Privatisasi Taman Wisata Alam, Siapa Untung?

Privatisasi Taman Wisata Alam, Siapa Untung?

Privatisasi Taman Wisata Alam, Siapa Untung?
Studi Kasus Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Papandayan

Talagabodas pun akan jatuh ke tangan swasta. Lalu pribumi, sekali lagi, tersingkir…

Begitu kata seorang teman saya ketika terdengar kabar bahwa Talagabodas pun akan terkena privatisasi kawasan konservasi. Kecemasan teman saya bertambah ketika melihat selembar surat edaran tentang sosialisasi kegiatan pengusahaan wisata alam TWA Talagabodas pada pertengahan Maret kemarin. Mungkin memang wajar, teman saya, seorang pribumi asal Wanaraja, merasa resah atas kedatangan orang asing yang seolah akan menginvasi. Seresah Iwan Fals dalam lagunya “Ujung Aspal Pondok Gede”, hehehe…

View post on imgur.com

Bukan yang pertama kalinya keresahan seperti ini timbul, khususnya di Garut. Sebelum Talagabodas, terlebih dahulu ada hiruk pikuk alih kelola TWA Gunung Papandayan kepada PT Asri Indah Lestari (AIL), yang hingga kini sepertinya terkesan menyisihkan warga lokal. Tapi, betulkah warga lokal tersisihkan? Hingga kini, sejauh pengetahuan saya, belum ada yang membuat analisis saintifiknya untuk keperluan publik.

Padahal isu privatisasi kawasan konservasi ini bukan isu yang baru, dan bukan isu Garut saja. Taman-taman Nasional besar, seperti TN Bromo Tengger Semeru, TN Komodo, dan TN Bukit Barisan Selatan pun juga terkena isu ini.

Dulu, saya sempat ikut rapat satu meja dengan Pak Putra Kaban, empunya PT AIL, ketika beliau baru melayangkan ketertarikannya untuk mengelola TWA Papandayan. Saya tidak cukup pintar untuk memprediksi apa yang akan terjadi, sehingga saya juga tidak menentukan sikap; belum. Saya memilih menyebarkan info-nya terlebih dahulu ke teman-teman di media sosial dan melihat respon mereka. Ternyata respon mereka kebanyakan, “ya bagus, asal…

Sebuah respon yang intuitif. Respon saya dulu juga begitu, walaupun saya kurang suka. Yang saya inginkan adalah respon yang saintifik. Setuju karena data, tidak setuju karena data.

Lalu ketika isu privatisasi Talagabodas datang, saya pun tidak bisa memberikan respon yang saintifik. Yang bisa saya keluarkan cuma argumen, “lihat Papandayan juga jadi begitu, sekarang apakah Talagabodas harus mengalami nasib yang sama?

Sebuah respon yang, sekali lagi, intuitif. “Begitu” itu seperti apa? “Nasib papandayan” itu seperti apa? Apakah kondisi Papandayan benar-benar jadi jelek setelah alih kelola? Oh, PT AIL bisa menyanggahnya. Kini Papandayan jadi tertata, infrastruktur pendukung wisatawan dibangun, jalan jadi bagus, dan sebagainya dan sebagainya.

View post on imgur.com

Sejauh saya mencari informasi, tidak ada satu sumber pun yang menganalisis hal ini secara saintifik. Pun jika pemerintah melakukan analisis ini, mereka tidak bisa atau tidak mampu menyampaikannya kepada publik. Nah, melalui artikel ini, saya ingin mengawali diskusi ini dengan sebuah data sederhana yang saya dapat dari seorang porter Papandayan langganan saya. Beliau juga memiliki sebuah warung di Gober Hut.

Beliau bilang, “dulu kalau lagi rame, seminggu bisa nyampe 8ribu orang yang naik, sekarang libur panjang aja paling banyak ada 500 orang.

Yah, data ini bisa jadi tidak valid. Saya juga mengerti tentang Garbage in Garbage Out, sehingga analisis saya di bawah ini juga bisa jadi tidak valid. Saya hanya mencoba memulai. Semoga nanti ada seorang diantara kalian yang benar-benar melakukan analisis ini; analisis di tahap mikro, bukan makro.

