Cisompet (bagian I)

Desa Margamulya, Kecamatan Cisompet, Januari 2017

When some people fight for power, glory, and wealth, some other people only wish for a bridge…

Sungai ini memisahkan dua dusun terpencil di Garut Selatan. Untuk mencapai titik ini, saya harus mati-matian mengendarai motor di jalan berbatu sejauh 13 km dari jalan raya di Neglasari, Cisompet. Dibeberapa titik, jalan ini memiliki kemiringan yang sangat curam dan berbahaya.

Continue Reading

Share

Nyamuk-Nyamuk di Depan Stasiun Kota Baru Malang

Stasiun Kota Baru Malang.

Kata kakak saya, hanya nyamuk perempuan yang menggigit manusia. Itupun bukan karena lapar, tapi karena para nyamuk perempuan membutuhkan protein dalam darah manusia untuk meneruskan keturunannya. Atas alasan itulah, kakak saya membiarkan para nyamuk di kamar kostnya untuk menggigitinya setiap malam. Selain juga agar beliau bisa menyombongkan dirinya; hei saya setiap malam dikerubungi wanita loh…

nyamuk wanita.

Continue Reading

Share

Rinjani, 20-24 Agustus 2016

Naik gunung dulu seringkali disertai urgensi untuk menyingkir dari keriuhan manusia; mencari tempat sejati diantara pepohonan; mendekat ke langit tanpa meninggalkan bumi; membekukan cinta akan kehangatan dunia; dan hal-hal melankolis semacam itu.

“Nyatanya sekarang naik gunung sudah jadi lifestyle saja; kegiatan turistik biasa.”, begitu kata seorang teman saya.

Hmm, mungkin saja sih. Toh, semakin tua, sepertinya kadar kelabilan emosi kita semakin menurun. Semakin banyak pengalaman pahit, kita pun semakin dewasa, semakin stabil. Mungkin begitu. Semakin dewasa, kita semakin malas untuk “mencabut Semeru hingga ke akarnya”. Yah, lagipula untuk apa?

Semakin dewasa, hidup kita sendiri sepertinya sudah mengakar. Jangankan mencabut Semeru dari akarnya, mencabut akar hidup kita pun sulit. Begitupula dengan naik gunung. Kegiatan yang dulunya hanya berlandaskan kelabilan emosi, kini sepertinya sudah mengakar saja bagi saya…

***

Catatan Pendakian Rinjani. 20-24 Agustus 2016. Fajrin, Gege, Nasrul.

Hari Pertama: Jakarta – Sembalun

Continue Reading

Share

How many things are we missing as we rush through life?

Hari itu, Jum’at, 12 Januari 2007, pagi pukul 07.51, di Metro Station, Washington D.C., tempat berlalu lalangnya para eksekutif menuju tempat kerjanya, seorang pria muda bermain biola di samping tempat sampah, dengan tas biola terbuka di depannya.

Dengan celana jins, kaos lengan panjang, dan topi baseball-nya dia mulai memainkan biolanya. Well, tidak ada yang aneh, kita di Indonesia menamai mereka pengamen.

45 menit kemudian, enam lagu telah dia selesaikan. Selama waktu itu, 7 orang berhenti dan mendengarkan selama beberapa saat kemudian melanjutkan perjalanannya menuju kantornya, 27 orang memberi uang, beberapa bahkan tidak berhenti untuk mendengarkan, dan total ada 1070 orang sibuk yang melewati sang pria.

Setelah selesai, tidak ada yang memperhatikan, tidak ada yang bertepuk tangan…

Tidak ada yang tahu bahwa si pemain biola adalah Joshua Bell, salah satu violinis paling hebat di dunia saat ini. Dia memainkan enam karya masterpiece paling brilian yang pernah dibuat manusia*, memakai biola Stradivarius seharga 3.5 juta US dollar yang dibuat langsung oleh tangannya Antonio Stradivari di tahun 1713.

Continue Reading

Share

Sky Dining di Parallel Universe

Senin sore, seperti biasa Sena menolak untuk lembur. Hari lainnya boleh lembur, tapi tidak hari senin. Hari senin adalah jadwalnya dia pergi melamun di tempat melamun favoritnya, Sky Dining Plaza Semanggi.

