Al-Fajr adalah salah satu surat Al-Qur’an yang paling sering saya baca kalau sedang shalat. Yah, saya memang menyukainya karena nama surat ini sama dengan nama saya, tapi bukan cuma karena itu. Komposisi surat ini juga sangat menarik. Di akhir surat, ketika Allah “memanggil” jiwa-jiwa yang tenang… saya selalu berharap bisa termasuk pada golongan tersebut.
No prize more rewarding for a restless soul like mine but to have a peaceful heart…
Di awal surat, Allah bersumpah dengan nama saya (nama yang diberikan ibu saya kepada saya), sumpah yang juga penuh kode-kode. “Demi Fajr”, “Demi malam yang sepuluh”, “Demi genap dan ganjil”, “Demi malam apabila ia telah berlalu”, “Adakah pada yang demikian itu suatu sumpah bagi orang-orang yang berakal?”
Orang-orang tak berhenti penasaran, bertanya-tanya tentang malam yang sepuluh, apakah sepuluh di awal Dzulhijjah? Sepuluh terakhir bulan Ramadhan? Sepuluh di awal Muharram? Yang tahu hanya Yang Mempunyai Firman. Begitu pula tentang yang genap dan yang ganjil… Membuat saya teringat dengan teman-teman saya yang telah menggenapkan diri dengan pasangannya, dan saya yang masih ganjil, hehehe… Kita hanya punya kewajiban untuk menjadi orang yang berakal, dengan terus belajar. 🙂
Surat kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan retorik tentang kita yang mesti mengambil pelajaran dari kisah-kisah terdahulu, Kaum Ad penduduk kota Iram dengan bangunannya yang tinggi-tinggi, Kaum Tsamud yang memahat gunung-gunung untuk dijadikan tempat tinggal, dan Kaum Fir’aun yang bermegah-megahan. Semuanya kini musnah… Tidak ada yang abadi… Rezim satu diganti rezim lainnya, era yang satu diganti era lainnya… begitu seterusnya…
Satu-satunya yang tetap sama adalah Allah yang berada di tempat pengawasan-Nya.
Lalu ayat berlanjut tentang manusia yang merasa dimuliakan Allah ketika diberi kemuliaan duniawi, dan merasa dihinakan Allah ketika diberi cobaan yang berat. Saya pun sering terbersit pemikiran seperti demikian… tapi memang “sekali-kali tidak!”.
Teringat saya berceloteh kepada teman saya Rizqan, bahwa “Hidup itu rangkaian ujian.”. Rizqan mengernyit tanda ketidak-setujuan. Tapi dia tidak menyanggah. Yah, kekayaan dan kemuliaan juga ujian, selain kemiskinan dan keterbatasan. Jika kekayaan hanya membuat saya sombong dan sibuk sendiri, dan jika kemiskinan hanya melahirkan ratapan, saya pikir, saya tak pernah punya “jiwa yang tenang”.
Jadi kita harus bagaimana? Nah, ada di ayat selanjutnya. Ingat selalu, kalau punya harta lebih, selalu utamakan untuk memberi makan anak yatim, harus saling mengajak untuk membantu fakir miskin. Jangan memakan harta warisan yang bukan haknya. Dan intinya “Jangan mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan”.
Karena jika bumi berguncang, dan malaikat datang dengan berbaris-baris; semua hal duniawi ini tidak ada gunanya lagi. Jangankan hari akhir, Allah datangkan bencana alam saja harta kita sudah bisa lenyap seluruhnya… Yang ada hanya penyesalan…
Lalu datanglah bagian terakhir, ketika Allah memanggil, “jiwa-jiwa yang tenang”.
Di Al-Qur’an dijelaskan tiga tingkatan jiwa, jiwa yang Ammarah (Q.S. Yusuf:53), jiwa yang Lawwamah (Q.S. Al-Qiyamah:2), dan jiwa yang Muthmainnah (Q.S. Al-Fajr:27).
