Catatan Pendakian Gunung Argopuro ini sempat di posting di blog yang lama, sekarang saya posting ulang di blog yang baru ini. Semoga bermanfaat, selamat membaca 🙂
Argopuro Hari ke-1 : Twists of the Beginning
“Argopuroo!!!”,
Teriak seorang bapak tukang becak sambil bertepuk tangan dengan girang, dipinggir jalan Alun-alun Besuki, ketika melihat kami turun dari bis dengan menenteng tas-tas besar.
Dengan sedikit terkejut, teriakan itu bagi kami artinya seperti,
“Welcome Wanderers, this mountain has awaited you for so long… Yes, you belong here, and we love you all!!”
Sambutan menggetarkan yang bakal kami ingat hingga akhir pendakian, 6 hari ke depan. Alun-alun Besuki yang sepi di pagi hari itu mendadak menjadi riuh rendah didatangi tiga pendaki asal Jawa Barat yang over-excited.
Shakti Nuryadin, dipanggil Gege, 24, pemimpin pendakian. Dua minggu lagi akan resmi menjadi bagian dari world leading oil service company, Schlumberger. Totalitas dalam pendakian kali ini untuk tabungan kenangan beberapa masa ke depan, ketika sebagian besar waktunya nanti mungkin akan dihabiskannya di kilang-kilang minyak lepas pantai.
Nasrul Mumin Gumati, 25, fotografer merangkap chef. Owner dari Magnum Opus Creative Labs. Setengah jam sebelum pemberangkatan kereta api menuju Jawa Timur, Nasrul menyatakan cintanya pada seorang wanita, dan ditolak. Satu minggu pendakian ini adalah antithesis untuknya. (Update Maret 2017!! Nasrul sudah menikah, woohoo…!)
Saya, Fajrin Yusuf Muttaqin, 24, well, dari dua sebelumnya, saya memang yang paling berpengalaman dalam pendakian, jadi saya bertindak sebagai penasihat saja, bergerak di depan untuk membuka jalan, memberi opsi, dll. Motivasi naik gunung kali ini adalah menemani Gege dan Nasrul, karena kalau tidak ditemani, tentu mereka tidak akan berangkat.
***
Nuansa Besuki masih nuansa laut, bukan gunung. Sepanjang jalan ngangkot dari Besuki menuju Baderan kita bisa melihat garis pantai, menandakan starting point kita yang relatif masih rendah. Tidak seperti di Ranu Pani yang hawa gunungnya sudah sangat terasa, Baderan masih bisa dinikmati tanpa harus memakai pakaian tebal. Dengan titik awal pendakian yang rendah sepertinya perjalanan akan sangat menanjak.
Keramahan orang-orang disini membuat kami lupa dengan capeknya 24 jam perjalanan Bandung-Situbondo kemarin. Sarapan dengan porsi kuli Borobudur dijual dengan harga sangat murah. Baderan memang oke, hingga kami agak terlena.
Pukul 10.00 baru kami selesai ritual sarapan dan pengeluaran sampah tubuh. Kami pun berjalan menuju ke pos pendaftaran pendakian Gunung Argopuro. Disanalah kami bertemu bapak dengan inisal S yang selama 12 tahun sudah merasakan Argopuro dalam berbagai medan. Ramah, tapi nyentrik, dan tawa-nya ketika membicarakan hal-hal yang ngeri membuat kita sepakat menganggapnya sedikit berjiwa psikopat, hehe… Berikut saya kutip beberapa percakapan kita.
“Saya sebenarnya ngga suka kalau banyak pendaki yang datang kesini, saya ingin membuat Argopuro tetap terjaga… Saya ngga pasang tanda-tanda di sepanjang jalan pendakian, kecuali di pos-posnya. Kalau pas naik saya lihat ada pendaki yang kasih tanda, ya saya cabutin (sambil terkekeh)… Kemaren-kemaren ada tuh pendaki, ngga turun-turun, taunya tiba-tiba mereka turun di Jember, nambah deh 3 hari, hahaha… ya ngga apa-apa kan, pengalaman…”
“…Saya sengaja bikin Argopuro kayak gini, biar ga banyak pendaki datang ke sini, biar alamnya tetep terjaga. Danau itu sebenernya ada dua, saya sembunyiin yang satu. Ada kawah juga yang saya sembunyiin.”
“…kata siapa jalur pendakian ini 40km? Saya hitung sendiri per 100 meter kontur, dari Baderan ke Bremi ini udah lebih dari 60km lho.”