Well, here it is,

  1. Bagi Wisatawan

Infrastruktur yang lebih bagus tentu membuat wisatawan menjadi lebih nyaman. Area parkir yang lebih luas, jalan yang sudah coba diperbaiki, toilet-toilet baru di sepanjang perjalanan, menara pandang baru untuk melihat sunrise, anak-anak tangga untuk mengganti trek curam berbatu, shelter-shelter untuk istirahat, serta patroli keamanan untuk menjamin keselamatan wisatawan, adalah hal-hal baru di Papandayan yang tidak ada sebelum privatisasi Taman Wisata Alam ini dilakukan. Hal-hal ini memang sangat membantu wisatawan, namun di sisi lain, pembangunan ini membutuhkan investasi yang besar (yang selama ini tidak pernah bisa dianggarkan pemerintah; shame).

Sehingga akibatnya, di hari pertama alih kelola ini harga tiket masuk pun meningkat. Wisatawan kini harus merogoh kocek lebih dalam untuk menikmati keindahan Papandayan. Untuk tiket masuk, dari yang tadinya Rp12.500,- kini naik menjadi Rp30.000,- per orangnya (untuk WNI di hari libur). Kemahalan? Buat saya sih kemahalan, tapi tidak apalah, toh Papandayan itu memang indah, 30 ribu itu worth it lah.

Sayangnya, PT AIL menambah biaya masuk untuk pendaki yang bermaksud camping; dan biayanya lebih mahal lagi, Rp35.000,- per orang. Sehingga pendaki harus membayar Rp65.000,- per orangnya. Sejauh ini, sepertinya ini harga tiket camping termahal se-Indonesia. Bandingkan dengan Rinjani, gunung tercantik di Indonesia, yang harga tiketnya hanya 20-25ribu saja (5ribu per hari untuk 4 sampai 5 hari pendakian). Belum lagi wisatawan Papandayan juga dipusingkan dengan biaya masuk kendaraan yang ternyata berbeda dengan biaya parkir kendaraan, sehingga wisatawan harus membayar dua kali untuk setiap kendaraan mereka.

View post on imgur.com

Saya yakin, dulu, lebih dari 90% pengunjung Papandayan adalah pendaki yang ingin menghabiskan malam di sekitar Pondok Saladah. Kini bisa jadi proporsi-nya masih tetap demikian, hanya saja jumlah wisatawannya yang menyusut tajam. Seperti kata wa porter, dari 8ribu pendaki, jadi cuma 500 saja.

Bagi wisatawan yang tidak keberatan dengan kenaikan harga tiket, bisa jadi alih kelola ini menguntungkan. Sedangkan bagi wisatawan dengan budget wisata yang kecil -kelompok mayoritas- kenaikan harga tiket ini dengan serta merta menghapus Papandayan dari opsi destinasi yang akan dikunjungi.

  1. Bagi Pemerintah

Salah satu keuntungan terbesar yang dimiliki pemerintah adalah “lepasnya tanggung jawab” untuk mengelola kawasan TWA. Pemerintah, dalam hal ini Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) yang membawahi TWA tidak lagi harus turun ke level operasional untuk mengelola Papandayan.

Alasan klasik ke-terbengkalai-an Papandayan dulu adalah kurangnya anggaran dan kurangnya personil. Menurut saya, BKSDA juga kurang memiliki pemahaman untuk mengelola tempat wisata karena fokus mereka adalah konservasi, bukan pariwisata. Saya yakin, alasan-alasan ini juga bisa dilihat di TWA lain di seluruh Indonesia. Dengan Privatisasi Taman Wisata Alam, pemerintah terbebas dari kesulitan ini. Istilah kasarnya, “mereka tinggal duduk manis dan nunggu duit datang.”

Sayangnya, salah satu yang mungkin tidak terprediksi, adalah penerimaan duit ini akan turun seiring dengan turunnya jumlah wisatawan. Dari harga tiket yang 30ribu (atau 65ribu) itu ada PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) sebesar Rp12.500,-. Bila angka ini dikali 8000 wisatawan, maka negara bisa menghasilkan 100 juta setiap minggunya dari Papandayan. Bandingkan dengan sekarang, jika dikali 500 wisatawan, maka penerimaan negara cuma 6,25 juta saja per minggunya. Teman saya saja ada yang gajinya lebih tinggi dari itu.

