The Alchemist vs The Al-Qur’an

Pertama-tama, saya tidak akan betul-betul membandingkan the Alchemist dan Al-Qur’an. Judulnya dibuat begitu biar lebih menarik saja. Saya hanya akan mencoba menampilkan buku The Alchemist dihadapan kepercayaan spiritual yang saya percayai, yang mana bersumber dari Al-Qur’an. Kedua-dua, saya bukan orang yang religius dan tidak ingin dianggap demikian. Saya bukan penceramah dan tidak ingin menceramahi. Saya hanya ingin berbagi perspektif.

Jadi dulu saya sempat baca Veronika Decides To Die, karya Paulo Coelho. Hasilnya cukup mengkhawatirkan karena saya membacanya di saat yang tidak tepat. Dulu keadaan saya sedang  buruk-buruknya, pikiran lagi kacau dan keimanan sedang rendah-rendahnya, sementara buku ini memangkas habis batas-batas kegilaan dan kewarasan. I almost slipped away, and I don’t want to. Mungkin karena itulah saya menunda untuk membaca karya Coelho lainnya; seperti The Alchemist.

Hari ini saya merasa cukup dewasa untuk membaca The Alchemist.

Tapi ternyata The Alchemist jauh berbeda dari Veronika Decides to Die. The Alchemist ini penuh petuah-petuah filosofis, harapan dan cita-cita, juga cinta, seolah ditujukan untuk menjadi cahaya bagi pembaca, sementara cerita Veronika itu kelewat gelap; seolah ceritanya dibuat untuk menuntun pembaca ke satu titik cahaya di ujung terowongan yang luar biasa gelap.

Saya dulu pernah bikin review (yang juga kelewat gelap) tentang Veronika; saya post di tumblr yang sudah terlupakan. Jadi mari kita lupakan saja, dan sekarang kita review, The Alchemist.

Tentang Persistensi dalam Menggapai Mimpi dan Cita-cita

I am a dreamer. Saya masih punya buku tulisan mimpi-mimpi saya waktu saya kelas satu SMA. Di sana saya nulis mau jadi apa, kuliah di mana, mesti belajar apa, bahkan nikah sama siapa juga udah saya tulis di sana (bad decision, that one). Beberapa terwujud dan banyak sekali yang tidak terwujud. Perjalanan saya cukup sulit dan penuh tantangan.

Perjalanan si anak pemimpi, Santiago, dalam The Alchemist ini juga penuh tantangan. Di tanah yang asing, kena tipu dan dicuri harta bendanya, lalu mesti dihadapkan ke padang pasir yang sedang menjadi arena perang antar-suku, harus menitipkan Fatima yang dicintainya kepada angin padang pasir; demi mimpi bertemu Piramida-piramida Mesir yang menyimpan harta karun.

Konsep mimpi (cita-cita), bagi saya, bukan lagi destinasi, profesi, atau harta karun; walau mungkin buku The Alchemist ini hanya memberi simbolisasi harta karun untuk sesuatu yang lebih besar. Mimpi saya dulu adalah jadi teknokrat, insinyur yang bisa buat pesawat terbang kayak Pak Habibie. Saya tidak melihat mimpi itu masih relevan sekarang. Saya juga dulu menitipkan wanita yang saya cintai kepada angin. Sekarang, bodoh rasanya jika saya terus menitipkan cumbu saya pada angin; yang hanya bergerak karena perbedaan tekanan dan suhu.

Kesimpulan saya adalah, jangan pernah memberi makna hidup semata hanya pada suatu mimpi atau cita-cita, karena kadang jalan menuju ke sana adalah jalan buntu.

Yang terpenting dari hidup adalah tindakan berserah diri pada Tuhan (jika kalian muslim, itu berarti dua kalimat Syahadat). Dari fondasi itu, baru kita bergerak pada arah manapun yang kita tuju; semua dengan niat yang sama, untuk menjadi hamba-Nya yang lebih baik demi mencapai ridha-Nya. Jadi ketika kamu gagal masuk Kedokteran, ya tidak apa jika kamu mengarahkan tujuan ke arah yang lain, selama tujuanmu tetap mulia. Tidak apa juga jika kamu tetap persisten mencoba lagi tahun depan dan tahun depannya lagi.

Yang tidak boleh adalah berhenti.

Faidza faraghta fanshab.” (94:7), Bila kamu telah selesai dari satu urusan maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Do it one at a time.

