Di Pamulihan (Bagian I): Kegelapan Desa dan Curug Para Pan(d)awa

Di Pamulihan (Bagian I): Kegelapan Desa dan Curug Para Pan(d)awa

Di Pamulihan Bagian I: Desa Para Pan(d)awa

I heard a legend, once, of a village named Panawa, where darkness of the past still lingers there…

Dengar cerita dari kakak perempuan saya, yang pernah melakukan PLKJ (sebuah program pesantren dimana santrinya diterjunkan langsung ke masyarakat untuk melakukan bakti sekaligus dakwah) ke salah satu desa terpencil di Garut Selatan, bernama desa Panawa, kecamatan Pamulihan.

Dari pesantren di kota Garut, kakak saya berangkat pagi hari ke Pamulihan dengan menggunakan elf carteran bersama teman sekelompok serta seorang ustadz pembimbing. Perjalanan berlangsung sangat lambat. Si elf ternyata tidak puas dengan penumpang santri-santri ini dan mencari penumpang lain. Logis; memang optimasi profit dalam perjalanan ke Garut Selatan itu wajib hukumnya, menimbang biaya perjalanan yang sangat tinggi; biaya fisik maupun mental.

Berangkat pagi, elf baru sampai di Pamulihan di sore hari. Kakak saya mengira dia sudah sampai, tapi ternyata Elf hanya baru sampai ke penghujung jalan kecamatan dan tak sanggup lagi meneruskan perjalanannya; tidak ada kendaraan bermotor yang sanggup melalui jalan ini. Jadi mereka melanjutkan dengan berjalan kaki… hingga gelap mulai menyergap, dibumbui rintik hujan dan pekat hutan lebat; mengintimidasi para santriwati polos nan lugu ini.

Jalanan tanah merah menjadi becek dan berlumpur diaduk air hujan; terus menanjak curam. Mereka berjalan di lereng perbukitan yang rimbun ditutupi vegetasi, diterangi cahaya senter seadanya. Ke kanan ada hutan dan tebing yang siap menelan, di kiri ada jurang dalam yang tidak terlihat dasarnya.

Waktu itu kakak saya masih kelas 3 Mu’allimin (SMA). Beliau menuturkan bahwa waktu itu dia sudah ingin menangis dengan teman-temannya sesama santriwati karena merasa tersesat dan terjebak di suatu tempat antah berantah yang gelap, dingin, lembab, dan sangat tidak bersahabat. Saat itu, kakak saya tidak percaya bahwa akan ada sebuah desa diujung jalan setapak ini. Lagipula siapa yang ingin tinggal dalam keterpencilan yang amat sangat dari dunia luar?

Tapi akhirnya mereka sampai di sebuah persimpangan dan bertemu dengan sekelompok anak kecil membawa obor-obor dari bambu, dengan sarung dan baju koko lusuh, siap menimba ilmu agama di surau terdekat sebada maghrib. Ketakutan pun berganti lega luar biasa. Mereka akhirnya tiba di sebuah kampung yang penerangan listrik rumah-rumahnya masih bisa dihitung jari.

Cerita selanjutnya sebenarnya tidak kalah menarik. Ada cerita tentang TV-TV warga yang merelay tayangan yang sama dengan TV di rumah kades, jadi jika pa kades memindahkan channel, semua TV di kampung itu pun pindah channel. Ada cerita tentang anak-anak SMP yang dihormati kawan-kawannya, hanya karena mampu meneruskan sekolah ke SMP. Dan cerita-cerita penderitaan serta kebahagiaan santri khas program PLKJ (yang mana saya tidak pernah melaluinya karena bersekolah di SMA, tidak seperti semua saudara saya yang sekolah di pesantren).

Tapi itu semua adalah cerita kakak saya lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Seminggu yang lalu, saya sendiri pergi ke sana dan melihat legendanya dengan mata kepala saya sendiri.

***

Sebelas tahun sudah sejak kakak saya mengunjungi Panawa. Jalan desa Pakenjeng-Panawa masih berupa tanah merah yang sepertinya mustahil dilalui di musim hujan, dan masih mustahil dilalui mobil. Sebenarnya ada satu akses jalan lain yang bisa dilalui mobil, yaitu melalui 2-3 jam jalan berbatu perkebunan teh Sumadra. Jalan itu dijamin memberi penderitaan yang lebih besar bagi kendaraan bermotor, sehingga orang lebih sering memilih jalan desa Pakenjeng-Panawa di musim kering. Tapi di musim hujan, warga di sini tidak punya pilihan lain.

Saya berangkat bersama teman saya Akew dan Rury, dengan tujuan mencari sebuah curug legendaris salah satu anggota Pan(d)awa Lima, Curug Ci-Arjuna. Motor kita tidak dalam kondisi fit, tapi kita tetap pergi saja; because why not?

