Naik gunung dulu seringkali disertai urgensi untuk menyingkir dari keriuhan manusia; mencari tempat sejati diantara pepohonan; mendekat ke langit tanpa meninggalkan bumi; membekukan cinta akan kehangatan dunia; dan hal-hal melankolis semacam itu.
“Nyatanya sekarang naik gunung sudah jadi lifestyle saja; kegiatan turistik biasa.”, begitu kata seorang teman saya.
Hmm, mungkin saja sih. Toh, semakin tua, sepertinya kadar kelabilan emosi kita semakin menurun. Semakin banyak pengalaman pahit, kita pun semakin dewasa, semakin stabil. Mungkin begitu. Semakin dewasa, kita semakin malas untuk “mencabut Semeru hingga ke akarnya”. Yah, lagipula untuk apa?
Semakin dewasa, hidup kita sendiri sepertinya sudah mengakar. Jangankan mencabut Semeru dari akarnya, mencabut akar hidup kita pun sulit. Begitupula dengan naik gunung. Kegiatan yang dulunya hanya berlandaskan kelabilan emosi, kini sepertinya sudah mengakar saja bagi saya…
***
Catatan Pendakian Rinjani. 20-24 Agustus 2016. Fajrin, Gege, Nasrul.
Hari Pertama: Jakarta – Sembalun
Penerbangan dari Jakarta ke Lombok ternyata hanya dua jam saja. Saya hanya tidur saja sepanjang penerbangan. Agak takut sebenarnya, pikiran bahwa saya sedang melayang di angkasa, dan bisa jatuh kapan saja. Yah, saya memang orang udik yang jarang naik pesawat terbang, jadi wajar saja. Harga tiket waktu itu sekitar 700ribu untuk sekali perjalanan. Dibayarin Schlumberger, melalui kekuatan pertemanan. Kalau tidak, tentu saya saat itu sedang tidur di kereta, dengan lama perjalanan mungkin hingga 48 jam.
Bandara Internasional Lombok punya desain interior yang cukup instagrammable buat wisatawan. Setelah berfoto sebentar, Gege menelpon supir rental mobil kepercayaannya yang ternyata berasal dari Garut, tapi ternyata sang supir justru sedang berada di Garut. Jadi kita terpaksa mencari rental mobil lain. Rental mobil tidak sulit dicari, mereka sudah nangkring-nangkring di depan Bandara, seperti calo pick up di Terminal Guntur kalau mau naik ke Cikuray. Setelah tawar menawar, disetujui, 500ribu sampai Sembalun.
Sisi positif, interior mobil Avanza ini bertema Manchester United. Sisi negatif, si supir terus-terusan nyetel musik dangdut, sampai-sampai Nasrul terpaksa harus mengintervensi. Dengan berat hati, si mamang harus ikut mendengarkan lagu-lagu indie anti-mainstream.
Di pasar Aikmel, kita berhenti dulu untuk membeli logistik pendakian. Yah, walaupun kita menggunakan transportasi yang terbilang mewah untuk standar pendaki, kita tetap tidak ingin manja. Selagi muda, kita atur rencana perjalanan sendiri, beli logistik sendiri, ga pake porter alias jadi kuli angkut sendiri, dan bayar pake uang sendiri, plus donasi dari Schlumberger.
Nasrul beli paket sayur sop seharga 2ribu per bungkus. “What kind of sorcery is this?”, pikir saya. Apa harga sayuran di sini emang sebegini murahnya?? Entahlah, yang pasti, kita beli banyak sekali paket sayur sop untuk bekal pendakian kita.
Di pertengahan jalan, kita juga beli makan siang di suatu rumah makan. Sayangnya, makanannya kurang enak, yang berujung pada generalisasi berbahaya, bahwa makanan di Rumah Makan Sunda lebih enak dari pada Rumah Makan Lombok. Padahal belum tentu seperti itu; mungkin saja saya hanya salah memilih rumah makan. Tapi begitulah, generalisasi itu mudah dilakukan, seperti kita meng-generalisasi orang-orang dari berbagai ras, si Sunda matre, si Batak pemarah, si Cina gak berprikemanusiaan, dan semacamnya. Hati-hati guys kalau mau generalisasi…
Berangkat dari Jakarta pagi, kita sudah sampai di Sembalun jam 1 siang. Kita janjian dengan si mamang supir nanti di Senaru, di sisi lain gunung Rinjani. Lalu melakukan ritual administratif, membayar tiket, yang lebih murah dari harga tiket Papandayan, sembahyang, lalu packing terakhir sebelum pendakian.
