Jadi beberapa waktu kemarin, BPS Garut merilis beberapa publikasi. Dari beberapa publikasi yang saya teliti, ada beberapa data unik nan menggelitik yang mendorong saya untuk menuliskannya di sini. Walaupun dirilis Desember 2016, publikasi ini menyajikan statistik Kabupaten Garut di tahun 2014. Jadi wajar kalau tahun ini sudah agak beda. Mungkin data sensus 2017 baru rilis nanti tahun 2019.
Anyway, silakan amati beberapa statistik Kabupaten Garut yang saya cintai ini.
Statistik Kabupaten Garut
42 Kecamatan, 421 Desa, 21 Kelurahan.
2.620.078 jiwa. 731.542 keluarga.
Garut, Kota Petani!? Sepertinya bukan…
Dari 442 desa dan kelurahan di Kabupaten Garut, 404 desa diantaranya memiliki sumber penghasilan utama penduduk dari pertanian. Hanya Garut Kota dan Tarogong Kidul saja yang sumber penghasilan utama mayoritas warganya tidak berasal dari pertanian. Dari 404 desa tersebut, 397 desa diantaranya menggantungkan diri pada pertanian tanaman pangan, sisanya (hanya 7 desa) menggantungkan diri pada perkebunan (5 desa) dan peternakan (1 desa).

Dari 730 ribu keluarga, 300 ribu diantaranya adalah keluarga pertanian dan 228 ribu diantaranya adalah keluarga dengan anggota keluarga sebagai buruh tani. Sayangnya, seolah sudah jadi pengetahuan umum, petani dan buruh tani adalah salah satu kelompok profesi yang kesejahteraannya paling rendah di Indonesia (saingannya mungkin cuma nelayan); termasuk di Garut.
Dari rantai pasok yang panjang, petani si motor produksi ini resiko usahanya paling tinggi tapi margin keuntungannya paling rendah. Tidak aneh jika kadang petani-petani sayur, seperti tomat atau sawi, kadang tidak memanen sayurannya karena harga yang kelewat rendah sampai tidak akan menutup ongkos transport. Padahal bukan cuma ongkos transport yang harus dipikirkan petani.
Tahun kemarin, para petani tomat di Cikajang sengaja membuang tomatnya ke jalanan sebagai bentuk protes dan keputus-asaan melihat harga tomat yang sangat rendah. Tahun ini juga teman saya dari Cisurupan melihat tomat-tomat yang dibiarkan saja membusuk di kebun. Di Samarang, petani Sawi pun juga demikian, lebih memilih membiarkan sayurannya membusuk di kebun jika harganya sedang rendah. Malah, menurut salah seorang petani di Desa Sukalaksana tahun 2015 lalu, sempat harga sawi mereka dihargai cuma Rp100,- per kg-nya. Mahi kana naoon 100 perak ayeuna mah?
Garut, Kota Petani? Mungkin belum. Lebih pantas kalau disebut Garut, Kota Tengkulak! Hehehe… Tapi saya melihat tengkulak dari sisi yang netral yah; biasanya konotasinya tengkulak itu negatif. Nyatanya, saat ini para tengkulak lah yang bekerja keras, menerobos sudut terjauh dari sentra produksi, dari pedalaman hingga ujung gunung, melakukan perdagangan antar daerah. Kalau tidak ada tengkulak, mungkin nasib petani bisa lebih parah karena ga bisa jualan. Selama ga ada sistem yang cukup inovatif dan praktikal untuk mengganti hubungan petani-tengkulak, sistem ini bakal terus dipakai petani mau tidak mau.
Satu hal yang jelas, calon bupati Garut nanti harus punya program inovasi yang berdampak di bidang pertanian! Serius ieu mah kudu!
Aura Kegelapan di Jalanan Garut
Dari 442 desa di Garut, ada 183 desa yang jalan utama-nya tidak ada penerangan sama sekali. Jalan utama desa didefinisikan sebagai jalan yang dianggap oleh sebagian besar penduduk desa setempat sebagai jalan yang paling penting atau paling sering digunakan untuk arus transportasi dari/menuju kantor camat terdekat. Jika jalan utamanya saja tidak pakai penerangan, apalagi jalan yang lainnya.