Yang pertama, Nafsul Ammarah, adalah jiwa yang selalu terdorong untuk berbuat sesuatu diluar pertimbangan akal yang tenang dan sehat. Seringkali jiwa ini terjatuh jauh dari nilai-nilai islam, melakukan hal-hal yang tidak diridhai-Nya. Yang kedua, Nafsul Lawwamah, adalah jiwa-jiwa yang berada dipersimpangan. Mereka menyesal dan terusik batinnya ketika melakukan sesuatu yang tak diridhai-Nya, namun terasa sulit untuk meninggalkan persimpangan tersebut…
Yang terakhir adalah Nafsul Muthmainnah, jiwa-jiwa yang telah mencapai ketentraman. Menurut Buya Hamka adalah, “Jiwa yang telah digembleng oleh pengalaman dan penderitaan. Jiwa yang telah melalui berbagai jalan berliku, sehingga tidak mengeluh lagi ketika mendaki… Dan tidak gembira melonjak lagi ketika menurun… Itulah jiwa yang telah mencapai Iman! Karena telah matang oleh berbagai cobaan. Jiwa inilah yang mempunyai dua sayap. Sayap pertama adalah syukur ketika mendapat kekayaan, bukan mendabik dada. Dan sabar ketika rezeki hanya sekedar lepas makan, bukan mengeluh.” 🙂
Sayangnya, sepertinya tingkat ini sangat sulit untuk dicapai. Tingkat ini seolah hanya bisa diketahui pencapaiannya ketika menjelang ajal tiba. Karena setelah Allah memanggil “wahai jiwa-jiwa yang tenang”, Allah melanjutkannya dengan berfirman, “kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai”, “masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku”, “dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Al-Fajr : 28-30)
Hasan Al-Bishri pernah berkata tentang muthmainnah ini: “Apabila Allah berkehendak mengambil nyawa hamba-Nya yang beriman, tenteramlah jiwanya terhadap Allah, dan tenteram pula Allah terhadapnya.”, pun juga Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azharnya yang menafsirkan ayat 28 tadi dengan, “setelah payah engkau dalam perjuangan hidup di dunia yang fana, sekarang pulanglah engkau kembali kepada Tuhanmu, dalam perasaan sangat lega karena ridha; dan Tuhan pun ridha, karena telah menyaksikan sendiri kepatuhanmu kepada-Nya dan tak pernah mengeluh.”
Saya tak pernah tahu kapan datangnya ajal. Namun selalu saja hati ini terusik dan tak menemukan ketenangannya. Saya takut jika pada akhirnya nanti saya menghadapi kematian dengan ketakutan dan penyesalan… Karena itu, saya sering membaca surat Al-Fajr ini dalam shalat, sambil berharap bisa mendapat ketenangan yang diidam-idamkan. 🙂
Wallahu’alam.
#EverydayRamadanWritingChallenge #1
Fajrin Yusuf M
Garut, 1 Ramadhan 1438 H
Ps. Teringat lagu Dream Theater, The Spirit Carries On, di bagian reff si vokalis mengulang nyanyian emosionalnya, “if I die tomorrow, I’ll be alright, because I believe… that after we’re gone, the spirit carries on…”
How could he be so sure about that?
Ps2. Ini bukan tafsir saya yah, jangan dijadikan rujukan. Ini mah cuma curhatan saja. Da saya mah siapa atuh.
SUKA DENGAN TULISAN SAYA?
Kalau suka, kalian bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂
Ar-Rahman: Membangun Hubungan Personal dengan Al-Qur’an - Kang Fajrin
January 13, 2018 at 8:09 am[…] bahwa saya punya hubungan personal yang lebih dengan salah satu surat dalam Al-Qur’an, yaitu surat Al-Fajr, karena nama suratnya sama dengan nama yang diberikan ibu saya kepada saya. Kalian mungkin tidak […]