Ternyata jarak pos pendaftaran di Sembalun ke pintu TN Rinjani cukup jauh dan melalui trek terbuka yang panasnya cukup menyengat. Beruntung kita bertiga bertemu sebuah grup yang bisa diajak sharing cost Pick Up, sehingga tidak perlu berjalan dari Sembalun hingga pintu Taman Nasional. Lalu pendakian pun dimulai sekitar jam 3 sore.
Melewati padang rumput berbukit-bukit yang indah. Saya mengangkut Fjällräven punya gege, dan gege mengangkut Jack Wolfskin punya saya. Kita tidak terlalu banyak bicara. Kadang malah terpisah jauh. Sudah tidak terlalu banyak obrolan pendakian yang bisa kita bicarakan. Jadi kita lebih banyak melewati padang rumput yang indah ini dalam kesunyian khas alam.
Di pos pertama, kita masak mie untuk menambah tenaga. Lalu terlena dengan suasana alam yang damai. Gege mengusulkan agar kita berkemah di pos 2 saja, karena di pos 2 ada sumber air. Alasan itu tidak bisa didebat, jadi walaupun sudah menjelang malam, kita lanjutkan perjalanan hingga pos 2.
Kita tiba di pos 2 ketika hari sudah gelap, tapi ternyata banyak pendaki yang membuka tenda di pos 2, sehingga kita harus membuka tenda di tempat yang anti-mainstream.. Malam itu suasana pos 2 cukup ramai, tapi kita terlalu lelah, jadi kita pun pulas terlelap.
Hari kedua: Bukit Penyesalan dan Plawangan Sembalun.
Pagi hari menerbitkan sunrise yang cantik. Puncak Rinjani sudah terlihat. Begitu dekat, namun begitu jauh. Gege sudah berteman dengan seorang porter dari grup lain dan mengikutinya untuk mengambil air ke sumber air. Di musim panas, ternyata sumber air ini hanya berupa tetes-tetes air yang menurut gege, kurang begitu bersih. Tapi karena butuh, akhirnya kita ambil juga.
Tidak banyak yang kita lakukan pagi itu, selain mengamati monyet-monyet abu mencoba memakan sisa-sisa sampah pendaki. Yep, Rinjani memang indah, tapi sampahnya sangat mengganggu. Jadi pagi itu, kita hanya foto-foto sunrise, sarapan pagi, lalu bersiap naik. Kita juga serius pemanasan dulu, karena kita akan mendaki Bukit Penyesalan, yang dari namanya saja sudah bisa mematahkan semangat.
Yah, Bukit Penyesalan memang cukup menguras tenaga, ditambah trek terbuka yang meneruskan cahaya matahari langsung ke ubun-ubun. Tapi ternyata tubuh saya sudah cukup siap. Lari-lari sore rutin di Garut cukup berhasil meningkatkan stamina. Bukit Penyesalan tidak terlalu buruk… Setidaknya tidak seburuk trek Argopuro ke Danau Taman Hidup yang menyesatkan.
Di trek pendakian masih ada warga lokal yang berjualan. Nasrul tidak bisa menahan keinginan untuk membeli satu kantung Strawberry, diikuti oleh Gege yang juga membeli satu kantung. Saya menikmati strawberry gratis dengan senang hati. Pada akhirnya, Bukit Penyesalan ini justru membuat saya ceria.
Terlebih ketika tiba di Plawangan Sembalun, dan mendapati pemandangan alam yang luar biasa indahnya. Kita tiba di Plawangan Sembalun sekitar jam 5 sore dan matahari sedang berada di ketinggian yang tepat untuk membuat suasana alam ini jadi sangat indah. Lalu tentu saja, foto-foto. Semakin sore, Plawangan Sembalun ini semakin disesaki pendaki, yang mayoritas bule. Yah, orang lokal tentu sudah mendaki gunung ini seminggu sebelumnya untuk melakukan ritual 17 Agustusan. Jadi ga terlalu banyak orang lokal.
Di Plawangan Sembalun, kita membuka tenda dekat porter yang sudah kita kenali. Nantinya si porter ini akan membantu menjaga tenda selama kita pergi ke puncak dan mengambilkan air, dengan upah tanpa perjanjian sebelumnya, sebesar 50ribu. Worth every cent of it!