Saya pribadi pernah beberapa kali mengalami momen mencekam diliputi kegelapan jalanan Garut, terutama di daerah Garut Selatan. Menjalankan motor dengan kecepatan orang jalan kaki karena dicengkeram kabut tebal Gunung Gelap yang turun tiap malam. Hingga kini saya, dan banyak orang waras lainnya, selalu menghindari berkendara malam-malam ke Garut Selatan kecuali untuk hal yang sangat penting.
Malah sekali pernah hampir celaka ketika bermotor di sekitar Kadungora akibat jalan yang gelap (padahal jalan antar kota). Di pelosok-pelosok, mungkin memang faktor geografis dan ekonomis jadi kendala utama untuk memasang penerangan. Di kota, faktor sosial sepertinya jadi kendala utama, karena panel surya yang menjadi sumber tenaga penerangan, malah sering dicuri orang, haha…
Banyak LSM (lembaga suudzon melulu) yang menduga ada kongkalingkong anggaran penerangan jalan ini akibat banyaknya ruas jalan di Garut yang rawan laka karena minim penerangan. Yah, kalau mencari via google dengan kata kunci “penerangan jalan Garut”, hasilnya pasti mengundang suudzon, di satu sisi ada Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup besar dari Pajak Penerangan Jalan (PPJ), di sisi lain masih banyak ruas jalan yang gelap gulita di malam hari. Hmm…
Memang masih ada keluarga-keluarga tanpa listrik, tapi menurut data, kekuatan listrik, baik dari PLN maupun non PLN, sudah memasuki semua desa di Garut. Sayangnya, kekuatan itu belum mampu mengalahkan aura kegelapan yang menyelimuti jalanan Garut.
LDR-an sama Dokter ITU SULIT
Dibangunnya RSU di Pameungpeuk memang logis dan sudah seharusnya dari dulu dilakukan. Data jarak rata-rata yang harus ditempuh warga Garut Selatan untuk pergi ke fasilitas kesehatan terdekat ini terlihat “menyeramkan” (bahkan sesudah adanya RSU Pameungpeuk).
Bayangkan rata-rata jarak yang harus ditempuh orang yang tinggal di Cisewu untuk pergi ke Puskesmas/Tempat Praktek Dokter itu hampir 10 km (sama dengan jarak Terminal Cicaheum ke Terminal Leuwi Panjang), dan 7 km ke bidan terdekat. Padahal jalanan di Cisewu mayoritas adalah jalan desa berupa kerikil dan batu yang diperkeras. Jika harus pergi ke Rumah Sakit terdekat, maka warga Cisewu rata-rata harus menempuh jarak 91 km. Apotik terdekat pun berjarak 36 km. Data kecamatan lain di sekitar Cisewu, seperti Kecamatan Caringin, Bungbulang, dan Mekarmukti, juga memprihatinkan.
Yang lebih menyeramkannya lagi adalah kondisi jalan di Garut Selatan ini. Yah, jalan utamanya mungkin sudah mulus, tapi masuklah sedikit ke pedesaan. Kalian akan sujud syukur sudah bisa menikmati jalan mulus di perkotaan (Baca juga petualangan saya di Cisompet). Belum lagi masalah penerangan yang melanda jalanan Garut seperti yang telah ditulis sebelumnya. Ngga kebayang gimana orang-orang pedalaman Garut menghadapi medical emergency.
Menjalin hubungan dengan dokter itu memang sulit, apalagi kalau jauh dan banyak rintangannya. Keburu patah hati di jalan berbatu nan gelap. Eh!?
Wajib Belajar 7 tahun!
Kata teman saya, cuma 4% warga Garut yang beruntung bisa mencicipi perguruan tinggi. Nah, mayoritasnya berhenti dimana? Ternyata, rata-rata lama sekolah (RLS) orang Garut itu hanya sekitar 7 tahun. Itu berarti rata-rata orang Garut itu kelas 2 SMP pun ga tamat. Bahkan ada 11 Kecamatan yang angka RLS nya dibawah 6 tahun, yang berarti SD pun ga tamat.
