Jikalau ada waktu, mohon doa untuk sahabat saya, Alifia Nurilmi Diansyah. Pagi tadi (29/8/17) Beliau dipanggil pulang oleh Allah SWT. mendahului kita semua. Semoga diampuni semua dosa-dosanya, diterima semua amalan ibadahnya, dilapangkan kuburnya, dan semoga bisa diterima di tempat terbaik di sisi-Nya.
Semoga yang ditinggalkan diberi ketabahan… Amiin.
Fajrin Yusuf M. Garut, 29 Agustus 2017
This is the least I can do.I’d really wished to be given a chance to meet you once again, so I can say sorry… but I guess it’s too late now… as always for me…
Farewell my friend, see you on the other side.
Menjinakkan Sisi Gelap Diri Ini oleh: Fajrin Yusuf M
Jadi kemarin saya baru saja dinyatakan tidak lulus seleksi LPDP, padahal adik saya udah berangkat tahun kemarin dan saya ingin mengikuti jejaknya. Tapi tidak apa, sebagai seorang yang sering gagal, tidak lulus LPDP ini hanya kegagalan kecil saja. Saya pernah gagal dalam hal yang jauh lebih besar. Serius, dari mulai urusan cari uang, akademik, hingga urusan percintaan, saya ini memang seringkali gagal. (tuk urusan yang terakhir disebut malah saya belum pernah berhasil hingga sekarang)
Hanya saja, sebagai seorang entrepreneur, saya merasa punya kewajiban untuk melakukan evaluasi terhadap semua kegagalan yang saya alami, termasuk kegagalan seleksi LPDP ini.
Ceritanya, saya gagal di tahap online assessment; padahal saya kira online assessment ini cuma tahap formalitas untuk tahap seleksi berikutnya yang betul-betul seleksi. Kenapa saya mengira demikian? Karena assessment ini bentuknya hanya seperti tes kepribadian, layaknya tes MBTI; seperti merespon sebuah pernyataan dengan jawaban sangat setuju, setuju, hingga sangat tidak setuju, “same thing, different name.”, pikir saya. Tepatnya tes Values and Motives Inventory (VMI) dan 15 Factor Questionnaire Plus (15FQ+).
Saya bukan seorang ahli di bidang ini, jadi saya tidak terlalu ngerti juga sih bagaimana dua tes ini akan menampilkan profil kepribadian saya nantinya. Udah baca beberapa artikel web dan pdf tentang kedua tes ini, tapi kesimpulan saya akhirnya ngga terlalu memuaskan juga. Yang pasti ya akhirnya bakal menampilkan profil kepribadian, seperti cara memperoleh motivasi, nilai yang dianut, intorvert vs extrovert, dan sejenisnya. Saya kira saya orangnya normal-normal saja, jadi ga akan terlalu dapet masalah mengerjakan tes ini. Tapi nyatanya ya begitulah, saya dinyatakan tidak lulus.
Awalnya, saya merasa seperti seolah dicap sebagai orang ga normal dengan kepribadian yang tak pantas, kepribadian yang buruk. Tapi setelah dipikir-pikir, yah mungkin memang karena ada jauh lebih banyak peserta seleksi yang profil kepribadiannya lebih baik dari saya saja, dan lebih pantas dapat beasiswa LPDP ini. Well, I can accept that, toh saya juga tidak berpendapat kepribadian saya ini luar biasa untuk pantas memperoleh beasiswa ini. (Adik saya yang rajin dan tekun tentu jauh lebih pantas dari saya).
Jadi setelah proses evaluasi diri yang mendalam (yaitu melalui renungan super kontemplatis di wc sambil berak), saya bertekad untuk memperbaiki kepribadian saya yang relatif tak elok ini (relatif dibanding ribuan peserta seleksi lainnya). Mumpung masih muda. Saya pun melanjutkan evaluasi sambil googling yang terdistraksi medsos tiap lima menit, such a casual style, eh?
Tapi justru dari facebook, saya ketemu artikel HBR (Harvard Business Review) tentang 11 dark side traits atau 11 sifat/perilaku di sisi gelap diri atau kepribadian yang, jika melekat terlalu kuat pada diri ini, bisa berakibat pada personality disorder, buruknya performa kerja, hingga jatuhnya karir (dan mungkin berakibat pada gagal seleksi LPDP). Tulisannya bikinan pak Thomas Chamorro-Premuzic, seorang professor University College London (UCL) di bidang Business Psychology.