Hari itu penuh insiden, beberapa mengundang gelak tawa, beberapa jadi duka menyiksa. Dimulai dari Rury dan Akew yang terjebak di kamar tidur karena engsel pintunya rusak, ampir kena razia polisi, lalu rante motor Akew lepas. Yah, bahkan di musim kering, jalanan tanah merah yang menanjak curam ini sangat menyiksa kendaraan kita. Di tengah perjalanan, motor Akew terhenti; rantai motor terlepas dari gearnya dan ban belakangnya bergoyang; tidak lagi terpasang dengan kuat. Setelah mencoba berbagai cara dan ditolong oleh seorang bapak-bapak yang baik sekali, akhirnya kita tiba di Panawa sekitar jam 3 sore.

Satu hal yang sangat berbeda dari cerita kakak saya adalah Panawa yang kini dihiasi oleh sebuah fasilitas PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) milik PT Arkora Indonesia. PLTMH ini baru aktif berjalan di tahun 2017. Walaupun listriknya tidak dibagikan langsung ke warga sekitar, tapi sekarang Panawa tidak segelap dulu sepenuturan cerita kakak saya. Listrik ini akan disalurkan ke Gardu Induk Sumadra terlebih dahulu sebelum selanjutnya disebarkan. Ketika debit air sedang besar PLTMH ini bisa menghasilkan listrik sekitar 7 MW, sedangkan kemarin hanya sekitar 3 MW karena debit air sedang relatif kecil.

Selain membangkitkan listrik, PLTMH ini juga membangkitkan sedikit asa bagi warga sekitar. Katanya 25 lelaki dari Panawa kini kerja di PLTMH ini, sebagai ini itu. Mayoritas penduduk sini bekerja sebagai petani dan buruh tani, baik di perkebunan teh, maupun membuka lahan sendiri, menanam jahe ataupun kopi di sela pohon-pohon kayu. Kini kata Arkora (PT Arkora) jadi simbol lain di mata masyarakat. Bahkan warga ada yang menyebut Curug Ciarjuna sebagai Curug Arkora, karena terletak di dalam area PLTMH.

Jalan di dalam area PLTMH ini diaspal dengan baik, terasa canggung karena buruknya jalan di sepanjang perjalanan menuju area ini. Setelah perjalanan motor yang menyiksa, akhirnya kita sampai di jalan bagus, tapi kemudian petugas PLTMH malah menyuruh kita memarkirkan motor dan berjalan. Syit. Petugas-petugas yang berjaga ternyata masih warga sekitar, dan mereka dengan baik hati memberi informasi tentang curug-curug yang ada di Panawa, yang ternyata banyak, tidak hanya Curug Ciarjuna saja. Tapi kita ingin mencapai tujuan utama dulu, lalu kita diminta mengisi daftar tamu kunjungan ke PLTMH sesuai prosedur.

Dari sana, kita berjalan mengikuti jalan aspal menurun curam sekitar setengah jam, juga menuruni pipa-pipa besar yang menyalurkan air untuk memutar turbin, memutar generator bermedan magnet, lalu, sesuai dengan hukum faraday, mengubah energi putaran mekanik menjadi energi listrik. I know the science of this creation, yet I still amazed by how human can reach this point.

Curug Ciarjuna dan para pengawalnya, Desa Panawa, Kecamatan Pamulihan, Garut
Curug Ciarjuna dan para pengawalnya, Desa Panawa, Kecamatan Pamulihan, Garut

Curug Ciarjuna ada di ujung jalan. Luar biasa indahnya. Jika akses ke curug ini mudah, dijamin pasti orang bakal ramai-ramai berkunjung. Kita pun beristirahat, makan nasi pincuk yang kita beli di desa sebelumnya, dan menikmati pemandangan barang sejenak. Lalu melakukan ritual wajib tugas kantor, yaitu foto-foto.

Kita sampai di Curug Ciarjuna kesorean. Terlalu berbahaya untuk pulang malam melalui jalan tadi, tapi kita juga tidak siap untuk menginap. Tidak membawa tenda, tidak ada perlengkapan tidur, juga tidak membawa perbekalan makanan. Oleh pak satpam, kita dilarang untuk menginap di sekitar curug karena air bisa tiba-tiba membesar, rawan longsor, dan bahaya-bahaya lain. Kita pun tidak ingin membantah dan menuruti saran beliau, yaitu untuk menginap dekat pos satpam saja di bagian punggungan tebing yang relatif jauh lebih aman.

Malam itu kita lumayan menderita.Tidur hanya beralas kain tipis flysheet. Untungnya ada sebuah gubuk kosong bekas bahan bangunan PLTMH yang bisa menaungi kita. Karena hari itu sangat melelahkan, kita tidak banyak lagi berkegiatan dan mencoba tidur walau malam membawa dingin yang semakin menusuk.

Bada maghrib, hujan turun. Kita tidak ingin memikirkan bagaimana kondisi jalan esok pagi. Kita hanya ingin beristirahat saja.

***

 

Esoknya kita menyeduh susu panas yang nikmat. Kita memutuskan untuk menunggu matahari mengeringkan jalan terlebih dahulu. Lalu untuk menunggu, kita akan menjelajah Panawa lebih jauh, dengan tenaga yang berasal dari Mie instan dari warung.