Apakah penurunan ini setimpal? Pemerintah mungkin bisa mengelak, karena sekarang alih kelola ini baru satu tahun saja, sedangkan alih kelola ini katanya berdurasi hingga 55 tahun (sumber baru dari departemen percenahan, belum tervalidasi).

Walaupun demikian, idealnya pilihan pemerintah bukan pada pertimbangan mudah tidaknya pengelolaan atau besar kecilnya penerimaan; tapi lebih pada pilihan yang terbaik bagi rakyat. Apakah pilihan privatisasi Taman Wisata Alam ini memang solusi terbaik bagi rakyat? Hmm, saya meragukannya.

  1. Bagi Masyarakat Sekitar

Bagi masyarakat sekitar Papandayan yang menggantungkan hidupnya dari para wisatawan/pendaki, jelas menyusutnya pendaki adalah kehilangan yang luar biasa besar. Dari yang awalnya 8000 pendaki seminggu, jadi cuma 500 orang saja, atau setara dengan kehilangan 94,75% dari pasar. Kita lihat besarnya dalam angka.

  • Penyedia Jasa Transportasi

Ada dua jasa transportasi yang kehilangan ribuan penumpang. Yaitu angkutan Cikajang yang biasa mengantar pendaki dari Terminal Guntur ke Cisurupan, dan mobil pick up yang mengantar pendaki dari Cisurupan hingga area pos parkiran Camp David, Gunung Papandayan. Dua jasa transportasi ini biasanya mematok harga 25ribu per orang.

Potensi kehilangan penerimaan yang mereka alami lebih besar dari pemerintah yang mematok harga Rp12.500,- per wisatawan. Potensi kehilangannya dua kali lipat. Dulu ada market sebesar 400 juta (2 x 25.000 x 8.000) bagi para penyedia jasa transportasi ini setiap minggunya. Dan sekarang market ini tinggal tersisa 6,25% nya atau sekitar 24 juta saja. Jika ada 100 saja penyedia jasa angkot dan pick up ini, maka dari pasar ini tadinya mereka bisa memperoleh 4juta per minggu; kini mereka cuma dapat 240ribu saja per minggunya.

Kalaulah korporasi-korporasi besar di ibu kota sana tetiba kehilangan 94,75% pasarnya, saya yakin korporasi itu bakal ambruk seketika. Tapi yah, angkot Cikajang tetap beroperasi, dan pick up kini lebih sering memuat sayur daripada pendaki. Belum jadi orang kalau belum coba tantangan financial survival…

  • Penyedia Jasa Tour Guide dan Porter

Saya kadang nyambi juga jadi Tour Guide buat hiking ke Papandayan, terutama kalau lagi bener-bener butuh duit, hehe… Sejak alih kelola di hari lebaran tahun lalu, saya hanya nganter naik Papandayan cuma 2 kali. Bukan karena lagi ga butuh duit, tapi karena emang  ga ada yang mau bayar jasa tour guide sementara buat bayar tiket masuknya aja mereka mesti mikir ulang berkali-kali.

Sebelum alih kelola, biasanya saya dapat 1 sampai 2 juta per bulan dari nganter ke Papandayan. Kadang saya dapet segitu bahkan ngga nganter sama sekali (hanya nge-arrange). Sekarang, punya satu klien saja udah kayak keajaiban.

Tapi jangan khawatir dengan saya si bujang kelas menengah ngehe yang tak punya banyak beban; beruntung saya masih punya bisnis lain yang berjalan. Coba pikirkan si uwa porter yang saya wawancarai atau guide-guide lokal lain di Papandayan. Dulu, mereka mungkin bisa bertahan dengan bergantung pada sebagian kecil dari 8000 wisatawan. Kini, mereka mesti bertahan dengan kembali jadi porter angkut sayur.

  • Pedagang

Salah satu yang terkena imbas paling besar adalah pedagang yang biasa jualan di dalam area Taman Wisata Alam. Sekarang para pedagang Gunung Papandayan jadi lesu. Seorang pedagang dengan senyum pahitnya bilang bahwa, “ayeuna mah kenging saratus ge tos ageung.” (sekarang mah dapet seratus ribu -di akhir pekan- itu udah gede).