Di malam hari, panggilan alam sudah mulai mendesak. Berbekal sebilah pisau untuk menggali, saya pun pergi keluar. Udara dingin menusuk tulang. Tapi ada yang lebih menusuk dari udara dingin di Plawangan Sembalun. Hal itu terletak di setiap semak yang saya buka… Ya, tinja dari pendaki-pendaki sebelumnya, tergeletak begitu saja… menghitam… di mana-mana, di setiap semak belukar yang coba saya eksploitasi…
Saya agak kebingungan kalau harus menggali di tempat yang banyak tinja-nya. Sementara kebutuhan itu semakin mendesak… Akhirnya saya berkompromi… Saya pun pup di atas pup orang lain…
Maaf, Rinjani, tapi kau tak beri saya banyak pilihan… Pup itu akhirnya hanya saya tutup dengan dedaunan…
Menggali lah setelah mendirikan tenda… Menggali-lah sebelum kebutuhan itu tiba…
Melihat Puncak Rinjani dari Plawangan Sembalun di Malam Hari
Hari Ketiga: Dari Puncak Rinjani hingga ke Anak Samudera.
Malam itu kita terbangun oleh langkah-langkah pendaki yang bersemangat menuju puncak. Kita pun bersiap. Berbekal hanya kamera, headlamp, air minum, dan chacha. Lalu makan roti sedikit untuk menambah tenaga.
Di malam hari, rentetan headlamp terlihat membentuk sebuah garis yang melintang ke arah puncak. Saya tidak pernah tahu berapa banyak bule yang juga mendaki menuju puncak. Jumlahnya kelewat banyak. Jadi kita mempersilahkan orang-orang luar ini untuk pergi duluan, sementara kita berjalan sangat lambat. Kadang tidur dulu di jalur atau berleha memotret ini itu. Tidak seperti perjalanan menuju Puncak Mahameru, perjalanan menuju puncak Rinjani bisa dilakukan dengan santai. Tidak ada bahaya racun yang menunggu, hanya matahari saja yang siap membakar.
Walaupun demikian, seperti biasa trek menuju puncak memang terbilang lebih berat dari trek-trek sebelumnya. Para porter Rinjani pun malas kalau mesti ikut muncak dan lebih memilih tugas menjaga tenda saja. Beberapa pendaki lokal juga memilih untuk tidak muncak.
“puncak bukan tujuan gue naik gunung.”,
ujar salah seorang pendaki.
Yah, mungkin seperti Papandayan. Sudah tak terhitung berapa kali saya mendaki Papandayan, tapi saya baru mencapai puncaknya hanya 3 kali saja. Beda halnya dengan Rinjani. Ini pertama kali saya mendaki gunung ini; puncaknya akan jadi pengalaman baru bagi saya. Dan itulah yang paling penting dari perjalanan ini. Pengalaman!
Berangkat sekitar jam 3 dini hari, kita baru sampai di puncak sekitar jam 9 pagi. Terbilang sangat lambat, tapi menyenangkan. Puncak Rinjani hanya berupa tanah datar yang relatif sempit. Para bule sudah turun, dan hanya sedikit pendaki yang mengisi puncak. Jadi kita bisa berfoto riang.
Pemandangan dari sini sangat spektakuler (kecuali sampahnya). Tapi di siang hari, panas matahari ditambah tiupan angin dingin terasa sangat menyiksa. Kita akan matang duluan jika tidak segera turun. Jadi begitulah, tidak terlalu lama kita di puncak.
Perjalanan turun kembali ke Plawangan Sembalun ternyata jauh lebih cepat dari perkiraan. Jam 12 siang kita sudah sampai dan langsung beristirahat. Yah, kita sempat tidur siang dulu, padahal harusnya kita segera turun ke Danau Segara Anak. Terlambat, jam 3, tenda kita masih berdiri, sementara menurut mamang porter, mending jangan turun kalau jam 4 masih di Plawangan Sembalun.
Setelah diskusi sebentar, kita memilih untuk langsung packing dan turun. Kita turun pas jam 4 sore. Kita langsung tahu mengapa mamang porter menyarankan demikian. Jalan turun menuju Segara Anak ini sangat curam. Berbahaya untuk melalui trek ini di malam hari. Untungnya kita bisa melewati trek curam ini sebelum gelap.