Panawa terletak di sebelah selatan Gunung Papandayan. Dari desa ini Papandayan terlihat tinggi sekali. Desa ini adalah salah satu desa paling ujung di Garut, karena berbatasan dengan Pangalengan, yang sudah masuk Kabupaten Bandung. Kontur tanah pegunungan dan perbukitan membuat kawasan ini kaya akan terjunan air.

Menikmati suasana Curug Ciarjuna, Desa Panawa, Kecamatan Pamulihan, Garut
Menikmati suasana Curug Ciarjuna, Desa Panawa, Kecamatan Pamulihan, Garut

Menurut pak Satpam, ada sebuah Curug super tinggi yang bernama Curug Asik, dan banyak curug lainnya di sepanjang aliran sungai di bawah tebing. Tapi beliau juga menuturkan bahwa jalan menuju ke sana sangat curam berbahaya dan perlu golok untuk membuka jalur. Karena penasaran, kita pun pergi mencarinya, toh kita juga membawa golok. Tidak lama, kita sadar bahwa topografi di desa ini sangat ekstrim, berupa tebing tinggi dan jurang-jurang curam. Air yang melimpah sangat berpotensi membentuk curug-curug tinggi. Saya pikir, lembahan-lembahan tak terjamah ini akan sangat potensial untuk dijadikan sebuah bendungan dan membangkitkan listrik dengan kapasitas yang lebih besar (skala PLTA bukan PLTMH), lalu kemudian kita berandai-andai jikalau punya sumber daya dan kuasa; perandaian yang semakin kesini semakin getir sebetulnya.

Setelah menerabas kebun teh dan kebun kopi, jalan semakin curam. Kita harus menerabas perdu-perdu dan mencoba melihat kemungkinan jalan setapak yang pernah dibuat warga sekitar. Sayangnya, jalan berakhir di sebuah kebun jahe, dan terlalu berbahaya untuk melanjutkan perjalanan. Perlu tali temali untuk membantu menuruni jalur setapak curam ini dan kita tidak siap dengan ini, terlalu berbahaya menuruni jalan ini tanpa pengaman. Akhirnya kita memutuskan untuk kembali.

Curug Asik telah terlihat di kejauhan. Kita hanya bisa melihat kepalanya, tak bisa melihat dasarnya. Padahal menurut pak satpam, Curug Asik ini sangat tinggi sampai-sampai airnya tidak terjatuh ke dasarnya sebagai terjunan air, tapi sebagai titik-titik uap air; saking tingginya.

“Tapi jalan menuju Curug Asik ini bener-bener ngga asik.”, pikir saya. “lebih baik mengganti namanya, jadi Curug Yudistira. Lalu Curug-curug selanjutnya dengan nama, Curug Nakula, Curug Sadewa, dan Curug Bima. Supaya lengkap jadi Lima Pan(d)awa, sesuai nama desanya.

***

Pagi itu, kita memberi pertolongan pertama dulu kepada motor Akew di bengkel yang sederhana. Motor Akew perlu dirawat di fasilitas bengkel yang lebih lengkap, jadi akang-akang bengkel tadi berupaya membuat motor Akew kuat melaju hingga kota saja dulu. Sesuai prediksi, jalan tanah ini menjadi becek, licin, dan berbahaya. Tapi syukur Alhamdulillah kita bisa melaluinya dengan selamat tanpa insiden lain.

Sayangnya, ada kabar duka tiba dari Garut ketika sinyal mulai masuk HP. Kawan saya telah berpulang ke pangkuan Tuhan, padahal agenda saya sepulang dari Pamulihan adalah bercerita pada beliau tentang tes LPDP saya yang gagal.

Pamulihan berarti tempat berpulang… Bagi warga di sini, mungkin makna itu berarti literal, tempat mereka pulang… Kakak saya tidak ingin lagi pergi ke Pamulihan dengan semua kesulitan yang telah dialaminya… Saya sendiri mau saja kembali, tapi dengan banyak tapi… Lalu tetiba ada kabar bahwa kawan saya lah yang telah mulih ka Pamulihan, Pamulihan nu lain, Pamulihan urang sadaya. Saya tersentak, lalu memacu motor untuk pulang ke tempat saya pulang…

I rode my bike like crazy, but then I know, nothing I can do to resolve anything.

Biasanya saya pulang menjelajah Garut dengan membawa optimisme dan bara semangat berbalut realisme yang kecut, tapi kini yang terasa tinggal kecutnya saja. Saya sering didera pikiran bahwa semua perjalanan ini sia-sia saja, I know it’s not, I believe it’s not, but this feeling of helplessness is suffocating… it pushes me to the verge of giving up…

I thought it’s just like my sisters story, that afterall this is still a path filled with darkness of the past, every nightfall, and it will always be like that for an adventurer without any light of hope in his heart. It is either, continue to struggle for a better night or wait for a new dawn to come, under a hopeless cold rainy night… problem is: I’m exhausted, very exhausted…

Fajrin Yusuf M
Garut, 2 September 2017

 



SUKA DENGAN TULISAN SAYA?

Kalau suka, kalian bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂

Share

Published byFajrin Yusuf

AsGar, Social Entrepreneur, Hiker, Writing to Kill Time

1 Comment

Post a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Share