Dulu, di hari kerja, masih ada satu dua pedagang yang bertahan. Sekarang, di akhir pekan saja para pedagang terlihat lesu. Jumlah wisatawan ketika sepi dulu sebelum alih kelola, masih tetap lebih ramai dibandingkan dengan jumlah wisatawan peak season sekarang ini.

Yang membuatnya semakin menyedihkan adalah perjuangan para pedagang ini. Mereka mengeluarkan modal uang, tenaga, dan waktu yang tidak sedikit.

  • Penduduk Lain di Kaki Gunung

Dulu, setiap akhir pekan, Terminal Guntur dan Cisurupan selalu ramai dihiasi pemuda pemudi berkantong tinggi. Mereka makan di warung nasi, beli logistik ke pasar, beli emblem dan pernak-pernik; walaupun duit mereka ngga seberapa banyak, tapi jumlah mereka memang sangat banyak. Kini riuh rendah itu tak ada lagi.

Setelah melalui konflik dan konfrontasi, ada kebijakan pengelola yang menggratiskan pengunjung yang memiliki KTP Cisurupan. Apakah itu cukup bagi penduduk kaki gunung ini? Jika dibandingkan dengan potensi kehilangan yang sudah diuraikan di atas, saya pikir tidak.

Bicara tentang kebijakan yang memihak rakyat, dari sisi ini sepertinya malah menyengsarakan yah.

View post on imgur.com

  1. Bagi Pihak Swasta/Pengelola

Untuk mengetahui perspektif pengelola, mari lihat dari seberapa prospektif bisnis ini dan seberapa menguntungkannya bisnis ini dengan 500 pendaki setiap minggunya. Saya akan pakai banyak sekali asumsi, karena saya tidak punya akses ke laporan keuangan si pengelola Papandayan.

Setelah dikurangi penerimaan negara, maka pendaki membayar Rp52.500,- per orang kepada perusahaan. Sehingga omzet perusahaan rata-rata 26,25 juta per minggu, atau sekitar 105 juta per bulan. Hampir tidak ada biaya produksi rutin, karena atraksi sudah disediakan dengan gratis oleh alam. Jadi jika setengahnya digunakan untuk operasional, bayar gaji pegawai, perawatan gedung, dan lain sebagainya, maka katakanlah perusahaan untung 50juta per bulan.

Lalu katakanlah perusahaan harus investasi sangat besar untuk membangun infrastruktur. 5 milyar, sepertinya cukup untuk bangun ini itu. Dengan demikian, investasi ini akan balik modal di tahun ke-8. Sepertinya proyeksi ini tidak terlalu baik. Perusahaan mau tidak mau harus meningkatkan jumlah wisatawan agar investasi ini balik modal dengan lebih cepat.

Tapi kalaupun tidak balik modal dengan cepat, perusahaan bisa lebih tenang dengan memperpanjang kontrak kerja alih kelola ini. Menurut departemen percenahan yang belum diketahui keabsahannya, katanya kontrak pemerintah dengan PT AIL ini sepanjang 55 tahun. Menurut saya wajar, karena bisnis ini penuh resiko.

Jadi, bahkan jika balik modal telat di tahun ke sepuluh, perusahaan masih bisa mendulang untung di 45 tahun berikutnya (given Papandayan tidak meletus). Ditambah dengan peningkatan wisatawan, juga dengan keahlian perusahaan yang sebelumnya telah menggarap Gunung Tangkuban Perahu, sepertinya ini bisa jadi bisnis menggiurkan dan daya tawar yang tinggi untuk investor perusahaan.

Jika saya jadi investor yang tak terlalu mengerti industri wisata alam, kemungkinan besar saya pun akan tertarik dengan bisnis ini. Toh Papandayan tidak tiap tahun meletus kan? Terakhir meletus tahun 2002, dan udah 15 tahun tidak meletus.

Dari sisi pengelola, privatisasi Taman Wisata Alam ini tentu menguntungkan; harus menguntungkan. Jika tidak, ya mana mau mereka mengelola Papandayan?!