Kesebelas perilaku sisi gelap diri ini adalah Bold (berani/pede), Cautious (berhati-hati), Colorful (bersemangat), Diligent (tekun/teliti), Dutiful (penurut), Excitable (meluap-luap), Imaginative (pemimpi), Leisurely (santai), Mischievous (pencari tantangan), Reserved (pendiam), dan Skeptical (peragu). Maaf kalau terjemahannya kurang pas, tapi kira-kira begitulah (bisa lihat gambar).
Kata pak Thomas, setelah beliau melakukan profiling ke jutaan pegawai, manajer, dan leader, beliau bisa menyimpulkan bahwa setiap orang itu dominan pada sedikitnya tiga dari sebelas perilaku ini, dan sekitar 40% orang punya skor yang sangat dominan pada satu atau dua perilaku ini; sangat dominan hingga bisa membahayakan karir mereka.
Yah, secara intuitif juga ketahuan sih, kalau terlalu berani bisa jadi ngambil keputusan yang salah, terlalu berhati-hati jadi terlambat ambil keputusan, terlalu teliti jadi terlalu perfeksionis, terlalu imajinatif jadi ga praktis, terlalu santai dan pendiam jadi ga kooperatif, dst.
Lebih lanjut, katanya kalau udah lebih dari 30 tahun, sulit sekali untuk bisa mengubah inti dari kepribadian yang udah terbentuk, tapi kita bisa “menjinakkan” sisi gelap diri ini dengan tiga hal, yaitu self-awareness, appropriate goal setting, dan persistence… Kitu cenah.
***
Kesebelas prilaku ini bisa dikategorikan jadi tiga, yang pertama, distancing, yaitu yang menjauhkan kita dari orang lain, kedua, seductive, yaitu yang mendekatkan kita dengan orang lain, dan yang ketiga itu ingratiating, yang kalo sifatnya ada di bawahan itu bisa membantu tapi kalau ada di atasan itu bisa kontra-produktif.
Orang yang terlalu dominan di distancing traits, bisa berakibat dia jadi cenderung jauh dari orang. Orang yang terlalu berhati-hati bisa jadi plin-plan, orang yang meluap-luap bisa jadi dianggap sebagai tukang marah-marah, orang yang terlalu santai susah diajak serius dan on time, orang yang pendiam jadi ga komunikatif, dan orang yang skeptis jadi susah percaya dan dipercaya sama orang.
Orang yang terlalu dominan di seductive traits, bisa berakibat dia mengecewakan orang lain. Orang yang terlalu pede bisa jadi malah terlalu arogan, orang yang terlalu bersemangat malah bisa terlihat bego (rock lee?), orang yang terlalu imajinatif bisa terjebak di ide-ide yang tidak realistis, orang yang terlalu suka tantangan bisa jadi malah mengambil keputusan impulsif yang bisa menghancurkan dirinya sendiri.
Dominan di ingratiating traits sering dianggap positif bagi bawahan, tapi jarang dianggap positif untuk pimpinan. Orang yang teliti bisa bikin bosnya seneng karena ketelitiannya terhadap semua hal, tapi kalau bos sampai habis waktu meneliti hal-hal kecil itu ga bagus. Orang yang penurut juga bisa bikin bosnya seneng karena gampang diatur, tapi kalau jadi bos yang penurut ya harus nurut siapa? Nantinya bakal berakibat kepada kurangnya inisiatif dan kreativitas, yang mestinya dimiliki pimpinan.
Nah, di bagian pertama cara menjinakkan sisi gelap diri ini, kita mesti tahu, sifat mana yang paling menonjol pada diri kita; yang sangat menonjol.
Saya pribadi merasa bahwa sifat paling menonjol pada diri saya adalah terlalu santai dan terlalu imajinatif. Saya malah merasa bahwa sifat ini memang terlalu ekstrim menonjol pada diri saya. Saya bisa terlalu santai hingga menganggap bahwa nothing’s really matters, nothing’s worth fighting for. Saya juga bisa terlalu imajinatif hingga bisa berjam-jam mikirin ide yang ga jelas (seperti untuk bikin website ini dibanding tumblr yang simpel). Saya malah punya firasat bahwa sepertinya sifat-sifat inilah yang membuat saya tidak lolos seleksi kepribadian LPDP kemarin. Hahaha...
Kalau kalian merasa sulit menilai mana yang paling menonjol, kalian bisa bertanya pada orang-orang terdekat yang sering berinteraksi dengan kalian. Jika kalian sudah berhasil menemukannya, kalian sudah beres tahap self-awareness ini (yang intinya juga adalah self-acceptance, wkwkwk).