Konsep pencarian harta karun itu memang sangat bagus untuk memberi pelajaran tentang persistensi, determinasi, dan kesabaran. Tapi menurut saya itu tidak cukup. Ada fondasi yang harus dibangun di bawahnya.

Bahwa yang terbaik dari kalian bukan yang berhasil menemukan harta karun-nya, atau yang berhasil memperoleh pekerjaan sesuai passion-nya, atau yang paling banyak baca buku, atau yang bisa mengubah logam jadi emas. Yang terbaik dari kalian adalah yang bisa konsisten menjadi orang baik dalam persistensi pencariannya.

Versi muslimnya, yang terbaik dari kita adalah yang paling bertakwa. ”Inna akramakum ‘indallahi atqakum” (49:13). Tak peduli seberapa besar cobaan yang diperoleh, tak peduli sebanyak apa mimpi dan cita duniawi yang tertutup, tak peduli apapun yang terjadi, dia yang masih bisa menjaga hubungan baiknya dengan Allah SWT adalah pemenangnya.

Tiga poin, yang pertama adalah konsisten menjadi orang baik (muslim yg baik), itu fondasinya. Jika persistensi dan mimpinya malah mengubah diri menjadi buruk, saya pikir lebih baik tinggalkan atau cari jalan lain. Yang kedua adalah persistensi itu sendiri. Proses pencariannya. Itu lebih penting dari mimpi itu sendiri. The sense of purpose is more important than the purpose itself. Yang ketiga, tentu tujuannya. Penting sekali untuk punya tujuan. Tapi selalu ingat, tidak apa jika kalian ingin berhenti mengejar satu tujuan; yang penting adalah kalian mengarahkan diri kalian ke satu tujuan yang lain.

Karena bisa saja kita mati besok, sebelum kita mencicipi cita-cita apapun. Tidak semua orang memperoleh yang diinginkannya. Seorang anak perempuan di Sudan mati kelaparan sebelum dia bisa memimpikan apapun. Orang bilang dunia memang setidak-adil itu. Tapi saya percaya, jika melihat gambaran yang lebih besar, selalu ada hikmah dibalik semua itu. Penderitaan Nabi Yusuf as. sejak masa kanak-kanaknya akhirnya jadi jalannya untuk menyelamatkan satu negeri dari bencana.

Saya dulu ingin jadi teknokrat, lalu mengalihkan tujuan ingin jadi entrepreneur, dan sekarang cukup menikmati jadi entrepreneur. Tapi sekarang mungkin saya akan mengarahkan tujuan untuk jadi penulis, terutama jika profesi ini bisa menghasilkan uang yang lebih banyak untuk saya. Yes, I’m a pragmatic piece of sh*t. Wkwkwk…

Tentang Takdir dan tanda-tanda yang telah Maktub

Pertanyaan tentang takdir adalah salah satu pertanyaan filosofis paling kuno yang sampai sekarang masih dipusingkan oleh banyak orang, termasuk saya. Orang tidak mengerti konsep Tuhan yang telah mengetahui segalanya… ya, Dia mengetahui anda bakal masuk Surga atau Neraka, bakal punya anak berapa, nikah sama siapa, dan mati kapan; sampai-sampai banyak yang putus asa dan bilang, “buat apa beribadah kalau udah maktub bahwa kamu bakal masuk surga atau neraka?”; atau pertanyaan seperti, “Tuhan seperti apa yang menuliskan takdir-takdir buruk; tragedi bagi orang-orang tak bersalah ini?

Orang muslim percaya satu nama Allah yaitu “Iradah”; bahwa Dia Maha Berkehendak. Memang ada tirai gaib yang menyelimuti kehendak itu sehingga kita tidak bisa melihatnya. Tapi Allah SWT telah memberi kita banyak sekali pelajaran dan contoh berharga dari kisah-kisah masa lalu.

Ketika Allah SWT secara semena-mena membuang Yusuf as. yang masih anak-anak ke dasar sumur di tengah hutan, lalu dijadikan budak, lalu dipenjara karena fitnah. Tuhan seperti apa yang memperlakukan anak tidak bersalah dengan nasib seperti itu? Tapi kita tahu akhir ceritanya bagaimana, kan?.