Kita tiba di Danau Segara Anak pas waktu maghrib. Kita tahu betul karena ada 4 muadzin yang meneriakkan lantunan adzan ke 4 arah mata angin. Perkiraan saya, 4 orang muadzin ini adalah santri dari warga lokal yang luar biasa. Tapi saya terlalu lelah untuk bertanya. Tugas utama saya saat itu adalah mencari tempat mendirikan tenda yang aman.
Tidak banyak yang kita lakukan malam itu. Tubuh kita terlalu lelah.
***
Hari Keempat: Sebuah Mesjid di Danau Segara Anak.
Hari Keempat mengingatkan saya pada saat-saat di Savana Cikasur, Gunung Argopuro. Tubuh kita masih lelah, sementara untuk mencapai check point berikutnya (Plawangan Senaru), kita harus bergerak sejak pagi. Selain itu, di luar tenda terdapat pemandangan alam yang sangat indah dan menunggu untuk di eksplore. Jadi tidak sulit untuk memutuskan bahwa hari keempat ini akan kita habiskan di Danau Segara Anak saja. Mengeksplore ke berbagai sisi, mandi air panas di Aik Kalak, hammocking, dan memulihkan tenaga.
Karena letak tenda kita semalam yang kurang bagus, kita memindahkan tenda terlebih dahulu ke posisi yang lebih bagus sebelum berkegiatan. Pagi-pagi itu Nasrul sudah berteman dengan beberapa warga lokal yang sedang memancing. Hasilnya, kita diberi ikan Segara Anak gratis, dan juga benang pancing yang bisa kita gunakan. Jadi brunch hari itu agak mewah. Sayur sop, omelet, dan ikan dari Segara Anak. Setelah itu, kita memanfaatkan cuaca yang cerah untuk foto-foto dan hammocking.
Sorenya kita mandi di Aik Kalak, aliran air panas yang terkenal, tidak jauh dari Danau Segara Anak. Ternyata banyak sekali bule yang sedang mandi. Beberapa pendaki lokal agak ragu untuk ikut nyebur, “ini masih di Indonesia kan?”, kata mereka bercanda. Sementara saya dan Gege nyelonong aja ikutan mandi. Selama berendam, Gege mengobrol dengan bule dari Jerman, yang terpukau mengetahui Gege pernah sekolah dan melakukan penelitian di Dresden.
Tidak lama kita berendam, kita pun kembali ke tenda dan mendapati seorang tamu berkunjung. Dia adalah salah seorang yang kemarin saya sebut sebagai “santri dari warga lokal”. Ternyata mereka dari “Jama’ah Tabligh”, sebuah kelompok yang sudah saya dengar sebelumnya.
Menurut penuturan beliau, mereka ke sini semata dengan tujuan dakwah. Mereka melihat Danau Segara Anak kini sarat dengan kegiatan yang bertentangan dengan syariat islam, sehingga mereka harus pergi ke sini dan menyuarakan dakwah. Ternyata mereka telah berada di Danau Segara Anak selama seminggu penuh. Selama di sini, mereka telah mendirikan sebuah musholla darurat, dan rutin mengajak para pendaki untuk ikut shalat berjama’ah. Pun juga tujuan mereka bertamu ke tenda kita adalah untuk mengajak shalat berjamaah.
Saya tidak akan mengutarakan apa yang tidak saya setujui dari Jama’ah Tabligh ini. Yang pasti, ini pertama kali ada seseorang mengetuk tenda dan mengajak saya untuk shalat maghrib berjamaah, dan saya merasa terhormat untuk memenuhi ajakan tersebut.
Jadi maghrib hingga isya, saya berada di sebuah mesjid darurat di Danau Segara Anak. Shalat berjamaah, dan mendengarkan seorang ulama berkhotbah (lebih mirip berorasi sih) sembari bertarung dengan udara dingin. Saya tidak terlalu ingat isi khotbah beliau, tapi shalat maghrib dan isya malam itu terasa sangat syahdu.
Saya tidak pernah shalat lebih khusyuk di atas gunung, selain waktu itu. Angin dingin, Danau Segara Anak, Gunung Barujari, serta bintang-bintang di langit, terasa seolah juga mendengarkan apa yang saya baca.