“…waktu saya ekspedisi bareng kompas itu beberapa bulan yang lalu, 2 kali saya lihat macan, lagi makan kijang (sambil terkekeh)…”
“… kalau badai itu suaranya udah kayak kereta api lewat, hahaha…”
“(sambil membuatkan simaksi) yah, kalau pake tas-tas gede gini saya percaya lah. Kalau pake daypack kecil-kecil ya langsung saya suruh pulang. Bahkan yang pake perlengkapan lengkap aja kemaren tuh ada yang meninggal. Padahal belum nyampe pos 1. Saya juga ngga ngerti, sebelumnya dia ketawa-ketawa sama saya disini…”
“…Saya tambahin sehari di suratnya ya. Ya kalo nanti kalian nyampe Bremi lebih cepet kan ga apa-apa, tapi… ya saya tambahin sehari aja ya, hahaha…”
“Hati-hati ya, santai aja jalanya, berhenti kalo cape, jangan dipaksain…”, pesannya, masih sambil terkekeh.
Pukul 11.00 baru kami mulai berjalan.
***
Siang itu matahari langsung menusuk ubun-ubun. Kita berjalan di tempat terbuka di tepian tebing. Di depan tebing tempat kita berjalan terbentang tebing lain dengan banyak mata air memancar membentuk air-air terjun yang bermuara ke sungai di dasar tebing. Setiap kali kita menemukan teduhan kita berhenti cukup lama karena panas dan keindahan dinding tebing di depan kita.
Tak tahan dengan panas yang membakar, kita bersantai di sebuah teduhan dekat mata air. Karena terlena, Gege dan Nasrul tertidur. Saya juga malas untuk berjalan dan memilih melamun.
Cuaca berubah dengan cepat. Tiba-tiba hujan turun mengguyur Gege dan Nasrul yang masih terbaring, dan saya yang masih melamun. Press panic button!
***
Kita berjalan terlalu lambat, hujan hanya berlangsung tidak lebih dari setengah jam.
Di sini matahari mulai tenggelam sejak jam 5 sore. Dan saat itu kita tak sadar bahwa kita masih jauh dari tujuan kita, pos mata air 1. Padahal sebelumnya ada wacana kalau kita bisa sampai ke pos mata air 2. Dan sebelumnya juga kita sepakat untuk tidak trekking malam.
Tapi malam semakin larut, tubuh kita juga sudah sangat lelah, dan pos mata air 1 belum muncul juga. Sepertinya malam mulai memberi ruang bagi satwa-satwa nokturnal untuk keluar. Jalur kami dipenuhi koloni hewan sejenis Myriapoda, hewan dengan sepasang kaki di tiap segmen tubuhnya, kaki seribu, seukuran kelingking, berwarna putih, banyak sekali. Kita sangat lelah, tapi kita juga tidak ingin hewan-hewan ini naik ke kaki kita, jadi kita tak mengurangi kecepatan.
Semakin lelah, pikiran pun semakin kacau. Saya mulai berfikir yang tidak-tidak dengan koloni kaki seribu ini. Tanjakan demi tanjakan kita naiki dengan kecepatan tinggi untuk menghindari koloni ini.
Tetiba terdengar suara seperti geraman dan ada sesuatu bergerak dalam semak-semak. Otak saya otomatis berkata, “Harimau!”, tapi mulut ini tetap tertutup, badan tegak dan waspada, melihat ke arah datangnya suara.
“Naon rin?”, kata Nasrul di belakang saya.
“Something’s there, definitely… denger ga suaranya?”, ujar saya gugup, sembari menunjuk, dengan kewaspadaan maksimal.
“Bagong rin, hayu terus…”, kata Gege dari paling belakang, mencoba menenangkan.
Kembali saya berjalan. Kali ini adrenalin membuat lelah lenyap, diganti dengan waspada tingkat tinggi. “Tapi kalau dipikir-pikir lagi, suara tadi memang lebih mirip suara babi hutan dari pada suara harimau”, pikir saya kembali. Kita pun mencoba fokus kembali ke kaki-kaki kita yang masih dipenuhi koloni kaki seribu, sembari sesekali melihat sekeliling.
Ketika efek adrenalin sudah hilang, digantikan dengan lelah yang amat sangat. Koloni kaki seribu sudah berganti menjadi beragam spesies laba-laba dengan beragam warna. Kata “terus berjalan” sudah akan berganti menjadi “berhenti”. Dititik itulah kita sampai di pos mata air 1.
“Puncaaaak!!!”, kata Gege girang.
***
Malam itu kita sadar, bahwa pendakian ini bukan pendakian biasa.
Argopuro Hari ke-2 : Manajemen Pendakian dan Prinsip Pendirian Tenda
Pengalaman pendakian hari pertama melahirkan sebuah kajian ilmu manajemen pendakian yang lebih rumit. Kajian ilmu ini meliputi manajemen penggunaan air, penentuan kecepatan perjalanan, rest policy yang lebih ketat, manajemen berat tas, manajemen konsumsi makanan, formasi pendakian, dan spesialisasi dalam pekerjaan.
Berjalan 30 menit, istirahat duduk 5 menit. Disela-sela itu, istirahat dilakukan sambil berdiri. Kami sebut yang demikian dengan Istirahat Qubra dan Istirahat Shugra.