Ketika Maryam as. tetiba diberi janin di rahimnya. Sampai terkaget-kaget dia; mengetahui bahwa masyarakat sekitarnya akan berbalik membencinya, menganggapnya pezina. Sampai-sampai Maryam mengharap, “ya laitanii, mittu qabla hadza, wa kuntu nasyan mansiyya.” (19:20) Wahai Tuhanku, alangkah baiknya jika aku mati sebelum ini, dan aku jadi orang yang tidak diperhatikan dan dilupakan… Maryam as. dilanda kebingungan, kalut dan takut yang amat sangat akan takdir yang telah ditetapkan untuknya. Tapi alih-alih menjadikan Maryam menjadi wanita yang dihinakan, Allah SWT membuat beliau menjadi wanita paling dimuliakan dalam sejarah umat manusia (3:42).

Atau cerita yang sangat unik tentang takdir, dari kisah Nabi Adam as. di awal Al-Qur’an. Bahwa takdirnya adalah untuk menjadi khalifah di dunia (2:29), bahkan sebelum dia diciptakan. Tapi kemudian ada skenario tinggal di surga, makan buah, lalu dihukum turun ke dunia. Allah bisa saja langsung menurunkannya ke dunia, bukannya membuat Adam as. melanggar larangannya terlebih dulu. Disinilah kita mengambil pelajaran paling berharga tentang takdir dalam Al-Qur’an; bahwa Adam as. bisa saja komplain, seperti Iblis yang juga komplain. Di cerita ini, Adam as. menundukkan intelektualitasnya, mengakui bahwa ada sesuatu yang tidak dapat dia mengerti dari takdirnya; dari skenario yang telah dibuat untuknya, dan mengambil tanggung jawab penuh atas kesalahannya; alih-alih menimpakan kesalahan itu pada iblis yang merayunya; lalu bertaubat dan berserah diri.

Dan cerita itu jadi contoh untuk saya dalam menyikapi takdir. Yaitu untuk menundukkan intelektualitas, mengakui bahwa ada skenario yang lebih besar, berserah diri, dan mengambil tanggung jawab penuh atas kesalahan, serta bertaubat untuk itu.

Bisa jadi takdir saya adalah untuk gagal sepanjang umur saya, seperti Nabi Nuh as. yang 950 tahun berdakwah tapi cuma segelintir saja yang menjadi pengikutnya. Tapi skenario besarnya adalah Allah membuat kisah Nuh as. menjadi pelajaran bagi jutaan umat manusia setelahnya. Jadi yang terpenting adalah percaya pada-Nya dan terus melangkah.

***

Tanda-tanda dari-Nya ada di semua tempat di dunia ini. Seperti si anak pemimpi yang melihat tanda-tanda dari batu Urim dan Tumim, dari percakapan dengan Raja Salem, elang-elang dan angin padang pasir, dan pada mimpinya sendiri. Semuanya memberi pertanda agar si anak meneruskan perjalanannya mencari harta karun dan memenuhi takdirnya. Si anak ini pasti orang yang sangat spesial; tapi sayangnya, itu membuat saya merasa jauh. (mungkin karena merasa diri tidak spesial, wkwk)

Karena bagi saya, tanda-tanda-Nya yang paling luar biasa di alam ini adalah sains; alam itu sendiri; dan sains tidak serta merta menyuruh saya pergi melihat Piramida-piramida Mesir. Seperti si anak pemimpi, saya juga bermimpi ketika tidur, tapi segera saya lupakan begitu terbangun. Saya sering melamun tengadah melihat langit dan merasakan desir angin, tapi dia tidak menyuruh saya pergi kemanapun. Saya bercakap-cakap dengan manusia, tapi kesimpulan akhirnya selalu sama, bahwa mereka, sebijak atau sejahat apapun, pada akhirnya hanya manusia.

Semua tanda-tanda yang saya lihat tidak memberi saya determinasi untuk meraih cita-cita. Semuanya menyuruh saya untuk tunduk dan menyadari sesuatu yang lebih Besar dari cita-cita apapun. Tunduk dan melihat lebih jauh pada tanda-Nya yang telah benar-benar maktub dan bisa kita baca bersama. Tanda-tanda yang dalam bahasa arab berarti “Ayat”, dan ayat yang maktub (tertulis) yang kita punya mungkin hanya satu, itu Al-Quran.

Saya tidak percaya jika ada orang yang menyebut bahwa takdir saya adalah berkelana, atau bahwa ada banyak pertanda yang menyuruh saya menjadi pencari harta karun, atau menjadi Alkemis, atau menjadi penulis, atau apapun.