Teringat Ibu saya yang meminta didoakan selama saya mendaki. Saya hanya tertawa menjawab bahwa justru saya yang harus didoakan selama pendakian, agar selamat sampai kembali. Tapi Ibu saya meyakinkan saya dengan sebuah hadits, bahwa doa orang yang bepergian itu mustajab.
Saya pun berdoa dengan sungguh-sungguh.
***
Hari Kelima: Perjalanan turun via Senaru
Hari ini kita harus turun hingga Senaru, karena kita batal berangkat ke Plawangan Senaru kemarin. Jadi kita berangkat sangat pagi, karena tidak ingin melakukan trekking malam.
Para Jama’ah Tabligh turun melalui jalur Sembalun, sehingga kita tidak lagi bertemu. Begitu juga dengan bule-bule yang kemarin mandi. Selama perjalanan, kita hampir tidak bertemu pendaki lain yang juga turun lewat Senaru. Kita hanya berpapasan dengan banyak bule yang mendaki lewat Senaru.
Untuk turun lewat Senaru, tentu kita harus terlebih dahulu naik ke Plawangan Senaru. Dan trek naik menuju Plawangan Senaru ini juga cukup panjang dan terjal. Kita mulai berjalan dari Segara Anak jam 8 pagi, kita baru sampai di Plawangan Senaru sekitar jam 12 siang.
Pemandangan di Plawangan Senaru juga sangat indah. Pemandangan ini yang diabadikan jadi gambar di uang pecahan 10ribuan versi yang dulu. Jadi kita sempatkan berfoto mengabadikan view terakhir dari kaldera Rinjani yang menakjubkan.
Dari sana, kita berencana ngebut sampai Senaru; setelah makan siang tentunya. Kita makan siang di shelter pertama yang kita temui sedikit di bawah Plawangan Senaru. Trek turun Senaru ini ternyata cukup terjal dan akan menyulitkan para pendaki yang naik. Beruntung kita menggunakan trek ini untuk perjalanan turun. Tidak seperti trek Sembalun, trek Senaru ini lebih didominasi oleh hutan hujan tropis yang cukup lebat. Di pos 2 yang katanya angker, kita sempat beristirahat dan bertemu pendaki yang terkilir.
Pos-pos di jalur Senaru ini juga banyak sampahnya. Membuat kita tidak betah dan ingin segera turun. Walaupun demikian, udara sore di hutan yang menyegarkan berhasil menjaga mood kita tetap bagus. Monyet-monyet hitam kini mengganti populasi monyet abu yang banyak ditemui di jalur Sembalun. Perjalanan kita terbilang ngebut, di beberapa turunan kita berlari mengikuti momentum tubuh. Setelah makan siang sekitar jam 1, kita bisa mencapai Senaru sekitar jam 5 sore.
Kita tiba di perkampungan pertama ketika sudah gelap. Seorang nenek menawarkan sebuah penginapan yang murah, hanya 150 ribu untuk bertiga, sudah termasuk makan malam, nasi sebanyak mungkin, ayam dua potong, sayur, tempe, dan pisang. Tidak butuh waktu lama untuk menyetujui tawaran si nenek tadi. Jadi malam itu kita tidur di atas Spring Bed untuk pertama kali di minggu tersebut.
Malam itu kita makan sebanyak mungkin, lalu mandi; membersihkan diri, dengan setiap otot berdenyut sakit karena lelah. Kita segera membuat janji dengan si mamang supir untuk membawa kita keliling Lombok esoknya. Yah, pendakian Rinjani ini telah usai…
Gege segera menghubungi istrinya, Iva, dan Nasrul segera menghubungi calon istrinya, Mentari. Sementara saya hanya merajuk saja, hahaha…
***
Ingat diskursus Sisifus yang dikutuk untuk membawa sebuah batu menaiki gunung, hanya untuk melihat batu itu kembali menggelinding jatuh. Sisifus menghabiskan seluruh hidupnya naik turun Gunung hanya untuk itu.
Jadi apakah perjalanan kita sia-sia, seperti apa yang diajarkan orang-orang Yunani tentang Sisifus?
Jadi untuk apa kita naik turun Gunung?
Untungnya, dalam kasus Rinjani, pertanyaan itu tidak terlalu sulit dijawab.
Fajrin Yusuf M,
Garut
Gambar diambil oleh saya, nasrul, dan gege, lewat kamera Canon 60D, kamera iPhone, dan kamera Xiaomi.
*******
Suka dengan tulisan saya?
Kalau suka, kalian bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂
No Comments