1 botol air + 1 sachet Nutrisari untuk 1 hari trekking. 1 teguk masing-masing di tiap istirahat qubra.
1 jenis cemilan untuk 1 kali trekking.
Saya di depan, menentukan kecepatan jalan, melambat di tanjakan, bergerak efisien di turunan atau dataran.
Nasrul masak nasi, saya dan Gege buat tenda.
Banyak lagi aturan yang kita buat untuk kita sendiri. Yah, demi kebaikan kita juga.
Sayangnya, kita lupa, bahwa di setiap ilmu manajemen, satu hal yang sangat penting adalah kontrol. Sekitar pukul 14.00 kita tiba di sebuah savanna. Padang luas dengan sebatang pohon besar di tengahnya. Sangat indah. Kita pun terlena tanpa kontrol…
***
Savanna Kecil, itulah nama tempatnya. Kita sadar betul, bahwa sesudah ini akan ada Savanna Besar. Tapi tetap saja, savanna ini terlalu indah untuk ditinggalkan begitu saja. Kita pun makan siang disini, lalu bersantai, dan mengambil cukup banyak foto.
Terlalu sore, kita mulai kembali berjalan. Satu jam kemudian kita baru menemukan Savanna Besar, tapi tujuan kita adalah Cikasur, savanna paling besar dengan sungai yang mengalir ditengahnya. Kita sampai di Savanna Besar ketika matahari sudah ditelan horizon barat, menyisakan pantulannya yang kemerahan.
Terpaksa kita melewati Savanna Besar karena gelap segera tiba.
Jam 7 malam, kita melewati beberapa savanna kecil dengan pohon-pohon tinggi di tepiannya. Tikus-tikus gunung dengan mata menyala memantulkan sinar headlamp mengikuti kita. Kita harus segera tiba di Cikasur. Tempat terbuka seperti ini membuat kita merasa sangat rapuh; satu jentikan kilat saja, atau satu ekor macan saja, atau satu kali saja salah berbelok…
***
Akhirnya kita menemukan Cikasur. Sungai yang kita cari, yang kita kagumi lewat foto-foto, kini terlihat sangat cantik dengan hanya disinari cahaya bulan.
Walaupun sungai sudah ketemu, tapi tempat mendirikan tenda masih belum kita temui. Kita sudah sangat lelah. Dan kita sudah menyusuri tepian sungai, tapi tidak ada luasan datar untuk mendirikan tenda. Gelap sangat menghambat. Jarak pandang kami pendek. Bergiliran kami berpencar untuk mencari tempat mendirikan tenda, tapi tak juga ketemu.
Lelah dan dingin akhirnya membuat kita menyerah mencari.
Akhirnya kita membuat tenda di sebuah tanah miring penuh rumput dengan akar-akar rumput yang menonjol, yang nantinya akan membuat tidur kita sama sekali tidak berkualitas. Tenda kami buat persis di samping jalur, sehingga tali pintu tenda harus kami ikat ke samping, bukan ke depan.
Itu adalah tenda paling aneh yang pernah saya buat selama hidup saya. Kami tidur dengan posisi tubuh menyesuaikan dengan posisi tonjolan-tonjolan rumput.
Karena lelah, tanpa peduli, kami menyalahi semua prinsip pendirian tenda.
***
Argopuro Hari ke-3 : A Little Piece of Heaven
Cikasur adalah dua savanna besar yang terpisah oleh sebuah sungai. Sungai yang sangat jernih dengan selada-selada air yang bisa langsung dimakan. Savanna Cikasur adalah savanna kolosal yang tak akan bisa anda eksplor hanya dengan satu hari saja.
Jika anda pernah dengar istilah, “Jannatin tajrii min tahtihaa al-anhaar”, Taman yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, maka Cikasur adalah gambaran yang paling mendekati.
Sayangnya, untuk mencapai pos berikutnya, kita harus mulai jalan lagi, meninggalkan Cikasur, sejak pagi. Kita semua menyadari, bahwa tempat ini terlalu indah untuk ditinggalkan begitu saja. Kita bertiga ingin bersetubuh dengan sungai jernih dan selada airnya. Kita ingin berjalan ke tiap penjuru savanna. Kita ingin melihat ragam satwa savanna. Kita ingin rebahan dengan semilir angin padang rumput di bawah teduh pohon yang cuma sebatang saja.
Jadi, tidak butuh waktu lama bagi kita untuk memutuskan bahwa hari ini, kita nikmati Cikasur saja.
***
Nasi goreng spesial selada air mungkin adalah masakan terbaik yang pernah saya buat di atas gunung. Dan masakan terbaik memang sempurna untuk memulai hari yang indah.
