Refleksi,
Fajrin Yusuf M. 2017
Dulu, Mahatma Gandhi pernah didatangi oleh seorang Ibu beserta anaknya yang masih kecil. Sang Ibu hendak meminta Gandhi untuk menasehati anaknya yang terlalu sering makan permen. Diperlihatkan oleh sang Ibu rusaknya gigi anaknya akibat dari permen-permen tersebut. Gandhi pun sedikit merenung, melihat deretan gigi sang anak yang sudah rusak.
Setelah renungan tersebut, Gandhi meminta sang Ibu dan anaknya untuk datang kepadanya tiga hari lagi. Dengan kharisma yang dimiliki Gandhi, sang Ibu pun menyetujuinya tanpa banyak tanya. Tiga hari kemudian, kembalilah sang Ibu dan anaknya ke hadapan Gandhi. Lalu, si anak diberi nasihat-nasihat oleh Gandhi di depan sang Ibu. Lagi-lagi, dengan kharisma yang dimiliki Gandhi, tidak butuh waktu lama, si anak pun setuju untuk tidak lagi makan permen.
Sang ibu agak heran dan bertanya, “Nasehat-nasehat tadi bisa anda berikan tiga hari yang lalu, mengapa kami kemudian harus menunggu tiga hari?”
Sembari tersenyum, Gandhi menjawab, “Maaf bu, tapi tiga hari yang lalu, saya masih makan permen.”
***
Saya dapat cerita itu dari pak Dadang Trisasongko, Sekjen Transparency International Indonesia (TII), di sebuah forum diskusi. Seketika itu pula cerita itu meresap di benak saya. Bahwa tidak fair jika saya menyuruh orang lain berhenti melakukan sesuatu yang tidak baik, sementara saya sendiri masih melakukannya.
Dari sana beliau juga bilang bahwa mungkin korupsi di negara ini sulit ditumpas karena kita sendiri juga masih melakukannya. Kita masih berkompromi dalam korupsi, seperti jika kita membuat dokumen kependudukan dengan jalur cepat, memberi hadiah ke wali kelas supaya diluluskan, memperoleh surat izin mengemudi tanpa ujian, dan hal-hal semacam itu.
Jadi mungkin memang tidak fair jika kita mengutuk pejabat yang melakukan korupsi, tapi kita juga masih berkompromi atau juga malah melakukan korupsi.
Begitu pula dengan cerita para personil band Efek Rumah Kaca yang berkomitmen untuk tidak nonton tayangan porno sebelum merilis lagu mereka “Kenakalan Remaja di Era Informatika”. Tidak fair jika mereka ingin menanamkan nilai kedewasaan pada para pendengar lagunya, tapi para personil band-nya juga masih tidak dewasa.
Dari sana, saya hampir tidak pernah lagi mengajak pada kebaikan dan melarang pada keburukan. Pertama tentu karena saya pribadi juga belum merasa jadi orang yang betul-betul baik, kedua karena kadang baik dan buruk itu abu-abu, tergantung perspektif.
***
Suatu waktu, saya melihat seorang ayah yang melarang anaknya untuk merokok, padahal si ayah sendiri merupakan seorang perokok. Saya agak jengkel, jadi saya mengeluh saja, “ya bapaknya aja merokok, anaknya mah tinggal niruin bapaknya.”
Ibu saya dengan tenang mengingatkan saya, bahwa jika ayahnya tidak boleh melarang si anak dari keburukan, siapa lagi yang akan melakukannya? Dan ya, itu pernah dikatakan seseorang bernama Sa’id bin Jubair. beliau berkata, “Jika tidak boleh melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, kecuali orang yang sempurna niscaya tidak ada satupun orang yang boleh melakukannya”. Ucapan ini dinilai oleh Imam Malik sebagai ucapan yang sangat tepat. (Tafsir Qurthubi, 1/410).
Hasan Al-Bashri, seorang cendekiawan muslim di masa kekhalifahan Bani Ummayah, juga pernah berkata, “Wahai sekalian manusia sungguh aku akan memberikan nasihat kepada kalian padahal aku bukanlah orang yang paling shalih dan yang paling baik di antara kalian. Sungguh aku memiliki banyak maksiat dan tidak mampu mengontrol dan mengekang diriku supaya selalu taat kepada Allah. Andai seorang mukmin tidak boleh memberikan nasihat kepada saudaranya kecuali setelah mampu mengontrol dirinya niscaya hilanglah para pemberi nasihat dan minimlah orang-orang yang mau mengingatkan.” (Tafsir Qurthubi, 1/410).
Begitulah, jadi kalau kalian punya tenaga dan nyali untuk mengajak dan menegur, lakukanlah, bahkan jika diri kalian masih sulit untuk memenuhi ajakan atau teguran itu. Selama diniatkan murni untuk kebaikan, Insya Allah jadi nilai kebaikan untuk bekal di akhirat nanti. Tapi jangan lupa, meningkatkan kualitas diri dan melakukan refleksi itu penting. 🙂
Wallahu’alam.
Sumber: http://muslim.or.id/24617-haruskah-menjadi-sempurna-untuk-bisa-menasehati.html
Refleksi,
Fajrin Yusuf M. 2017
*******
Suka dengan tulisan saya?
Kalau suka, kalian bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂
No Comments