  1. Bagi Alam Papandayan Sendiri

Salah satu stakeholder yang jarang didengar keluhannya adalah alam sendiri yang menyediakan semua keindahannya untuk dinikmati. Bagaimana pendapat Papandayan sendiri dengan alih kelola ini?

Bisa jadi Papandayan bahagia, karena ribuan orang yang memadatinya, kini tinggal sedikit saja. Bisa jadi Papandayan menderita, karena berdirinya bangunan-bangunan permanen di atas tanahnya. Bisa jadi Papandayan bahagia, karena kini tak ada lagi yang memotongi dahan-dahan suagi untuk dijadikan kayu bakar. Bisa jadi Papandayan menderita, karena masyarakat yang dulu jualan kini kembali membuka hutan untuk dijadikan kebun sayur.

Sayangnya, saya bukan environmentalis yang punya data, juga bukan seorang pecinta alam yang bisa buka suara. Yang saya ingin kedepankan adalah, kita, manusia, disini untuk mengelola alam, bukan untuk mengeksploitasi sepenuhnya demi kepentingan kita.

Don’t let Mother Nature expose her rage, just because of our ignorance. Her rage is God’s rage, and you must be very very afraid of it.

Ingat ketika letusan Galunggung memusnahkan ladang tembakau kakek saya dulu, atau ketika Cimanuk menyapu rumah di sekitar alirannya beberapa bulan kemarin, atau ketika api yang entah darimana asalnya membakar mati ratusan hektar bunga endemik yang katanya abadi, Edelweiss, di Tegal Alun Papandayan, dua tahun lalu.

View post on imgur.com

***

Wah, mungkin ini artikel terpanjang yang pernah saya buat. Kalau kalian masih bertahan membaca sampai sini, saya salut banget deh, Haha…

Kesimpulannya, pertama, studi ini bukan betul-betul studi, cuma analisis dari data seadanya. Maksud dari studi ini adalah sebagai bahan diskusi, dan pemantik bagi orang-orang yang lebih akademik dan saintifik dari saya untuk melakukan penelitian yang lebih komprehensif tentang hal ini.

Kedua, privatisasi Taman Wisata Alam awalnya memang terlihat seperti win win solution bagi pemerintah dan pengelola, tapi tidak serta merta. Dalam kasus Papandayan, setidaknya dalam studi semena-mena ini, alih kelola lebih banyak menyengsarakan masyarakat sekitar daripada jadi solusi. Diperlukan komunikasi yang lebih transparan dan kerjasama yang solid antara pengelola dan warga sekitar yang menggantungkan hidup di Papandayan. Toh, kedua pihak punya keinginan yang relatif sama; ingin banyak wisatawan yang datang mengunjungi Papandayan.

Ketiga, semoga kasus privatisasi Taman Wisata Alam Papandayan ini bisa jadi pembelajaran berharga bagi pemerintah dalam melakukan hal serupa di TWA lain, seperti di Talagabodas. Jadi jika kalian punya teman yang kerja di Kementrian Kehutanan, BKSDA, Perhutani, atau institusi semacamnya yang mendorong privatisasi, tolong diingatkan untuk diperdalam lagi kajiannya. Jangan sampai malah menghilangkan pencaharian dan akhirnya menyengsarakan. Memang, Papandayan dan Talagabodas memiliki karakteristik yang berbeda, tapi justru karena itulah kajian kalian harus lebih mendalam.

Saya memang memiliki pesimisme yang luar biasa tinggi terhadap pemerintah, tapi mau gimana lagi, pemerintah lah yang punya kuasa dan resource paling banyak. Kalau kuasa dan resource ini tidak digunakan dijalan yang benar, dan di jalan yang tepat, nanti kita bisa tersesat. Cukuplah kebutaan kita pada cinta yang membuat kita tersesat.

Fajrin Yusuf Muttaqin,
Garut, 9 April 2017

Privatisasi Taman Wisata Alam, Privatisasi Taman Wisata Alam, Privatisasi Taman Wisata Alam, Privatisasi Taman Wisata Alam

*******


Suka dengan tulisan saya?

Kalau suka, kalian bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂

Share

Published byFajrin Yusuf

AsGar, Social Entrepreneur, Hiker, Writing to Kill Time

No Comments

Post a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Share