Ironisnya, Angka Partisipasi Sekolah (APS) anak usia SMP dan SMA dari tahun 2009 hingga 2015 itu malah menurun. APS anak usia 16 – 18 tahun (usia SMA) yang cuma 56% saja di tahun 2009, dan menurun menjadi cuma 45% di tahun 2013. APS anak usia 13-15 (usia SMP) juga hanya 87% dari yang tadinya 100%. Padahal targetnya ingin sama dengan APS Jawa Barat. Sigh…
Yah, penyebab rendah-(dan menurun)nya angka RLS ini cukup banyak dan kompleks, dari mulai kemiskinan, ke(tidak)tersediaan infrastruktur, hingga faktor budaya. Walau listrik, sinyal, dan facebook sudah masuk desa, tapi sepertinya hal tersebut tidak serta merta meningkatkan kesadaran masyarakat Garut akan pentingnya pendidikan (formal).
Akses yang jauh dan sulit mungkin juga jadi pertimbangan. Jarak rata-rata yang harus ditempuh warga Garut untuk pergi ke SMA terdekat adalah sejauh 5,4 km. Di beberapa kecamatan, rata-rata warga harus menempuh lebih dari 10 km untuk pergi ke SMA terdekat, seperti di kecamatan Pamulihan (17,4 km), Cibalong (16,1 km), Pakenjeng (10,1 km), Talegong (10,7 km), dan Cihurip (10,9 km). Belum lagi jalannya yang jelek. Pergi sekolah bisa jadi tantangan yang terlalu sulit diwujudkan…
Tapi fakta ini jadi menjengkelkan ketika diberi data bahwa komoditi yang menjadi pengeluaran terbesar warga Garut setelah beras adalah rokok. Udud we siah, sakola teu tamat!
Buang Sampah ke Sungai! Because why not!?
Hanya 48 desa/kelurahan di Garut yang sampahnya diangkut ke Tempat Penampungan Sampah (sebagian besar di daerah kota). Mayoritas warga Garut “menyelesaikan” masalah sampah dengan cara dikumpulkan lalu dibakar (288 desa melakukannya). Statistik Kabupaten Garut di dalam pengelolaan sampah memang masih menyedihkan.
Yang lebih menyedihkan lagi adalah 67 desa masih membuang sampahnya ke sungai/irigasi/drainase. Desa-desa ini paling banyak terdapat di Bayongbong (6 desa) dan Kadungora (5 desa). Tidak aneh kalau sungai Cimanuk itu banyak sampahnya. Padahal Garut sebagai daerah hulu air ini nantinya akan mengalirkan air ke kota-kota di utara, seperti Sumedang, Majalengka, hingga Indramayu dan Cirebon. Maaf yah, kalau warga Garut banyak ngimpor sampah…
Kesimpelan dalam membuang sampah ke sungai mungkin jadi alasan utama. Dengan hanya modal tenaga sedikit, lung! lalu permasalahan sampah mereka hilang, dipindahkan ke tempat lain dengan bantuan aliran air pemberian Tuhan. Mungkin di tempat lain malah terakumulasi jadi bencana, tapi siapa peduli? Kamu peduli? Ah masa? #wink (baca juga: Rasanya Hidup di Daerah Paling Rawan Bencana di Dunia)
***
Nah, tidak lama lagi, bakal ada gonjang-ganjing Pilkada Garut. Akankah ada calon yang punya program inovatif untuk memperbaiki data-data statistik Kabupaten Garut ini? Hmmm… Saya sih belum ada calonnya… kamu mau jadi calon saya? Eh!?
Fajrin Yusuf M
17 Ramadhan 1438H
Statistik Kabupaten Garut #EverydayRamadanWritingChallenge #4
SUKA DENGAN TULISAN SAYA?
Kalau suka, kalian bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂
TAKUMI ISEKI
May 5, 2018 at 10:31 amPak Yusuf
I’m Takumi from Japan who has been working at Jakarta for 2 years.
I’d lke to visit Garut on purpose of work, but I don’t have friend there.
So I’m just wondring and give you this email.
Please email me, awaiting!!!
Terima kasih banyak yaaaaa.
kangfajrin
May 7, 2018 at 7:17 amHi, Takumi,
Glad to see you visiting my blog. 🙂
Let’s meet then. 😀