Selanjutnya di tahap kedua adalah dengan mencanangkan goal, yaitu perilaku-perilaku perubahan yang diperkirakan bisa mengurangi tingkat dominasi sifat perilaku tadi. Tidak usah banyak, cukup satu sampai tiga perilaku, tapi harus persisten, yang mana adalah tahap ketiga. Untuk menjelaskan ini, pak Thomas menjelaskan dengan studi kasus yang cukup bagus.
Kasus pertama, tentang Jane, seorang manajer R&D di suatu perusahaan obat-obatan. Jane dominan di skor Dutiful (penurut). Dia memang disukai atasan dan teman-temannya karena patuh dan ga banyak komplain, tapi di rapat-rapat R&D, dia jarang sekali berpendapat dan bener-bener sulit ngasih feedback. Iya iya aja. Nah, dia ingin berubah. Salah satu hal yang dia lakukan adalah, di setiap rapat R&D yang dia pimpin, dia akan memulai dan selesai dengan satu slide permintaan bertuliskan, “tell me what I can do better, and I’ll do the same for you.” Hasilnya cukup memuaskan. Dia mulai bisa ngasih rekomendasi, terbuka dengan peluang inisiatif, dan berinovasi. Temen-temennya yang dulu menganggap dia sebagai “good manager”, mulai melihatnya sebagai “potential leader”, dan mentalitas tim-nya yang dulu bermental “getting along”, berubah jadi “getting ahead”. Gitu kira-kira cerita pertama…
Kasus kedua, tentang Amir, seorang Sales Vice President yang punya skor tinggi di perilaku Excitable (meluap-luap). Sisi positif dia adalah betul-betul passionate dan energetic, di setiap rapat dia lantang mengemukakan pendapat, bahkan tidak ragu tuk berdebat. Tapi setelah wawancara ke rekan-rekan kerjanya, ternyata koleganya melihat dia sebagai seorang yang temperamental dan ga bisa nerima pendapat orang lain. Nah, seperti Jane, Amir juga ingin mengubah sisi gelap diri-nya inih. Dia mulai dengan tiga goals perilaku perubahan. Yang pertama, dia lari pagi dulu tiap kali sebelum meeting sambil mikir-mikir topik yang nanti mungkin bakal muncul. Yang kedua, ketika diskusi dimulai, dia akan mulai dengan memindahkan jam tangan di tangan kirinya ke tangan kanannya, sebagai tanda bahwa dia mesti tenang dan pegang kendali diri (seems unrelated but amazingly effective for him, I guess). Yang ketiga, dia menghafal dan berlatih untuk melontarkan “information-seeking behavior”, seperti bertanya “Can you tell me a bit more about your idea and how it might improve the situation?”, alih-alih langsung mendebatnya. Setelah beberapa lama, kolega-koleganya menyadari perubahan Amir dari yang hot-headed jadi considerate.
Nah, kasus ketiga adalah kasus anda sendiri, wahai pembaca budiman yang bisa baca sampai sejauh ini. Thank you, I’m flattered. wkwkwk.
***
Dari dua kasus di atas, bisa dilihat bahwa kesamaan perubahan Jane dan Amir itu dimulai dari self-awareness dan kemauan diri untuk berubah, diikuti dengan goals praktis yang bisa dilakukan dengan mudah, lalu dibarengi dengan persistensi untuk terus melakukan si goals tadi.
Begitulah tips-tips menjinakkan sisi gelap diri kita, kata pak Thomas. Mudah kan? Coba dulu…
Saya sendiri, sebagai orang yang terlalu santai dan terlalu imajinatif, memang sudah di tahap self-awareness, tapi masih mikir-mikir tentang goals setting-nya, yang mudah dan bisa persisten dilakukan, agar saya bisa lebih serius dan lebih berfikir realistis. Ingin sekali menumbuhkan urgensi pada berbagai hal. I want to believe that now is the last chance. Now is perfect. but yeah, it’s much easier said than done. hiks…
Kalau punya ide tentang goals setting yang bagus, silakan di share. 🙂
Fajrin Yusuf M Garut, 24 Agustus 2017
Link untuk tulisan pak Thomas di HBR tentang 11 sisi gelap diri ini sengaja tidak saya cantumkan karena artikelnya sebetulnya berbayar. Kalian sebetulnya punya jatah baca 3 artikel secara gratis di HBR, tapi siapa tau kalian ingin baca artikel-artikel lain yang lebih menarik buat kalian. Langganan HBR itu $170 setahun, saya juga ngga langganan sih, wkwkwk… Nanti kalau punya uang sih mau aja langganan. Artikelnya banyak yang menarik banget.
SUKA DENGAN TULISAN SAYA?