Saya juga tidak percaya bahwa “jika kita menginginkan sesuatu, alam ini akan berkonspirasi untuk membantu kita meraihnya.”; yang saya ingat, alam berkonspirasi untuk menenggelamkan umat Nabi Nuh as. termasuk anak dan istri yang dia sayangi, yang sangat ingin dia selamatkan.

Yang saya percaya adalah, bahwa hidup di dunia adalah untuk beribadah (51:56), dan bumi sebagai tempat tinggal dan kesenangan sampai waktu yang ditentukan; bagi yang bertaubat dan mengikuti petunjuk-Nya (2:36-38). Selebihnya, saya mendefinisikan kesenangan sebagai profesi yang nyaman, keluarga yang membahagiakan, kesehatan dan keseharian yang bermanfaat; serta masyarakat yang damai. Dan tentu saja, definisi ini bisa berubah; tapi tidak fondasinya.

Jangan pernah membayang-bayangkan keputusan masa lalu; jangan membuat diskursus, “jikalau saja dulu saya memilih B, bukan A.; jikalau saja dulu saya lanjut berkelana, tidak jadi tukang roti, maka…”, percayalah, jadi tukang roti pun anda bisa diliputi kedamaian hakiki. Saya sendiri melakukan diskursus seperti itu selama bertahun-tahun, berfikir jika saja saya dulu masuk pesantren seperti semua saudara saya, bukannya masuk SMA, mungkin saya bakal jadi begini dan begitu. But really, it’s taking me nowhere.

Ketika anda membuat satu keputusan, peduli amat bagaimana alam akan berkonspirasi, jalanilah dengan sungguh-sungguh, lalu serahkan semuanya pada Tuhan. Orang muslim menyebutnya tawakkal. Boleh jadi kalian gagal, sangat mungkin kalian gagal, tapi yang penting adalah tawakkal dalam prosesnya, dan tawakkal menerima hasilnya; bukan hasil itu sendiri.

Tentang Cinta dan Komitmen

The Alchemist kemudian menceritakan perjalanan si anak pemimpi melihat Fatima di oasis padang pasir. Fatima begitu memikatnya, lalu dia jatuh cinta. Tapi kemudian si anak ini harus memenuhi takdirnya mencari harta karun di Piramida-piramida Mesir, jadi dia harus meninggalkan Fatima di padang pasir. Sekilas saya teringat cerita Ibrahim as. yang meninggalkan Siti Hajar dan bayi Ismail di gurun Bakkah.

Bedanya adalah Siti Hajar memanggil-manggil Ibrahim as. yang berjalan pergi seolah tidak mendengarkan, dan Ibrahim yang dalam ketundukan dan ketidakmampuannya untuk melihat anak istrinya tak berdaya di tengah gurun, hanya mampu memanjatkan doa untuk Siti Hajar dan Ismail yang masih bayi. Tapi kemudian Siti Hajar mengganti panggilannya dengan pertanyaan yang tepat sasaran, “Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk melakukan ini?”, barulah Ibrahim as. menjawab pendek, “Ya.”, bahkan tanpa membalikkan badannya. Siti Hajar lalu mengerti dan mulai menenangkan hatinya dari ketakutan seraya berkata, “Allah tidak akan membiarkan kita… Allah tidak akan membiarkan kita.

Fatima tidak memanggil-manggil Santiago, dia merelakan Santiago pergi mencari harta karun. Yang menurut saya itu sesuatu hal yang bagus dan inspiratif. Jika kemudian cerita dilanjutkan, si anak pemimpi kembali ke oasis dan menikahi Fatima lalu hidup bahagia sampai keduanya mati, itu juga sangat bagus.

Yang menarik adalah jika si anak kembali ke oasis, dan ternyata Fatima sudah menikah dengan pria lain. Atau lebih buruk, Fatima sudah meninggal karena perang antar-suku. Kira-kira bakal seperti apa reaksi si anak pemimpi ini?

Maksud saya, sekali lagi, adalah bahwa bahkan cinta pada lawan jenis pun terlalu dangkal untuk dijadikan inti dari hidup. Banyak orang hilang arah karena memaknai hidupnya semata karena cinta pada pasangan. Saya juga pernah seperti itu dan rasanya sangat tidak menyenangkan pada akhirnya.

Siti Hajar juga mencintai suaminya, Ibrahim as. bahkan setelah dia pergi. Siti Hajar merelakan kepergian Ibrahim as. bukan karena dia pergi mencari harta karun, tapi karena dia dan juga suaminya percaya pada sesuatu yang lebih Besar. Mereka telah sama-sama memiliki komitmen untuk berserah diri pada-Nya. Siti Hajar bahkan tidak tahu untuk apa Ibrahim as. pergi, tapi ketika tahu bahwa itu adalah perintah-Nya, Siti Hajar mengerti.

