itu hujan lebat turun sejak pagi dan setengah anggota kelompoknya harus pulang kampung. Bahkan Fahru ragu apakah dia harus mengambil sampel lagi hari itu atau membatalkannya. Sementara deadline laporan hari kamis ini harus dikumpulkan. Mereka tidak akan punya waktu lagi untuk mengambil sampel dan mengujinya di Lab. Diskusi lewat grup WhatsApp pagi itu tidak menghasilkan kesimpulan.
Siangnya, hujan reda, pun reda juga diskusi WhatsApp yang masih menggantung. Hari ini Nadya sudah bilang pada kakaknya akan pergi ke luar, sehingga bengkel kakaknya pun tutup dan kakaknya tinggal di rumah. Jika kali ini dia tidak jadi pergi, Nadya takut bakal kena semprot kakaknya lagi.
Dengan enggan, Nadya pun menulis pesan kepada teman-temannya. “ya udah, sampel hari ini aku yang ambil ya. Tapi paling cuma pH, suhu, sama 3 botol air sungai. Aku ga bakal bisa ngambil di semua titik sampel dan peralatan lengkapnya juga kan kalian yang bawa.”
Sepuluh menit berlalu. Nadya mengecek pesannya. Semua anggota kelompoknya telah membaca pesan dia, tapi tidak ada yang membalas. Nadya mengerti, mereka tidak tega Nadya mengambil sampel ini sendirian, tapi mereka juga butuh sukarelawan. Dengan jengkel, Nadya mematikan HP-nya, lalu mengambil beberapa botol kosong, menjejalkan alat-alat yang diperlukan ke dalam tasnya, lalu memakai jaket dan hijabnya.
Kakaknya sedang merokok di beranda ketika Nadya keluar dan melemparkan sepatu kets-nya ke lantai. Nadya mengernyit jijik melihat rokoknya.
“Mana temen-temen kamu? Katanya mau kesini?”
“Ga jadi.”, jawab Nadya cemberut.
“Lah, terus kamu mau kemana?”
“Ngambil sampel.”
“Iya, Ke-ma-na?”, tanya kakaknya sembari mematikan rokoknya.
“Ke sungai. Dari jembatan jalan sedikit, turun ke Sungai Cianggang, ngambil airnya.”, jawab Nadya, mencoba sesingkat mungkin.
“Ngambil air sungai?”, tanya kakaknya. Dia terlihat sedikit terkejut. Nadya hanya mengangguk.
“Tunggu di sini, Kaka anterin.”, kata kakaknya singkat. Dia pergi masuk ke dalam rumah.
“Kaka kan mesti jaga Bapak di sini!?”
“Ngambil air aja kan? Bakal lama ngga?”, teriak kakaknya dari dalam rumah. Nadya tidak menjawabnya. Kakaknya keluar setelah berganti pakaian dengan celana lapangan berwarna krem dan membawa sepatu gunungnya yang sudah sangat kucel, serta dua buah mangga yang baru dia petik dari pohonnya di belakang rumah.
“Ngga sih, paling lima belas menit.”, kata Nadya.
“Ya udah, ayo!”, ujar kakaknya. Mereka pun berjalan ke arah sungai.
“Jangan main sendiri ke Jembatan Sungai Cianggang. Banyak yang kesurupan.”, kata kakaknya. Nadya pikir kakaknya sedang menggodanya, tapi ternyata wajahnya terlihat serius.
“Elah, jaman gini masih percaya gituan.”, ujar Nadya, agak geli melihat kakaknya yang begitu serius.
“Katanya dulu orang Belanda buang mayat dari Jembatan ini.”, kakaknya masih terlihat serius.
“Udah ah, jangan nakut-nakutin.”, seru Nadya yang akhirnya bergidik juga membayangkan mayat-mayat yang mengambang di sungai. Mereka berjalan melewati hutan basah berlumpur, menuruni undakan-undakan yang kini semakin licin setelah disiram air hujan sejak pagi; merelakan pakaian-pakaian mereka kotor oleh tanah merah.
Air sungai terlihat dua kali lebih deras dari minggu lalu. Airnya juga bergulung-gulung menyeramkan. Nadya merasa sangat bersyukur kakaknya ikut menemaninya. Mereka harus sangat berhati-hati mengambil air sungai tersebut. Akhirnya malah hampir semua pekerjaan Nadya dilakukan oleh kakaknya.
Setelah berjuang mengambil sampel, kakaknya duduk di sebuah batu di pinggir sungai, menyulut kembali rokoknya; membuat Nadya kembali mengernyit jijik. Kakaknya tidak menghiraukannya. Dia lanjut membuka bungkusan keresek dan mengeluarkan mangga yang telah dinantikannya, lalu mengupasnya asal-asalan.
Sesuatu tiba-tiba muncul dari semak-semak di belakang kakaknya, membuat Nadya menjerit kaget. Kakaknya tidak kalah kagetnya hingga mangga dan pisau lipat yang dia pegang kecemplung ke sungai. Kakaknya langsung berbalik, siap dengan kuda-kuda untuk memukul apapun yang datang.