Cikasur dulunya akan dibuat landasan udara oleh Jepang ketika masih menjajah Indonesia. Masih tersisa fondasi-fondasi landasan yang akan dibuat, kini sudah tertutup rerumputan. Membuatnya seperti crop circle yang dibuat alien, hanya saja alih-alih circle, bentukannya lebih seperti lintasan panjang.
Jalur yang melintang itu mengarah ke Jember. Jangan sampai anda mengikuti jalan ini. Jalan yang benar adalah jalan kecil yang menanjak di sebelah kanan luasan tempat tenda. Tapi hari ini kita tidak pergi ke sana. Kita menghabiskan pagi dengan mencoba mengeksplor ke setiap tepi savanna, meniup bunga-bunga dandelion, dan menikmati suasana alam yang tenang.
Agak siang, kita langsung berenang sambil minum air sambil membersihkan badan sambil makan selada air sambil berfoto; di Sungai Qalbu. Setelah puas dan capek, kita pun makan siang, lalu bersantai di bawah bayangan pohon, menghindari terik matahari.
Menjelang sore, Cikasur menjadi semakin cantik saja. Kini kawanan merak muncul dengan suara-suaranya yang khas. Nasrul mencoba mendekatinya untuk mengambil foto, tapi gagal. Alih-alih mendapat foto merak, Nasrul malah terjatuh ke setumpuk tanaman Jancukan dan akhirnya harus menjalani sisa hari dengan menderita akibat bisa-nya. Walaupun demikian, kita semua tertawa… Semakin senja, suara merak-merak itu semakin nyaring, entah apa yang mereka bicarakan…
Cikasur itu sepenggal Nirwana, lengkap dengan semua pengorbanan untuk mencapainya.
***
Maghrib membawa awan hitam dari arah selatan menuju ke arah kita. Makan malam diliputi kecemasan melihat awan hitam itu. Kilat mulai menyambar-nyambar. Semakin mendekat, kilat semakin terlihat menyeramkan. Kita mempercepat makan malam, memasukkan semua barang ke dalam tenda, lalu berdoa melalui Maghrib dan Isya.
Kilatan cahaya masih terlihat dari dalam tenda, membuat kita bahkan tidak berani keluar untuk hanya membuat parit. Tapi Tuhan sepertinya mengabulkan doa kita. Hingga fajar tiba, sepertinya badai tak lewat juga.
Sepertinya Tuhan memerintahkan angin untuk memindahkan badai-Nya ke tempat lain, ke hari yang lain.
[]
Argopuro Hari ke-4 : Sastra di Rimba Argapura
Aku berpikir tentang seorang gadis; namanya Rengganis. Dulu juga mungkin dia berbaring di sini sepertiku, mencari sunyi, mandi di sungai ini, bercengkrama dengan kawanan merak, makan selada-selada air, bercinta dengan alam, dan tentu saja, berdamai dengan takdir Tuhan. Perlahan aku mengaguminya.
Jadi kupercepat langkah kaki ini. Aku yakin, warisannya bukan hanya undakan-undakan batu makamnya.
***
Pagi itu kita bergerak cepat. Bahkan Nasrul tidak lagi mengejar merak, padahal pagi ini bahkan ada 4 ekor merak yang muncul. Cikasur memang masih seindah kemarin, tapi perjalanan masih jauh. Sarapan singkat. Satu foto terakhir. Lalu kita kembali trekking.
Perjalanan hari ke-4 dari Cikasur, kemudian Cisentor, menuju Rawa Embik terbilang mudah dan mengasyikkan. Ilmu manajemen pendakian kita terbukti sangat berguna. Terlebih kita menghabiskan hari ke 3 untuk pemulihan tenaga di Cikasur. Selain itu, pemandangan alam savanna kini berubah drastis menjadi rimba tropis dengan pohon-pohon besar berumur ratusan tahun dan monyet-monyet hitam bergelantungan di dahan-dahannya; sangat menarik, membuat lelah kita terabaikan.
Tanaman Jancukan mulai banyak ditemui. Seringkali dalam jumlah besar, membuat kita harus betul-betul waspada. Nasrul kembali terkena Jancukan, hanya saja kali ini pakaiannya yang cukup tertutup menolongnya.
Di Cisentor ada sungai dengan air yang cukup deras. Saya memanfaatkan airnya yang dingin untuk relaksasi kaki seperti yang dilakukan Indra Sjafrie kepada anak-anak asuhnya di Timnas U-19. Hasilnya cukup memuaskan; kita tiba di Rawa Embik dengan perkiraan waktu yang tepat.
***
Sastra Rimba atau Rimba Sastra, saat itu sama saja. Aku coba siapkan satu buat Dewi Rengganis nanti di puncak sana.
Monyet-monyet hitam ini tidak henti mengajakku bermain. Ekornya yang sangat panjang melambai-lambai menggoda, mengaburkan kata-kata yang sudah tertata. Ayam-ayam hutan bahkan berani mengajak bercanda. Tidak lagi takut dia dijadikan santapanku berikutnya.