Kalau suka, kalian bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂
Sebagian tidak merasa demikian, sebagian tidak peduli. Menganggap kemana itu tidak sepenting bagaimana. Akhir yang jelas hanya mati. Mari fokus pada masanya agar anak kita mati dengan lebih baik dari kita. Omong kosong.
Menjalani hidup ini seperti mengendarai mobil menembus kabut tebal masa depan. Berbelok hanya ketika belokan terlihat. Melaju lurus sambil waswas bila ternyata jurang di hadapan. Berhenti tuk istirahat saja. Memacu jika sedang tersibak saja. Selebihnya, hanya putih halimun dan garis tengah jalan yang menuntun.
Terkadang ada penunjuk jalan. Terkadang tidak ada. Terkadang terlewati karena kecepatan dan ketiba-tibaan. Tapi penunjuk jalan adalah benda mati, dan kamu hidup, masih dengan memilih. Apa gunanya penunjuk jalan, jika kemana itu sama saja? Istrimu bertanya, “pah kita ini mau kemana?”, kamu menjawab, “kita nikmati saja kabut ini sayang.”, hingga bosan kamu penasaran atau cedera didera-dera putihnya.
Padahal tidak ada gunanya melihat spion belakang.
Bagaimanapun semuanya terus melaju. Tidak ada guna dan kenikmatannya juga diam berlama-lama dalam kabut. Sementara ada bayangan dan harapan akan tempat-tempat indah di pelbagai tujuan. Sementara ada bayangan kesenangan perjalanan itu sendiri. Yakni kebahagiaan mengisi kursi-kursi dengan kawan dan anak istri. Alih-alih radio, ada merdu suara tangis anakmu. Alih-alih lirik, ada tawa kawan-kawanmu yang asyik.
Kita tak punya alasan untuk berhenti. Sementara ketersesatan juga semakin tak berarti.
Tapi setidaknya bagiku, yang setiap hari hanya menyetel radio dan lirik-lirik, dan terlalu banyak berhenti untuk melamun di halaman perpustakaan, semua ini semakin menuntut untuk diartikan. Aku mulai merasa bahwa ini semua adalah sebuah permainan Maha Besar dan aku tahu aku tidak akan pernah menang. Tidak, selama sains tak bisa menginterogasi yang sudah mati.
Terkadang, aku ingin seperti Ibrahim. Alaihissalam. Yang menemukan Tuhan dengan mengamati dan mempertanyakan. Dengan melihat langit, di malam dan siang tanpa kabut, lalu mempertanyakan jalannya.
Arinii kaifa tuhyil mautaa? Tunjukkan padaku bagaimana cara-Mu menghidupkan yang mati? Kata Ibrahim.
Awalam tu’min? Apakah kamu belum beriman? Jawab-Nya.
Balaa, walaakin liyathmainna qalbii. Bukan, tapi hanya untuk meyakinkan hatiku.
Oh, aku juga ingin meyakinkan hatiku. Agar bisa melaju kencang dijalan yang lurus walau kabut menghadang. Walau belokan-belokan merayu dengan berbagai permainan. Sementara jiwa kita memang diciptakan sebagai homo ludens; si tukang main, yang mudah sekali terjerumus jadi tukang main-main.
Aku memang ingin seperti Ibrahim. Alaihissalam. Yang menemukan keyakinannya dengan jawaban, bukan dengan warisan, atau lebih buruk, dengan membunuh ketidak-yakinan melalui jalan kebodohan dan pengabaian.
Tapi toh aku juga tak akan sanggup dibakar hidup-hidup.
Aku terlalu sering berhenti. Terlalu banyak keraguan dan rasa penasaran. Tidak punya kawan yang berceloteh di bangku depan, hanya untuk mengendurkan rasa-rasa. Terlalu segan tuk minta ditemani, terlalu gengsi tuk mengakui rendahnya harga diri. Sementara lirik-lirik terus berulang, tentang hidup yang hanya menunda kekalahan.
Kecuali bagi mereka yang percaya, dan berbuat baik, dan saling tolong menolong dalam kebenaran dan kesabaran.
Fajrin Yusuf M. Garut, 21 Agustus 2017
SUKA DENGAN TULISAN SAYA?
Kalau suka, kalian bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂
I have a special hidden weapon in my wallet… a paper clip. While many detectives use it as a smart looking lockpick, I use it every time I finish my meal, as a toothpick.
Yes, I use the paper clip to unblock any food leftover from my teeth, especially in a dental cavity on my lower left molar. It’s super effective… I put one in my wallet so I don’t have to waste my time looking for an actual toothpick. You may find it dirty, but I clean my paper clip eventually (when I remember that I have to).