Mengapa hari senin? dan mengapa Sky Dining Plaza Semanggi?

Sky Dining Plaza Semanggi itu sepi di Senin sore. Orang sudah berfoya-foya di tempat ini Sabtu Minggu sebelumnya, jadi ngga bakal banyak orang yang mengunjungi tempat ini di Senin sore. Lagi pula kalau pun tidak ada lembur, hari Selasa sore itu jadwalnya treadmill di fasilitas gym kantor, Rabu surfing internet sambil nunggu manga keluar, kamis baca novel di Zoe, dan Jumat itu futsal kantor rutin lanjut makan-makan bareng bawahan.

Sedangkan untuk mengapa di Sky Dining Plaza Semanggi? tentu karena pertama, dekat dengan kantor jadi tinggal jalan saja, ga mesti berdesakan di busway, dan yang kedua, tempat ini mungkin salah satu tempat paling nyaman untuk ngelamun, terutama di Senin sore. Tempat yang katanya, Sky Dining paling tinggi di Jakarta ini juga harganya standar dengan kafe-kafe yang ada di bawah.

Sena biasa memilih bangku paling luar agar dia bisa melamun sembari memandangi gedung kembar kantornya yang tinggi, kemacetan Jakarta, lampu-lampu kota yang menyambut gelap malam, dan panorama matahari tenggelam di ujung barat horizon. Sena sudah cukup akrab dengan para pegawai kafe di sana, karena selalu muncul di Senin sore, memesan Pisang Keju dan Lemon Tea, dan mengajak bicara si pengantar.

Hari ini juga dia datang. Lesu seperti biasa, tapi langsung memberi senyum jika disapa. “Seperti biasa pak?”, ujar salah seorang pegawai yang terlihat masih sangat muda. “Ya, Pisang Keju sama Lemon Tea ya…”, jawabnya seriang mungkin. Kafe hanya diisi oleh sekelompok bapak-bapak dengan percakapan khas kaum elit. Bangku paling luar selalu kosong, karena anginnya disana cukup kencang.

Jam masih menunjuk ke angka lima. Gedung-gedung tinggi terasa elok diselimuti cahaya senja, tapi di dasar sana, manusia sedang berbagi keringat dan saling mencekik dengan knalpot mereka…

***

“Tempat ini nyaman, tapi nuansanya bener-bener getir…”, bilangnya pada teman sekantor yang membawanya ke tempat ini pertama kali, “cocok untuk ngelamun, tapi lamunan yang sedih-sedih…”.

Temannya tidak bicara banyak, hanya tertawa sambil bilang, “itu berarti lo suka banget tempat ini.”

Ya, begitulah cerita awalnya.

Memang, terpaan angin disini selalu bisa membuat Sena kembali mencium aroma memori pahit di masa lalu. Tapi kini, tidak ada lagi pikiran-pikiran tentang ketidak-adilan itu. Tidak ada lagi keluhan tentang Jakarta. Tagihan tidak lagi mengusik. Konflik kantor sudah biasa. Cinta-cinta yang gagal sudah jadi gurauan di meja makan. Tidak ada lagi lamunan tentang dunia, sejak dunia luar hanya bisa diakses via cuti…

Pikiran-pikiran getir itu sudah lama memudar dan hilang. Kini hanya ada damai yang sunyi dan sederhana. Bukan tanpa cela, ya, memang tak sempurna, tapi penuh dan lebih dari cukup. Syukur kembali ia panjatkan.

Sena cepat menghabiskan minumannya karena langit mulai mendung. Hanya satu pertanyaan dalam pikirannya yang belum terjawab, “kalaulah dulu aku memilih jalan hidup yang lain, akankah hidupku jadi lebih baik?”

Fajrin Yusuf M,
Jakarta, 28 Desember 2013

*******


Suka dengan tulisan saya?

Kalau suka, kalian bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂

Share

Merayau

Lesus,

Biduk tiris menanti karam,
di pusara segara.

Lalu kamu,
Tarian canting di atas kain,
di sentra tresna.

Lalu kita,
Merayau benang takdir,
di masa yang belum tiba.

F,
Garut, 21 Januari 2017

*******


Suka dengan tulisan saya?

Kalau suka, kalian bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂

Share
Share