Tapi aku sedang gembira…
Bahkan ketika aku tertusuk duri tanaman berbisa, kita semua tertawa…
***
Tiba di Rawa Embik sekitar siang menuju sore, jam setengah 3. Kita buka tenda, membuat api, membakar sampah-sampah yang banyak ditinggalkan pendaki-pendaki sebelumnya. Lalu beristirahat.
Gege mencoba melihat alam sekitar sembari melihat jalur naik. Nasrul dan saya menikmati hangat di depan api.
Di dekat tenda, ada sarang burung anis yang dibuat terlalu rendah oleh sang induk, sehingga kita bisa dengan mudah menurunkannya jika ingin. Sang anak berkicau tanpa henti memanggil induknya. Kalau kita tidak mencintai alam, tentulah burung anis kecil tak berdaya itu sudah kita jadikan makan malam. Sang induk mencoba mencuri-curi kesempatan memberi makan anaknya, lalu kabur kembali melihat kita yang segera ingin memotretnya.
Karena obrolan dan curhatan kita bertiga sudah mulai habis, kita memutuskan untuk mengadakan lomba puisi!!! Malam itu, kita sibuk dengan kertas dan pena masing-masing, sambil ketawa-ketiwi mengerahkan seluruh kemampuan bahasa sastra kita; lalu terlelap lebih cepat.
***
Halo, Anis kecil. Tanyakan pada ibumu, apa dia tahu cerita tentang seorang gadis bernama Rengganis yang dulu pernah berjalan di pegunungan ini? Tolong katakan, Aku tidak mencari legenda tentang taman-nya yang tak kasat mata, atau laki-laki yang mati disesatkannya. Aku mencari kebenarannya.
Pohon-pohon tua ini seharusnya lebih tahu, tapi mereka terlalu sendu untuk menceritakannya. Sementara batu nisannya juga tak lebih bisu daripada pepohonan yang menangisinya.
Besok aku akan pergi mencarinya, gadis yang mencari damai hingga ke pedalaman rimba Argapura. Aku tidak akan bertemu dengannya, memang, tapi aku akan melihat dari matanya, merasakan desir angin yang dulu dirasakannya, menghirup udara yang sama, menjejak tanah yang sama, meresapi hakikatnya… hingga mungkin aku kan tahu; yakin; percaya…
Aku hanya ingin meyakini satu hal; bahwa dia berhasil menemukan apa yang dia cari. Dia sudah menaburkan remah-remah jejak hidupnya disini. Untuk apalagi selain untuk kita pahami, kita resapi, kita ikuti.
Kita, yang juga mencari damai-Nya.
Argopuro Hari ke 5 : Mereka yang Memuja Rengganis
Jam 4 pagi, kita bangun dan bersiap menuju puncak. 2 raka’at dilaksanakan setelah nyawa masing-masing kita terkumpul. Kita rapikan barang-barang di dalam tenda, lalu mulai berjalan. Tanpa Jack Wolfskin saya dipunggung, saya berjalan dengan ringan, serasa melayang.
Kita kesiangan rupanya. Disini, sun rise sudah dimulai sejak jam 5 pagi. Matahari mulai menyembul, menembuskan cahayanya melalui ranting-ranting pepohonan, tidak mau kiranya dia menunggu kita mencapai puncak dulu. Jadinya, headlamp pun tidak kita perlukan lagi.
Tiba kita di Savana lonceng; Perempatan yang kalau dilihat dari atas memang mirip seperti lonceng. Saya berjalan tanpa berpikir panjang, langsung mengambil jalur kiri, jalur yang paling jelas. Jalur ini ternyata membawa saya ke Puncak Rengganis, satu dari tiga puncak dataran tinggi Hyang selain Puncak Arca dan Puncak Argopuro sendiri.
Memasuki kompleks Puncak Rengganis seperti memasuki dunia yang berbeda. Tanah yang tadinya coklat, kini berganti putih. Pepohonan yang lebat digantikan oleh tanaman-tanaman perdu kecil berwarna merah. Mungkin ini memang taman-nya Dewi Rengganis.
Menyenangkan memikirkan bahwa dulu sekali, ada seorang wanita yang tinggal disini, menata bebatuan dan tetumbuhan, menikmati pesona timur dataran Jawa, serta lautan yang mengapitnya, dari ketinggian sambil menikmati teh manis panas.
Sayangnya, dulu belum ada kamera, sehingga tentu saja, Rengganis tak akan bisa mengabadikannya dengan cara kita. Tapi tetap saja, bayangan tentang seorang putri Majapahit yang memilih tinggal di pedalaman Argopuro sangat menggelitik. Sebenarnya, saya tidak tahu menahu kisah dirinya dan Kerajaan Majapahit, saya hanya menciptakan karakter dia dipikiran saya. Ya, saya kagum dengan karakter yang saya ciptakan sendiri, haha… sudah tentu, karakter wanita utama di cerita saya selanjutnya harus bernama Rengganis, dan ceritanya harus dimulai di sini, di Puncak Rengganis.