Perwujudan cinta adalah komitmen, bukan untuk saling menunggu, tapi untuk sama-sama meningkatkan kualitas diri masing-masing menjadi hamba-Nya yang lebih baik. Memang, kalian mungkin tidak bisa hidup bersama dengan pasangan karena satu dan lain hal, tapi ketika kalian telah berkomitmen, kalian dan pasangan kalian itu ibarat pakaian satu sama lain (2:187) seberapa pun jarak antara kalian. Ketika terpisah, Cinta itu bukan tentang saling titip cumbu pada angin (walaupun itu sangat romantis dan mungkin bisa saya gunakan untuk gombal-gombalan pada pasangan saya nanti), tapi tentang saling panjat doa kepada-Nya untuk keselamatan dan ketentraman masing-masing.

Lalu komitmen cinta apa yang lebih besar selain menikah dan menjalaninya dengan syukur dan sabar?

Nah, saya akan berhenti di sini, karena saya tidak bisa memberi perspektif tentang pernikahan, yang mana belum saya alami. Saya tidak suka melajang di usia saya yang sudah 27 ini. Tapi yah, doakan saja, semoga Allah SWT segera memberikan rezeki-Nya kepada saya. 😀

*** *** ***

The Alchemist: Epilog

Saya berpikir-pikir lagi, kenapa saya menyempatkan diri menulis sebegini panjang untuk satu cerita fiksi yang bisa saja saya baca sambil lalu. Awalnya saya merasa diberi nasehat-nasehat oleh buku ini, tapi saya merasa nasehat-nasehat itu sudah lewat masanya, dan saya ingin mendiskusikan nasehat-nasehat lain kepada buku ini. Nasehat-nasehat yang saya coba jadikan pegangan hidup. Tapi memang, saya tidak mungkin memberi nasehat pada buku-buku.

Mungkin inilah takdir yang harus saya penuhi, seperti takdirnya Santiago dan The Alchemist. Sudah maktub di Lauh Mahfudz bahwa saya bakal diberi rasa suka untuk menulis dan memajang tulisannya di blog. Mungkin saya harus mencoba mengajak orang untuk membaca tulisan saya, agar bisa lebih banyak diskusi. Juga agar blogging lebih menyenangkan. 🙂

Wallahu’alam.

The Alchemist vs The Al-Qur’an
Fajrin Yusuf M.
Garut, 19 Oktober 2017

PS. Saya merekomendasikan siapa saja untuk baca buku The Alchemist ini. Ceritanya bagus dan banyak petuah filosofis. Saya pikir saya terlalu pelit dengan hanya memberi bintang tiga di goodreads; saya akan merevisinya. :p



SUKA DENGAN TULISAN SAYA?

Kalau suka, kalian bisa berlangganan tulisan saya lho. Klik Disini.
Kalau tidak suka juga tidak apa-apa; boleh lah kritiknya disampaikan di kolom komentar di bawah. 🙂

Share

Published byFajrin Yusuf

AsGar, Social Entrepreneur, Hiker, Writing to Kill Time

5 Comments

  • Yuli Hasmaliah

    October 31, 2017 at 3:07 am Reply

    Aku suka tulisannya!
    Dan akhirnya akang baca The Alchemist juga. Yap, pelit kalo cuma ngasih bintang tiga, lima sekalian kang!
    Jadi kangen diskusi di mabes!

    • kangfajrin

      November 3, 2017 at 12:47 am Reply

      hatur nuhun udah baca, teh Yuli. Sini atuh main ka Garut. 🙂

  • […] Paulo Coelho (dan mungkin yang terakhir karena saya jadi males baca buku beliau lagi), setelah the Alchemist vs the Al-Qur’an dan Veronika yang Memutuskan Mati (yang tulisannya tidak dipublish di blog ini). Kali ini buku yang […]

  • ariefrh38

    July 21, 2020 at 2:10 am Reply

    “Saya juga dulu menitipkan wanita yang saya cintai kepada angin.” kita sama kang hahahhahhahahaha

    • kangfajrin

      July 24, 2020 at 8:25 am Reply

      akhirnya doi malah dibawa angin ke tempat lain, dan saya malah dapat yang lain, wkwkwkwk…

Post a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Share