Si pembuat kaget, malah tertawa-tawa geli. Si Bapak itu, seingat Nadya, masih menggunakan pakaian yang sama dengan seminggu yang lalu, bahkan masih memegang joran yang sama.
“Ya Allah pak. Ngagetin aja.”, ujar Nadya mencoba menenangkan jantungnya yang hampir copot. Kakaknya dengan cepat menghampirinya.
“Beresin barang kamu dek.”, bisik kakaknya ke telinga Nadya.
“Kalian lagi ngapain? Sungai ini udah ga ada ikannya!”, kata si Bapak itu terkekeh. Kakaknya cepat memasukkan mangga yang tersisa ke dalam tasnya dan membereskan barang-barang Nadya.
“Kita ngga nyari ikan kok pak.”, jawab Nadya mencoba ramah, tapi kakaknya menarik-narik jaketnya.
“Ssshh… udah cepet beresin.”, bisik kakaknya memberikan tas Nadya yang telah setengah terisi. Nadya membereskan alat-alat dan sampelnya. Lalu berjalan pulang tanpa pamit karena kakaknya terus mendorong-dorong Nadya agar berjalan lebih cepat.
“Kenapa sih?”, tanya Nadya.
“Udah cepet naik.”, jawab kakaknya singkat. Nadya mencoba memanjati tanah licin dengan bertumpu pada akar-akar pohon. Nadya agak merinding, takut ternyata si Bapak tadi adalah hantu mayat yang dibuang dari Jembatan Sungai Cianggang-Pati. Setelah cukup jauh dari sungai, Nadya kembali menuntut. “Oke, ke-na-pa?”
“Dia itu orang sinting. Apa kamu mesti ngambil sampel ke sana banget?”, tuntut kakaknya. “Kalau air sungai kan bisa dari belakang kampung juga.”
“Harus seudah kampung, Ka.”, kata Nadya singkat, dia tidak ingin ngobrol tentang sampelnya. “Minggu kemarin aku ngobrol juga kok sama dia. Masa sih dia orang gila?”
“Kamu ngga pernah liat dia kalo lagi kumat kayak gimana.”, ujar kakaknya mencoba meyakinkan, “Jadi minggu kemarin dia juga ada di sana ya? Kalo gitu berarti dia emang sering mangkal disana.”
“Minggu kemarin kita ngobrol banyak kok sama si Bapak itu, dia biasa aja.”, Nadya masih ragu.
“Anaknya hanyut di sungai itu, mati, ketemu di bendungan. Udah itu dia jadi sinting. Lagian siapa juga yang mau mancing di sungai jahanam itu.”
Penjelasan dari kakaknya cukup menohok hingga Nadya kehabisan kata-kata.
“Kamu pulang duluan, Kaka mau ngasih tau Pak Ayi dulu!”, kata kakaknya sembari melangkah pergi ke arah rumah pak RW.
Penjelasan kakaknya terus menohok, bukan karena Nadya merasa beruntung telah lolos dari sergapan orang sinting, tapi karena Nadya merasa tahu betul rasanya menjadi sinting setelah ditinggal orang yang dicintai.
Nadya berjalan gontai ke arah rumahnya. Bayangan wajah ibunya kembali memenuhi pikirannya. Tanpa kakak dan ayahnya, dia pikir dia bisa dengan mudah menjadi sinting seperti Bapak yang kehilangan anaknya di sungai itu. Terbayang kembali wajah kakaknya yang marah, “Kalau Bapak sama Kakak udah ngga ada, siapa yang mau ngurusin kamu?”, kata-katanya kembali melukai ketika dia bahkan sedang tidak ada.
Nadya terlalu larut dalam pikirannya, hingga dia tidak sadar, seseorang telah menunggu di beranda-nya, Fahru, dengan sekeranjang buah-buahan dan satu box peralatan penelitian.
“Nad, maaf banget Nad, aku telfonin kamu berkali-kali, tapi…”, tanya Fahru dengan nada memelas, namun terpotong oleh rasa terkejut melihat wajah Nadya yang penuh dengan air mata.
“Kamu kenapa Nad?”, tanya Fahru. Melihat wajah Fahru, Nadya tersenyum lebar, lalu menghapus air matanya dan menggeleng.
“Ngga, aku ngga apa-apa kok. Hayuk, lihat Bapak!”, ajak Nadya sambil nyengir.
***
Cerita Nadya di Sungai Cianggang-Pati
cerpen, oleh
Fajrin Yusuf M.
Garut, 5 Oktober 2017
PS. ci itu artinya air, anggang itu artinya berjarak, pati itu artinya nyawa (cmiiw), jadilah sungai cianggang-pati, hehehe…
Cerita Nadya di Sungai Cianggang-Pati | Cerita Nadya di Sungai Cianggang-Pati | Cerita Nadya di Sungai Cianggang-Pati
SUKA DENGAN TULISAN SAYA?
Kalau suka, kalian bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂
No Comments