Cuaca sangat cerah. Di sebelah utara dan selatan, terbentang garis pantai Pulau Jawa. Terlihat ada pulau-pulau kecil di sebelah selatan. Mungkinkah itu Pulau Sempu? Saya tak pernah tahu.
Di sebelah timur, saya terheran dengan banyaknya pegunungan yang nampak. Padahal di Pulau Jawa, gunung besar yang ada di sebelah timur Argopuro hanya ada Gunung Raung. Mungkinkah gunung-gunung di belakangnya itu ada di Bali dan Lombok? Saya tak pernah tahu.
Lalu disanalah dia, makamnya yang sering dibicarakan. Makam yang mungkin sudah ada disana jauh sebelum saya lahir, jauh sebelum kata Indonesia bisa mengganti Nusantara.
Hanya dua kalimat yang bisa saya ucapkan pada undakan batu yang tertata rapi itu. Dua kalimat yang saya ucapkan dalam bahasa Jawa, dengan bantuan Gege.
“Salam, Selamat pagi, Rengganis”, lalu “Sampai jumpa lagi lain waktu.”
Semoga.
***
Puncak tertinggi dataran tinggi Hyang, Puncak Argopuro, sudah terlihat dari Puncak Rengganis ke sebelah Barat. Begitu juga Puncak Arca yang terletak tidak jauh dari Puncak Argopuro. Kita pun kembali ke savana lonceng untuk mendaki dua puncak tersebut.
Puncak Argopuro adalah sebuah luasan yang tertutup oleh vegetasi. Puncak Argopuro ditandai dengan tumpukan batu yang tertata rapi dan bendera Indonesia. Di sini kita duduk-duduk santai sambil makan coklat. So refreshing!!
Menuju Puncak Arca kita bisa melihat Danau Taman Hidup nampak begitu dekat di arah Barat. Dari kejauhan, nampak sebuah gunung dengan puncak yang berwarna putih; tidak mungkin saya tidak mengenalnya, dua kali sudah saya mendaki puncaknya. Mahameru yang terkenal.
Tiba di Puncak Arca, tentu kita bertemu dengan sebuah arca; dan bendera Indonesia lagi. Bagian kepala dan badan arca sudah rusak, sehingga saya tidak bisa mengenali lagi bentuk asal dari arca itu. Siang tidak akan menunggu, sehingga setelah beberapa foto, kita cepat kembali turun, kali ini melalui jalan yang curam menuju lembah di bawah Puncak Arca.
“Dari pengalaman saya beberapa kali naik gunung, puncak selalu bisa ngasih sesuatu...”, ucap saya di Cikasur dulu, ketika kita takut puncak Argopuro akan menjadi antiklimaks melihat begitu indahnya Cikasur.
Dan di sini, euforia mata memang sudah diserap Cikasur, sehingga kemegahan pemandangan puncak bisa kita nikmati dengan ketenangan, sehingga tenang pula kita resapi tasbih, tahmid, dan takbir.
***
Tidak lama kita bersiap turun menuju Cisentor. Ya, kita kembali ke Cisentor dan lebih memilih jalan memutar daripada jalan potong kompas yang belum kita ketahui kondisinya. Keputusan yang nanti kita sesali.
Tak lama kita sampai di Cisentor, kita bertemu dua bapak dengan daypack kecil dan clurit menggantung. Kita pun disapa dan menyapa dengan ramah.
“Bapak dari Baderan?”, tanya saya, keduanya mengiyakan.
“Dari Baderan jam berapa pak?”, tanya saya lagi.
“kita dari jam 6.” Jawab mereka. Kita pun terkejut.
“Kita dua hari aja baru nyampe Cikasur pak, hahaha…”, canda Gege. Entah si bapak-bapak ini lari atau gimana mereka bisa sampai di Cisentor hanya dalam waktu 6 jam.
“Ya, kalian kan bawaannya banyak berat-berat.”, kata si bapak. Memang sepertinya mereka tidak membawa apapun selain clurit, bahan bakar, pemantik, dan sarung untuk tidur. Kita pun lanjut beramah-tamah.
“Mau ke puncak pak?”
“Iya, mau ke makamnya Rengganis, mau berdoa, minta diberhasilkan.”
“Oo, gitu pak…”, kita tidak siap dengan jawaban tersebut, sehingga tidak bisa terlalu menanggapi.
Setelah kita selesai bertanya jalur dan sumber mata air, kedua bapak-bapak pun pamit. Bapak-bapak ini bilang kalau jalurnya sudah jelas, mata air banyak, dan tidak akan memakan waktu yang lama. Kita memutuskan percaya. Keputusan yang nanti kita sesali.
