Sendiri Dalam Kabut

Sendiri Dalam Kabut

Demi masa. Sungguh kita tersesat.

Sebagian tidak merasa demikian, sebagian tidak peduli. Menganggap kemana itu tidak sepenting bagaimana. Akhir yang jelas hanya mati. Mari fokus pada masanya agar anak kita mati dengan lebih baik dari kita. Omong kosong.

Menjalani hidup ini seperti mengendarai mobil menembus kabut tebal masa depan. Berbelok hanya ketika belokan terlihat. Melaju lurus sambil waswas bila ternyata jurang di hadapan. Berhenti tuk istirahat saja. Memacu jika sedang tersibak saja. Selebihnya, hanya putih halimun dan garis tengah jalan yang menuntun.

Terkadang ada penunjuk jalan. Terkadang tidak ada. Terkadang terlewati karena kecepatan dan ketiba-tibaan. Tapi penunjuk jalan adalah benda mati, dan kamu hidup, masih dengan memilih. Apa gunanya penunjuk jalan, jika kemana itu sama saja? Istrimu bertanya, “pah kita ini mau kemana?”, kamu menjawab, “kita nikmati saja kabut ini sayang.”, hingga bosan kamu penasaran atau cedera didera-dera putihnya.

Padahal tidak ada gunanya melihat spion belakang.

Bagaimanapun semuanya terus melaju. Tidak ada guna dan kenikmatannya juga diam berlama-lama dalam kabut. Sementara ada bayangan dan harapan akan tempat-tempat indah di pelbagai tujuan. Sementara ada bayangan kesenangan perjalanan itu sendiri. Yakni kebahagiaan mengisi kursi-kursi dengan kawan dan anak istri. Alih-alih radio, ada merdu suara tangis anakmu. Alih-alih lirik, ada tawa kawan-kawanmu yang asyik.

Kita tak punya alasan untuk berhenti. Sementara ketersesatan juga semakin tak berarti.

Tapi setidaknya bagiku, yang setiap hari hanya menyetel radio dan lirik-lirik, dan terlalu banyak berhenti untuk melamun di halaman perpustakaan, semua ini semakin menuntut untuk diartikan. Aku mulai merasa bahwa ini semua adalah sebuah permainan Maha Besar dan aku tahu aku tidak akan pernah menang. Tidak, selama sains tak bisa menginterogasi yang sudah mati.

Terkadang, aku ingin seperti Ibrahim. Alaihissalam. Yang menemukan Tuhan dengan mengamati dan mempertanyakan. Dengan melihat langit, di malam dan siang tanpa kabut, lalu mempertanyakan jalannya.

Arinii kaifa tuhyil mautaa? Tunjukkan padaku bagaimana cara-Mu menghidupkan yang mati? Kata Ibrahim.

Awalam tu’min? Apakah kamu belum beriman? Jawab-Nya.

Balaa, walaakin liyathmainna qalbii. Bukan, tapi hanya untuk meyakinkan hatiku.

Oh, aku juga ingin meyakinkan hatiku. Agar bisa melaju kencang dijalan yang lurus walau kabut menghadang. Walau belokan-belokan merayu dengan berbagai permainan. Sementara jiwa kita memang diciptakan sebagai homo ludens; si tukang main, yang mudah sekali terjerumus jadi tukang main-main.

Aku memang ingin seperti Ibrahim. Alaihissalam. Yang menemukan keyakinannya dengan jawaban, bukan dengan warisan, atau lebih buruk, dengan membunuh ketidak-yakinan melalui jalan kebodohan dan pengabaian.

Tapi toh aku juga tak akan sanggup dibakar hidup-hidup.

Aku terlalu sering berhenti. Terlalu banyak keraguan dan rasa penasaran. Tidak punya kawan yang berceloteh di bangku depan, hanya untuk mengendurkan rasa-rasa. Terlalu segan tuk minta ditemani, terlalu gengsi tuk mengakui rendahnya harga diri. Sementara lirik-lirik terus berulang, tentang hidup yang hanya menunda kekalahan.

Kecuali bagi mereka yang percaya, dan berbuat baik, dan saling tolong menolong dalam kebenaran dan kesabaran.

Fajrin Yusuf M.
Garut, 21 Agustus 2017 

 


SUKA DENGAN TULISAN SAYA?

Kalau suka, kalian bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂

Share

Published byFajrin Yusuf

AsGar, Social Entrepreneur, Hiker, Writing to Kill Time

No Comments

Post a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Share