Saya memang menyukai, bahkan mungkin mencintai ide-ide tentang Rengganis, tapi hingga berdoa di makamnya, meminta ini itu, sepertinya terlalu berlebihan. Mungkin Tuhan mengirimkan 2 orang bapak tadi memang supaya saya tidak terlalu terobsesi pada Rengganis. Hmm…
“Cing tingali deui Rin, bisi ngapung.”, kata Gege bercanda. (“Coba liat lagi mereka Rin, jangan-jangan bisa terbang.”)
***
Siang itu, di Kali Putih, kita hanya mengisi botol-botol minum saja, karena berpikir nanti sepertinya juga bakal ada mata air. Keputusan yang nanti akan kita sesali.
Argopuro Hari ke 6: Badai
(diceritakan dari perspektif Gege)
Pagi itu, 7.30, air sudah habis. Kurasakan tubuh ini mulai berontak. Perut kosong ini menolak diisi. Kucoba berbaring se-nyaman mungkin dalam balutan kantung-tidurku di dalam tenda, tapi tubuhku malah memprotes lebih keras. Aku coba kerahkan semua tenagaku untuk mengabaikannya dan berfikir sesuatu yang lain; sesuatu yang lebih penting.
Fajrin belum kembali sejak jam 6 tadi pergi mencari jalur ke mata air. Pun juga Nasrul yang aku minta untuk mencari Fajrin dengan berbekal air teh setengah botol. Seperti biasa, otakku mencoba menganalisis terlebih dulu skenario terburuknya.
Setelah itu, aku tahu apa yang harus kulakukan.
***
Malam sebelumnya.
“Kalau sudah jam 7 dan belum juga ada tanda-tanda Danau, kita nge-camp di jalur. Air masih ada 2 botol setengah. Satu buat menghangatkan diri malam ini, bikin teh manis, sisanya buat besok.”, kataku malam itu.
Kondisi kami mulai memburuk. Kami sudah berjalan sejak pagi, tapi Danau yang kami cari belum juga menampakkan diri. Berkali-kali kami yakinkan diri bahwa Danau ada dibalik bukit yang kami daki, tapi berkali-kali juga kami hanya melihat bukit lain di balik bukit, dan kemudian bukit lain lagi di balik bukit tersebut. Selain itu, jalur yang dilalui sudah sangat rimbun tertutupi tanaman. Beberapa kali kita kehilangan jalur dan tersesat masuk ke jalur yang dibuat seseorang sebelumnya. Semakin sore, tubuh dan pikiran kami semakin kehilangan tenaga.
Di bagian timur Jawa Timur ini jam 5 sore sudah mulai gelap. Kami tiba di puncak sebuah bukit. Di depan kami terdapat sebuah lembah yang tertutup awan kabut sehingga kami tidak bisa melihat dasar lembah. Diri ingin sekali melihat ada Danau di dasar lembah, tapi awan ini seolah memang ingin menarik manusia untuk masuk ke dalamnya, dan tidak kembali.
Hampir Fajrin masuk ke semak belukar dan mencoba turun ke lembah tersebut, tiba-tiba terlihat setitik cahaya dari kejauhan di bawah lembah.
“Wah, ada yang nge-camp?”, tanyaku penasaran.
Sedikit-demi sedikit, kabut tersingkap. Titik cahaya tadi bertambah banyak, dan semakin banyak. Memperlihatkan cahaya sebuah kota di kaki gunung.
Lembah tadi ternyata jurang yang curam.
Setengah diri ini lega, karena kabut terbuka sebelum kita mencoba turun mencari; setengah lagi mengutuk, karena lembah ini juga bukan Danau yang kita cari. Terlebih di depan kita masih ada bukit lain yang sepertinya harus didaki.
Semakin malam, semakin lelah, semakin menurun juga kondisi tubuh kita. Nasrul dan Fajrin berkali-kali terpeleset dan tersandung. Fajrin sudah terlihat gontai, tongkat yang membantunya berjalan sudah patah.
Tepat jam 7 malam, kita tiba di sebuah bukaan. Hanya cukup untuk 1 tenda. Fajrin melemparkan tongkatnya yang sudah patah ke tanah dengan muak.
Sisa-sisa tenaga malam itu kami gunakan untuk mendirikan tenda. Pikiran kami kacau. Karena kesalah-pahaman, satu botol air melayang. Satu botol lagi kami gunakan untuk membuat teh manis hangat.
Teh manis yang biasanya nikmat, kini harus dicampur dengan rasa takut dan was-was akan esok hari. Memikirkan hal-hal seperti apakah kita berada pada jalur yang benar, berapa jauh lagi, dan tentu saja, cukupkah setengah botol yang tersisa.
***
Cahaya mulai menyingsing jam 5 pagi. Aku memaksakan diri keluar walau tubuhku benar-benar tak karuan.
Ada dua jalur terbuka dari tempat kita nge-camp. Ke belakang tenda dan sebuah turunan ke sebelah kiri tenda.
“Sepertinya turunan ini mengarah ke mata air.”, ujarku. Aku kembali ke dalam tenda. Kurasakan kondisi tubuhku memburuk. “Rul, sisa air dibikin teh manis lagi aja.”, pintaku pada Nasrul. Aku juga meminta maaf karena mungkin tubuhku membutuhkan istirahat sedikit lagi. Aku pun kembali ke dalam kantung tidur.
Fajrin terlihat sedang mengenakan sepatunya. Memakan beberapa butir sukro. Meminum air embun yang dia tampung di rain cover-nya semalam. Lalu pergi dengan pesan singkat,
“Saya coba lihat jalurnya yah.”
Satu jam kemudian, kembali aku meminta tolong kepada Nasrul. Kali ini untuk mencari Fajrin.
***
Setengah jam lagi, jika mereka berdua belum kembali…
Semakin aku diam, tubuhku semakin tidak enak rasanya. Aku coba duduk sembari bergerak ke depan ke belakang. Ku lihat masih ada gula. Ku ambil sedikit dengan tangan dan ku jilati. Kembali aku lihat persediaan makanan; masih ada 3 sachet Nutrisari. Aku buka satu, aku makan langsung tanpa air.
Beberapa menit kemudian kurasakan tubuhku mulai membaik. Tenagaku mulai kembali.
Aku kumpulkan beberapa alat untuk survival kit. Jika dalam beberapa menit mereka berdua belum kembali, akan ku tinggalkan semua barang lainnya, lalu ikut turun. Aku tenangkan diri sebelum memikirkan skenario terburuknya, agar aku tidak bertindak gegabah.
Gubrakk!!!
Tetiba Fajrin ada di depanku terkapar. Di tangannya ada dua botol besar air danau yang agak keruh.
“Bikin teh manis lagi dong, Ge…”, ujarnya lemah.
Yah, saat itu, mungkin seharusnya aku marah pada Fajrin yang sudah bertindak sendiri, tapi harus aku akui tak pernah aku segini bahagia dan lega melihat dia.
***
Danau Taman Hidup berjarak sekitar 1 jam perjalanan dari tempat kita mendirikan tenda. Tanpa membawa tas, Fajrin dan Nasrul bisa mencapai Danau lebih cepat. Jalur juga sudah sangat jelas dan menurun, tidak seterjal, serimbun, dan setidak-jelas perjalanan kemarin. Danau sudah terlihat dari hutan di tengah perjalanan, mungkin karena itulah Fajrin memutuskan untuk terus berjalan hingga mencapai Danau.
Mie goreng membuat kita kembali bertenaga. Siang itu, kita sudah berada di Danau Taman Hidup. Mencoba mengabadikan momen dengan digicam yang akan segera kehilangan tenaga listriknya.
Dari sini, kita bersiap pulang.
***
Kulihat Iva sedikit bergidik setelah aku selesai bercerita.
Di Kaki Argopuro
Jalur dari Bremi menuju Danau Taman Hidup akan dibuat yang baru, yang lebih landai namun berbelok-belok. Di beberapa tempat terlihat pohon-pohon besar yang ditebang untuk membuat jalan ini. Semak belukar juga baru ditebas, kemungkinan besar menggunakan mesin yang juga memotong pohon-pohon kayu. Tebasan-tebasan terlihat masih baru, pun juga jejak ban motor di tanah. Kami menuruni jalan baru itu setengah berlari. Sembari bergidik melihat betapa curam jalan yang lama. Jalan yang baru tentu akan jadi lebih jauh, namun tidak securam jalan yang lama.
Seiring perjalanan turun kami, hutan tropis yang lebat kini berganti menjadi hutan homogen. Saya kembali bertemu anak-anak lokal yang tadi menolong saya di Danau Taman Hidup. Dengan ramah, mereka bertanya tentang kondisi kami.
Yeah, we’re good… never better…
***
Anak-anak berenang di kolam bendungan buatan warga. Bendungan yang selalu menolong warga dari kekeringan di musim panas. Sementara kami bertiga lebih memilih menyingkir untuk mandi di sungai yang agak tertutup belukar.
Lama sekali saya menikmati aliran air.
Kita telah kembali ke peradaban manusia. Setelah seminggu menyelami kehidupan rimba Argopuro yang tenang… Ketenangan itulah yang saya harap bisa selalu saya ingat, untuk saya kenang di masa-masa sulit di hari kemudian.
Catatan Pendakian Argopuro, 5-12 Mei 2014
Fajrin Yusuf Muttaqin,
Garut, 16 Mei 2014
SUKA DENGAN TULISAN SAYA?
Kalau suka, kalian bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂
ahmad raharja
January 2, 2019 at 11:11 pmSerasa baca novel kang..
kangfajrin
January 3, 2019 at 3:16 amlatihan bikin novel lah ini, wkwkwk…